Dengan waktu dua minggu kurang, pementasan oleh Teater Kampus Seribu Jendela Undiksha ini rampung dan mengorbit di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah dalam acara SalaHaTeDu (Hari Teater Dunia) #8.
Rasa yang pernah terlewati. Berperan dalam pemetasan drama simbolis pernah saya lalui sejak di bangku SMA. Pementasan yang menguras keringat, waktu, bahkan mental. Pementasan kali ini sangat membawa saya bernostalgia pada pementasan pementasan sebelumnya ketika saya SMA. Mulai dari porsi latihan, frekuensi latihan, dan pemanasan gerak yang cukup melelahkan.
Berdasarkan info yang saya dapat dari Santi Dewi dan Dian Ayu, pementasan drama “Jro Ketut, Tom Jerry, dan Kisah – Kisah Seumpanya” karya Manik Sukadana ini merupakan pementasan kelima setelah pementasan pementasan yang juga sempat ditampilkan sebelumnya.
Oleh karena sudah pernah digarap oleh sutradara terdahulu, proses kali ini tidak begitu membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun dalam proses penggarapan pementasan ini ada beberapa yang mengalami modifikasi ataupun penggubahan atas imajiner kami.
Dalam pementasan ini, saya berperan sebagai tokoh Wayan Aman yang merupakan kakak Nengah Karni. Wayan Aman yang saya perankan ini adalah seseorang pensiunan polisi yang mengalami pergolakan dengan adik iparnya sendiri, lantaran dia lebih disayang oleh Hyang Bapa, ayah dari Wayan Aman dan Nengah Karni.
Ada sebuah problematika pribadi yang saya alami ketika sutradara meminta saya berlakon dengan membawa rokok, merokok sungguhan maksudnya. Saya bukan bermaksud menolak keras atau bertentangan dengan hal ini, tetapi karena saya memang tidak bisa merokok dan tidak mau melakukannya karena ada tujuan tertentu yang harus saya pertahankan. Pada penghujung akhir latihan, akhirnya saya putuskan untuk tidak merokok dalam lakon yang saya perankan.
Tidak hanya itu, masalah lain juga datang bermunculan dari dalam diri saya sendiri yang menjadi sebuah tantangan bagi saya. Menurut pengamatan sutradara, dialog saya cenderung seperti pembacaan puisi yang akhirnya membuat dialog saya terdengar tidak natural.
Ya, saya adalah orang yang sekadar suka membaca puisi, hal ini karena di bangku SMA saya dimandatkan untuk menjadi pengurus di bidang sastra puisi. Maka kebiasaan kebiasaan dahulu sangat melekat di dalam diri saya.
Problema ini tentu sangat ditegur oleh sutradara. Menghilangkan kebiasaan itu, di pikiran saya, harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun masalah itu terasa mudah untuk dipecahkan karena dalam proses latihan yang sangat memukul habis saya, saya diberikan momentum untuk menggali diri sendiri dan mencari karakteristik tokoh lebih dalam sehingga kecenderungan seperti membaca puisi itu bisa hilang perhalan.
Di lokasi eksekusi pementasan yang dipenuhi ratusan orang yang bergelut di bidang seni teater, hal ini tentu ini menjadi sebuah ajang yang mempertemukan penggiat seni teater dan anak muda. Saya merasa sangat kagum. Ya bagaimana tidak kagum, Teater Kampus Seribu Jendela bisa bersanding dengan komunitas seni teater se-Indonesia? Wadaw…
Apresiasi penuh pun ditunjukan kepada setiap pementasan. Saya pula demikian, setiap pementasan di masing masing komunitas sendiri memiliki senjata atau “Bom” untuk menunjukan keindahan dan menarik perhatian penonton. Mulai dari menceburkan diri ke kolam, datang dari tengah tengah penonton, penonton yang digiring ke tempat yang berbeda, hingga penggunaan properti yang terpajang di luar keperluan pementasan.
Sungguh eksplorasi yang luar biasa. Melihat teknik itu, saya pun mencoba untuk membuat hal serupa dalam pementasan kami. Ada sebuah babak yang menunjukan saya agar muncul secara tiba tiba dari arah penonton. Namun hal itu harus menjadi pertimbangan karena melihat setting daerah penonton yang sangat padat dan sulit mencari celah, akhirnya saya memutuskan untuk tidak muncul di daerah itu. Saya memutuskan untuk muncul di belakang atas panggung yang bentuknya seperti terasering. Hal itu saya anggap sebuah keberhasilan, karena lawan tokoh saya pun kaget dan heran, kenapa saya dapat keluar dari tempat itu.
Apresiasi pun muncul bersautan. Berangkat dari pementasan itu, dalam diri saya sendiri ada terbesit rasa ketidakpuasan. Hal ini dikarenakan ada sebuah kekeliruan kecil yang terjadi. Akhirnya saya sadar bahwa saling berkoordinasi sesama tokoh sangat diperlukan. Sebatas sekadar saling mengingatkan pun adalah bentuk yang sangat sangat penting. Ya, di akhir adegan, lawan tokoh saya salah mengucapkan nama. Ia yang seharusnya menyebut nama saya, justru menyebut nama tokoh lain yang seharusnya tidak disebutkan.
Namun, sebuah apresiasi dan tanggapan datang dari banyak teman. Seperti yang dikatakan Mas Abi, yang juga seorang pegiat teater, ia memberikan tanggapan bahwa pementasan kami keren, tapi kami disarankan untuk menggunakan bahasa Bali agar memunculkan aroma atau nafas daerah Bali. Salah satu seniman dari Bali yaitu Pak Jayendra Vaisnawa juga sempat memberikan komentarnya kepada pementasan kami saat bertemu di Surakarta. Dalam postingan Facebook-nya, ia juga memberikan apresiasi dan mengatakan “Tetap semangat dan terus maju”.
Dari setiap pertunjukan dan pementasan, sudah menjadi kewajiban saya sebagai aktor untuk melihat ulang kekurangan dan kelebihan performa saya dalam pementasan dan belajar lebih baik ke depannya.
Setelah pementasan ini, saya sangat dibuat rindu dengan pementasan yang mengandung unsur simbolik yang multiperan ini. Melayang sepintas di pikiran saya bahwa saya sangat ingin lagi untuk berperan dalam pementasan yang penuh unsur simbolik seperti ini lagi.