Nama “batu” bertebaran di beberapa wilayah Nusa Penida (NP). Kata batu dilekatkan dengan variasi kata lainnya sebagai nama desa, dusun, banjar dan tempat tertentu dalam teritorial banjar. Kita mulai dari wilayah timur, Desa Suana, ada nama Banjar Jurang Batu. Bergeser ke barat sedikit, kita berjumpa Desa Batununggul yang membawahi Banjar Batumulapan. Kemudian, di seberang barat agak utara, ada Desa Jungut Batu. Naik ke selatan, kita bertemu Desa Batumadeg—yang tak jauh dengan Desa Batukandik. Adakah nama-nama batu tersebut terinspirasi dari geografi NP yang dominan berbatu kapur?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat ke masa lampau tentang nama “Gurun” yang pernah disematkan kepada kepulauan NP dalam prasasti batu yang ditemukan di Desa Blanjong (Sanur) 913 M (Sidemen, 1984). Pemilihan nama gurun ini mungkin berkonotasi dengan kondisi geografi NP yang berbatu kapur, kering, tandus, berdebu dan panas.
Kesan kuat berbatu kapur juga pernah dituliskan sejarawan Sidemen setelah membaca referensi H.N. van der Tuuk, Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek, vol.IV. (Batavia: Landsdrukkerij, 1912; p.19). Sidemen memaparkan bahwa nama Nusa Penida sangat tepat karena “Penida” bermakna kapur tohor (pamor bubuk).
Apa yang dideskripsikan oleh sejarawan tentang NP tentu tidak berlebihan. Ya, karena realitanya struktur permukaan bumi (geografi) Pulau NP memang dominan berbatu kapur. Hampir semua gigir pulau dikelilingi karang raksasa jenis batu kapur (kecuali belahan bagian utara). Batu karang ini berjejer rapat mengikuti lekuk tubuh pulau. Seolah-olah menjadi fondasi pulau dan sekaligus benteng pertahanan. Benteng pertahanan dari “gempuran harian” ombak dan gerusan air laut.
Konon, pembentengan diri ini juga berdampak terhadap Pulau Bali di seberang. Dulu, waktu SMA, saya pernah membaca pada salah media cetak (Koran di Bali) yang menyebutkan bahwa Pulau NP dianggap sebagai semacam breakwater (pemecah gelombang) alami—untuk melindungi beberapa bagian daratan Pulau Bali (di sebelah utara NP) dari kasus pengikisan, abrasi dan sejenisnya. Peran benteng alami inilah mungkin yang menyebabkan fondasi Pulau NP berbatu kapur.
Ladang, pohon dan bataran ladang di Nusa Penida | Foto: I Ketut Serawan
Bukan hanya pada gigir pulau, tanah perbukitan pulau NP juga didominasi oleh batu kapur. Bahkan, dominasi batu kapur juga terlihat pada hampir semua permukaan tanah pulau. Paling simpel melihatnya ialah pada tegalan atau ladang-ladang para warga yang produktif. Lapisan tanahnya tipis. Sisanya, lapisan batur kapur.
Karena itu, jangan heran jika melihat petak ladang warga dibatasi oleh bataran-bataran batu. Semua bataran itu menggunakan jenis batu kapur. Bataran ladang yang artistik tersebut berasal dari batu kapur besar. Sebelum dijadikan bataran ladang, batu besar dibelah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Kemudian, pecahan kecil itu ditata (ditumpuk-tumpuk) setinggi bidang datar tanah dan memanjang mengikuti lekuk bidang datar tanah ladang.
Dalam proses “mataran” ladang, sama sekali tidak menggunakan luluh. Para petani murni menggunakan skill menumpuk dengan memperhatikan kesesusaian permukaan batu satu dengan batu lainnya. Jika tidak memiliki skill menumpuk, dipastikan bangunan bataran ladang akan ambruk dan berserakan.
Bataran ladang tidak hanya menjadi pembatas milik, juga berfungsi untuk menahan tanah dari gerusan embah saat hujan. Permukaan tanah tipis sangat riskan terseret air hujan. Jika hujan turun seharian, maka dipastikan tanah-tanah akan berlarian mengikuti arah air bah. Permukaan tanah menjadi menipis. Bahkan, lebih parah lagi, muncul batu-batu besar di permukaan ladang.
