“Putu : Berbeda Tetap Keluarga”, adalah sebuah judul video pendek yang ditayangkan oleh Tim Aswaja Dewata Bali malam itu ; merupakan salah satu dari 10 video pendek berlatar belakang toleransi agama yang memenangkan pendanaan dari Wahid Foundation; didirikan oleh salah satu putri Gusdur, Yenni Wahid.
Isinya bertutur tentang seorang pria Muslim bernama Ahmad (diperankan oleh Imam Barker) yang menikahi perempuan Bali bernama Putu (diperankan oleh Sherly) ; keduanya kebetulan ikut hadir di acara diskusi yang digagas oleh Mas Karim Abraham, Ketua PC GP Anshor Buleleng. Rencana awal diselengarakan pada hari Jumat, 22 April di Jalan Anggrek, di kantor sekretariat PCNU Buleleng. Namun karena bertepatan dengan agenda vaksinasi booster pengurus NU bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, acara dipindahkan ke Warung 55 di sekitaran Jalak Putih jam 9 malam.
Hadir pula di tengah-tengah kami, sutradara, pembuat script, Mas M. Taufiq Maulana sekaligus founder Aswaja Dewata sekaligus memenuhi undangan serangkaian perayaan Harlah ke-88 Anshor.
Foto: Dari kiri ke kanan : penulis, Mas Karim Abraham, dan Mas M. Taufik Maulana
Putu, salah satu karakter yang diceritakan di video ini menjadi mualaf melalui latar perkawinan (amalgamasi) dengan Ahmad. Meski begitu, keduanya kompak mengunjungi Ibu kandung Putu (diperankan oleh Putu Sinta) H-1 sebelum perayaan Galungan.
Latar konflik dari film ini dimulai saat Ahmad dan Putu beranjak menuju rumah ibu kandung Putu di sebuah perdesaan di Tabanan. Di jalan mereka bertemu dengan Abdul (diperankan oleh Elga), saudara kandung Ahmad. Keterangan yang diperoleh ketika menanyai kepergian Ahmad dan Putu membuat Abdul mengernyitkan dahi, “Kenapa harus datang ke rumah ibu kandung Putu ?”.
Scene berikutnya berpindah di rumah ibu kandung Putu. Meski sudah menjadi mualaf, Putu tidak canggung mengucapkan salam khas Hindu Bali “Om Swastyastu”. Dengan wajah sumringah, ibu kandung Putu menyambut kedatangan keduanya. Setelah duduk di teras rumah, ibu menyuruh Putu membuatkan Ahmad kopi.
Putu beranjak ke dapur, meninggalkan ibu dan Ahmad yang terlibat percakapan ringan. Mereka saling bertanya kabar dan perkembangan pekerjaan. Dua ungkapan syukur “astungkara” dan “alhamdulilah” mewarnai percakapan mereka berdua. Saling sahut keduanya terhenti ketika Putu datang membawakan kopi dan buah. Putu memberikan segelas kopi kepada Ahmad. Sambil meminum kopi, Putu mengupaskan manggis dan memberikannya kepada Ahmad saat Ia menyelesaikan dua atau tiga teguk.
Spirit toleransi di dalam video pendek ini terjadi saat ibu kandung Putu ijin sembahyang. Ia memberi tahu Putu jika ingin sholat, pakai saja kamarnya. Mukena ada di lemari. scene berikutnya memperdengarkan Tri Sandya, lalu diakhiri dengan suara adzan.
Putu dan Ahmad melakukan sholat di kamar ibu Putu. Setelahnya mereka pamit pulang. Namun sebelum itu, ibu menitipkan bingkisan kepada Ahmad dan juga saudara Ahmad. Sesampai di rumah, Putu memberikan bingkisan titipan ibunya kepada Abdul, titipan diterima dengan wajah sumringah. Film selesai (bisa disaksikan pada tautan berikut : https://youtu.be/fD4sdatrJ9Y)
- Siaran langsung bedah film ini bisa disimak di tautan https://www.facebook.com/toleranceisbeauty/videos/318565430362565/
Beberapa nilai toleransi yang bisa dipetik hikmahnya dari film ini sebagai berikut.