Dominasi batu kapur di NP memunculkan beberapa istilah khusus tentang batu. Di kampung saya, dikenal istilah batu lempeh (batu kapur yang permukaannya pipih), batu dogong (batu kapur besar seperti onggok duduk/ berdiri), batu gamongan (batu kapur yang mudah rapuh dan mengandung banyak pamor/ kapur), batu lintang (batu kapur yang strukturnya sangat keras), batu parangan (batu kapur yang artistik, biasanya menyerupai sosok tertentu) dan lain sebagainya.
Tidak hanya memunculkan lema khusus, kedekatan terhadap eksistensi batu kapur juga menjadi inspirasi dalam penamaan. Selain disebutkan sebelumnya, nama-nama tempat dengan kata batu cukup banyak di NP. Misalnya, Batu Medau di wilayah Desa Suana, Batu Majuh (Banjar Batumulapan), Batu Gaing (Desa Bunga Mekar), Batu Guling (Desa Batukandik), Batu Megong (Desa Batukandik) dan lain sebagainya.
Belum lagi, nama-nama “karang”. Karang dalam bahasa Bali berarti batu. Nama tempat yang menggunakan kata “karang” cukup banyak di NP. Misalnya, Karang Ampel, Karang Anco, Dusun/ Banjar Karangsari (Desa Suana), Dusun/ Banjar Karang (Desa Pejukutan), Dusun Karangdawa (Desa Bunga Mekar) dan lain sebagainya.
Inspirasi Batu
Penggunaan kata “batu” atau “karang” sebagai nama tempat di NP tentu bukan berangkat dari halusinasi yang kosong. Batu merupakan realitas sehari-hari yang akrab dalam lingkungan masyarakat NP.
Sebagai realita lingkungan, batu kapur dapat dijadikan sumber inspirasi dalam berbagai kepentingan. Salah satunya sebagai kepentingan penamaan sebuah tempat. Dalam hal tertentu, penamaan kadang-kadang diambil dari unsur lingkungan alam sekitarnya—yang dianggap dominan, unik, dan mereprensentasikan suatu tempat. Misalnya, nama Sebunibus, nama desa adat kampung saya.
Menurut tetua saya, nama itu diambil dari nama pohon yang bernama “ibus”. Konon, dulu pohon jenis ini tumbuh banyak di wilayah Sebunibus. Katanya, sejenis tumbuhan rambat gantung. Namun, saya tidak pernah melihat wujud pohon tersebut. Bisa jadi memang sudah punah. Entah karena faktor apa. Tidak ada yang persis tahu.
Guguran daun, batu kapur dan bataran ladang di Nusa Penida | Foto: I Ketut Serawan
Karena dominan (banyak), maka dipinjamlah nama “sebun” untuk menggambarkan lebih dari satu pohon. Kata “sebun” mewakili kuantitas atau jumlah pohonnya. Jadi, “sebun” itu representasi dari jumlah pohon—sedangkan “ibus” mewakili nama pohon yang (pernah) tumbuh di wilayah atau tempat tersebut. Simpelnya, nama Sebunibus lahir dari dominasi pohon unik yang tumbuh di alam sekitar wilayah tersebut. Sesederhana itukah? Entahlah.
Mungkin saja, ada faktor lain yang juga melatarbelakangi keputusan atas nama Sebunibus itu. Entah keunikan pohonnya, perannya dan atau ada peristiwa (histori) penting yang mengiringinya—seperti nama Batu Megong yang pernah saya baca. Konon, nama Batu Megong terinspirasi dari peristiwa (histori) euforia kemerdekaan (kemenangan) masyarakat NP atas kekalahan raja Nusa (Dalem Sawang) yang zolim oleh Dalem Dukut. Peristiwa ini dirayakan oleh masyarakat dengan memukul-mukul gong sebagai ekspresi “kegembiraan” di suatu tempat. Tempat yang dimaksud ialah daerah Batu Megong.
Nama Batu diambil dari lingkungan alam sekitar, sedangkan Megong diambil dari peristiwa atau momentum penting yang terjadi di sekitar tempat tersebut. Nama Batu Megong berasal dari detail item yaitu batu (alam sekitar), gong (alat musik tradisional), megong (tindakan/ laku), merayakan (laku) dan kemenangan (hasil). Jadi, nama Batu Megong dapat dibaca sebagai representasi kolaborasi antara unsur lingkungan alam nyata dan momentum penting yang terjadi di tempat itu.