Pertama, Putu masih bisa dan boleh datang ke rumah ibunya yang non Muslim, bahkan Ia dan suami kompak berkunjung ke rumah ibu kandung Putu di perdesaan Tabanan. Kedua, Ahmad bersedia meminum kopi di rumah ibu kandung Putu. Ketiga, ibu kandung Putu menyilakan Ahmad dan Putu untuk sholat di kamarnya. Ia juga berpesan kepada Putu untuk mengambil mukena di lemari.
Keempat, ibu kandung Putu menitipkan buah tangan bukan saja kepada Ahmad dan Putu tetapi juga kakak Ahmad yakni Abdul yang di awal film bersikap curiga. Kelima, setelah menerima titipan ibu kandung Putu, Abdul nampak tersenyum bahagia menandakan kecurigaan itu tidak tepat.
Fenomena toleransi yang diangkat di film Putu, pada beberapa kasus masih bisa disaksikan. Terutama pada keluarga heterogen secara agama dan etnis. Keluarga jenis ini memberi ruang yang cukup lebar bagi kebebasan beragama anggotanya. Hanya saja didominasi oleh alasan amalgamasi.
Hadirnya kebebasan beragama itu tentu saja diinisiasi oleh adanya syarat mutlak seperti berwawasan luas, berpandangan terbuka dan moderat. Namun beberapa kasus lagi menunjukkan konflik batin yang parah antaranggota keluarga. Kebencian, caci maki dan bahkan pemutusan hubungan kekeluargaan adalah muara dari tragedi ini.
Di dalam acara itu dan juga di dalam tulisan ini, bukan film atau fenomena toleransi yang diangkat di dalam film itu yang ingin saya bedah. Alasannya, saya bukan kritikus film dan kapasitas sebagai akademisi.
Di sisi lain, saya pikir semua orang yang hadir di dalam forum itu memiliki pengalaman tentang toleransi antarumat beragama di lingkungan tempat tinggalnya. Oleh sebab itu, daripada bersusah payah menyampaikan gagasan tentang toleransi, saya lebih tertarik mengulik alasan mengapa di tengah kehidupan beragama yang harmonis, nuansa konflik selalu hadir. Dengan begitu, penjelasan saya sekaligus menggugurkan rasa naif kita tentang agama yang coba dibangun melalui film ; bahwa purifikasi dan reifikasi yang hadir bersamaan telah menghasilkan “dendam sejarah” yang cukup parah pada memori kolektif bangsa.
Oleh sebab itu, hadirnya fenomena toleransi yang diangkat di dalam film “Putu” bisa dianggap sebagai kemewahan di tengah menguatnya primordialisme agama-agama di Indonesia.
Saya meminjam gagasan Rocky Gerung saat berdebat dengan Hasan Nasby, Presiden Cyrus Network dalam sebuah talkshow yang dimoderatori oleh Rossy Silalahi di Kompas TV (debat itu bisa disimak di tautan berikut https://youtu.be/bdjXOM2ocxU). Acara itu diadakan untuk mengkonfirmasi aksi demo mahasiswa terhadap wacana 3 periode Jokowi.
Rocky menyebut bahwa lapisan dasar kebatinan bangsa ini dibangun dari sebuah epistem yang Ia sebut sebagai “antropologi dendam”. Selanjutnya konsep antropologi dendam itu akan saya pakai untuk mendefinisikan ulang hubungan dilematis antara orang Hindu Bali dengan orang Muslim Bali.
Saya mulai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Mas Karim, “Kenapa ya saat dekat-dekat lebaran, tetangga-tetangga saya yang sebagian besar orang Bali suka bertanya, ‘Tidak mudik, Mas?” Padahal saya sudah lama tinggal di Bali. Bahkan sejak lahir, Saya tidak punya kampung, dan kampung Saya ya Bali. Tetapi pertanyaan itu terus diulang-ulang.”
Apa yang disampaikan oleh Mas Karim menjadi tanda bahwa upaya menjadi “Bali” mengalami kegagalan. Kenapa bisa demikian ?, dan bahkan penciptaan jarak sosial itu berbanding lurus dengan munculnya kekerasan simbolik di ruang publik seperti sebutan nak jawe, dauh tukad, dangin tukad, jeleme slam, seratus persen haram dan lain sebagainya.
Nah, untuk menjawab pertanyaan Mas Karim, konsep antropologi dendam ala Rocky Gerung bisa dipakai untuk mendefinisikan hubungan antara Hindu dan Islam di masa lalu. Oleh karena uraiannya yang sangat panjang, pakai saja era kolonial di Bali sejak tahun 1900-an.
Kegagalan untuk menjadi Bali, sebagaimana yang dialami Mas Karim, juga teman-teman dari agama lainnya disebabkan oleh sebuah proses pembendaan (reifikasi) kebudayaan Bali. Sejak pemerintah kolonial Belanda mengagendakan politik baliseering, segala hal yang berhubungan dengan agenda penyebaran agama ; missie, zending dan dakwah dilarang.
Sosialisasi kebudayaan Bali kepada orang Bali pun dilakukan oleh baliolog yang terobsesi menjadikan Bali sebagai museum hidup Majapahit abad XV. Nampaknya, kolonial Belanda merujuk pada risalah yang ditulis Raffles yang pernah berkunjung ke Bali 1811.
Di samping menulis visi tentang negara maritim melalui pelabuhan internasional di Bali utara, Raffles menyinggung Bali sebagai “museum hidup” yang harus dilestarikan dari pengaruh-pengaruh modernitas Barat, Islam dan Kristen. Risalah-risalah itu kemudian dibukukan di dalam magnus opumnya yang terkenal, The History of Java.
Pembendaan kebudayaan Bali sejak era baliseering telah menghasilkan identitas tunggal dan monolitik pada kedirian orang Bali. Memfosilnya Bali menyebabkan kredo pertama dan utama jika seseorang atau sekelompok orang ingin dianggap sebagai Bali adalah dengan menjadi Hindu. Dengan demikian, elemen agama, dalam hal ini adalah agama Hindu telah menjadi indikator utama yang membentuk identitas kebalian orang Bali sejak baliseering.
Pertanyaannya kemudian, agama Hindu jenis apa yang bisa menjadi rujukan kebalian seseorang. Jawaban dari pertanyaan ini agaknya cukup rumit. Sebab hingga saat tulisan ini dibuat, perdebatan tentang kehinduan orang Bali tidak pernah usai. Orang Bali tidak pernah satu suara atau bersepakat tentang orientasi atau struktur kehinduan yang dimaksud. Alasan-alasan ingatan masa lalu yang berbeda di tiap daerah di Bali justru memperkeruh masalah ini.
Mereka cenderung terperangkap pada perdebatan tentang Hindu India. Di sisi yang lain, ditemukan juga varian Hindu yang lain seperti Hindu Jawa, Hindu kaharingan, Aluk Tallo Toraja dan lain-lain. Bagaimana posisi mereka? Apakah dengan menjadi Hindu Jawa, Aluk Talo atau Sunda Wiwitan, maka secara otomatis juga dianggap Bali ?. Rasanya diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang hal ini.
Apakah proses pembendaan kebudayaan Bali hanya menghasilkan kegagalan identitas sebagaimana yang terjadi pada Mas Karim dan juga yang lainnya? Pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut tidak keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Beberapa kasus menunjukkan di tengah jarak sosial dan kekerasan simbolik yang terjadi, konsep filantropi sosial tetap dipelihara.
Fenomena ngejot dan konsep nyame slam adalah wujud dari bagaimana nilai-nilai kekerabatan itu dibangun. Keluarga saya di Desa Pejarakan menerapkan tradisi ngejot dengan tetangga kami di seberang jalan yang kebanyakan Muslim dari Jawa. Tradisi ini telah berlangsung bahkan sebelum saya lahir. Beberapa anggota keluarga kami juga adalah mualaf. Oleh sebab itu, berkunjung satu dengan yang lain di hari-hari besar keagamaan sambil ngejot adalah hal yang lumrah bagi keluarga besar kami.
Lalu di mana dan bagaimana posisi film Putu dalam proses pembendaan kebudayaan Bali yang terjadi secara terus menerus? Film Putu memberikan ruang bagi kita untuk bernapas dan berpikir sejenak dari momen menguatnya sentimen agama. Ia memberikan relaksasi bagi saraf dan otot kita yang kaku karena memperdebatkan agama. Ia mengabarkan kedamaian sebagai pilihan wajib kita di masa depan sehingga menjauhkan dari konflik agama berdarah-darah di masa lalu. Film Putu adalah harapan, juga cita-cita sekaligus utopia dunia kosmopolitan yang kita dan atau founding fathers kita bayangkan di masa lalu.