Pemberian nama batu atau karang merupakan hal yang kontekstual. Cocok dengan lingkungan alam sekitar di NP. Saya yakin bahwa nama-nama batu lainnya tidak lepas dari lingkungan alam. Pun nama-nama yang ada embel-embel karang. Setidak-tidaknya, nama batu/ karang yang melekat pada nama suatu tempat memiliki kedekatan dengan lingkungan alam sekitar. Citraan nama inilah yang menyebabkan kesan identik atau ikonik menjadi lebih kuat.
Mengapa harus batu atau karang? Tidakkah diksi ini hendak menajamkan kesan gersang dan tandus dari geografi NP? Jika benar demikian, berarti bertolak belakang dengan prinsip “nama sebagai doa dan harapan”. Artinya, diksi batu menjadi kurang tepat, bukan? Eiits.., tunggu dulu!
Kesan yang ditimbulkan dari kata batu memang kurang positif. Kering kerontang, minim pangan dan lain-lainnya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang bertahan hidup di lingkungan daerah itu? Strategi hidup apa yang digunakan orang NP agar dapat survive dengan modal keterbatasan daya dukung alam tersebut?
Jawabannya ialah modal fondasi karakter yang kuat. Hidup dalam lingkungan alam yang terbatas membutuhkan karakter sekeras batu. Dibutuhkan usaha hidup yang keras, tekad keras, kegigihan dan kerja keras. Tanpa fondasi karakter yang keras (baca:kuat), maka “bangunan hidup” akan menjadi runtuh.
Karena itu, wajar batu dimanfaatkan sebagai fondasi utama sebuah bangunan. Karakter kerasnya menyebabkan batu menjadi andalan penopang struktur bangunan. Batu mampu bertahan walaupun ditindih oleh berbagai material lainnya. Pada zaman lampau (prasejarah), peran batu lebih urgen lagi. Batu menjadi peralatan kehidupan sehari-hari oleh manusia pada zaman batu. Atas ketahanan dan kekuatannya, batu juga digunakan sebagai media prasasti (dokumen sejarah) dan prasarana untuk menyalurkan hasrat menyembah (ber-kepercayaan-an).
Jadi, nama-nama batu (di NP) sesungguhnya hendak mengabadikan beberapa spirit penting. Pertama, spirit kesadaran. Tetua kita dulu hendak menyadarkan bahwa lingkungan alam Nusa terbatas—berbatu kapur, gersang, tandus dan minim air.
Kedua, spirit survive. Seperti apapun kondisi alamnya, hidup wajib dipertahankan. Hak untuk hidup tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mutlak! Ketiga, spirit hidup keras. Berada pada posisi antara keterbatasan SDA dan pilihan hidup, maka harus diimbangi oleh SDM yang berspirit hidup keras. Dibutuhkan kreativitas, usaha keras, ketekunan, keuletan, dan kegigihan yang ekstra.
Spirit hidup keras ini menjadikan orang NP terlatih menjalani hidup sulit. Batu kapur tak ubahnya seperti sekolah atau kampus alam. Ia menempa, mendidik, melatih dan menciptakan karakter hidup yang keras—sekeras batu. Jadi, tidak mengherankan jika rata-rata orang NP (dulu) memiliki pribadi ulet, kuat dan tangguh. Karena itu, konon beberapa lulusan kampus “batu kapur” sukses di negeri rantauan (misalnya, daerah transmigran)—daerah yang daya dukung alamnya sangat memadai.
Jadi, tidak ada yang kebetulan ketika nama-nama batu bertebaran di wilayah NP. Nama-nama itu mengandung doa dan ekspektasi (positif) yang abadi. Pada nama-nama batu itu, kita selalu diingatkan untuk menjadi orang yang berkarakter survival, berkarakter fighting dan kompetitif. Saya menyebutnya dengan karakter “ke-batu-an”. Karakter “kebatuan” ini mungkin sudah membudaya secara kolektif pada orang NP dulu.
Bagaimana dengan generasi milenial NP yang sekarang? Apakah karakter “kebatuan” itu masih ada? Saya berharap tetap ada. Sama seperti nama-nama batu yang ada di NP. Semoga suatu saat tidak lenyap atau diganti—sehingga spiritnya tetap abadi. Abadi menjadi alarm bagi generasi NP selanjutnya.[T]