Pengakuan paling hormat adalah pengakuan atas kesalahan diri yang kita perbuat.
Kalimat ini menjadi salah satu kalimat kiasan favorit saya, yang saya jadikan acuan ketika saya membuat kesalahan. Sebagai manusia biasa, tentunya kita pernah berbuat kesalahan yang disengaja ataupun tidak.
Kalimat di atas pula menjadi suatu dialog pada pementasan nasional pertama saya bersama Teater Kampus Seribu Jendela.
Kilas balik sedikit saya ingin menceritakan pengalaman saya pada pementasan ini. Saya diberi kesempatan untuk ikut garapan pementasan nasional pada tanggal 26, Maret 2022 bertempat di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta.
Hal pertama yang terlintas pada pikiran saya pada saat ditawarkan ikut pementasan ini adalah kagum sekaligus senang yang menyelimuti diri saya.
Saya dan teman-teman Teater Kampus Seribu Jendela mementaskan naskah karya Manik Sukadana yang berjudul “Jero Ketut, Tom Jerry, dan Kisah Seumpamannya”.
Saya diberikan kepercayaan untuk bermain peran sebagai Nak Lingsir, di mana dalam Bahasa Bali, peran ini adalah peran sebagai orang tua. Sempat merasa ragu juga ketika saya dihadapkan dengan peran seperti ini, karena sebelumnya saya tidak pernah memerankan atau bermain peran sebagai orang tua, dan ini merupakan pengalaman pertama saya memerankan peran sebagai Nak Lingsir.
Sebelum saya lanjut bercerita, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada sutradara, Dian Ayu dan pimpro saya, Santi Dewi karena sudah mempercayakan sekaligus mengijinkan saya untuk menoreh pengalaman berharga yang nantinya bisa saya ceritakan kepada orang terdekat saya.
Mengenai latihan yang dilaksanakan kurang dari sebulan itu, latihan yang sangat singkat untuk saya yang belum pernah merasakan pementasan seperti ini, saya merasa cukup kaget karena banyak olah tubuh yang dilakukan.
Dan saya merasakan, mungkin inilah dunia teater yang sebenarnya, yang belum pernah saya rasakan dalam pementasan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Yang lebih mengagetkan, ternyata di sini saya tidak berperan sebagai Nak Lingsir saja, melainkan saya harus berperan sebagai peran pembantu dalam adegan pasar dan menjadi tikus besar juga.
Latihan dalam proses kali ini juga cukup menguras tenaga, sebab saya yang masih menjadi mahasiswa semester 2 harus menjalani kewajiban saya terlebih dahulu menjadi mahasiswa pada umumnya, dan dilanjutkan dengan latihan sampai kurang lebih jam 12 malam dan kadang hingga pagi. Jika dikatakan lelah, memang sangat melelahkan, namun di sini juga saya banyak belajar terutama dalam memanajemen waktu agar waktu yang saya miliki tak terbuang sia-sia.
Hari-hari saya lalui dengan kegiatan saya yang cukup padat, namun terasa menyenangkan karena dapat berbincang-bincang dengan rekan aktor dan aktris saya ketika saya merasa cukup stres dengan perkuliahan saya. Saya juga sempat merasa down ketika hari-hari latihan yang semakin singkat, namun pementasan ini belum juga rampung secara fix.
Bahkan saya sempat bercerita pada orang tua bahwa saya takut tidak bisa menampilkan hasil terbaik dan membuat rekan-rekan saya kecewa. Orang tua saya ternyata mengucap sebuah kalimat yang tak terduga, kira-kira seperti ini: “Down boleh tapi setelah itu harus bangkit, kapan lagi kan dapat kesempatan emas seperti ini? bisa pentas dan main ke Jawa tanpa mengeluarkan banyak biaya, harusnya kamu bangga dan juga semangat”.
Kalimat itu membuat saya menjadi berpikir lagi dan merasa bahwa mungkin banyak sekali yang ingin menempati posisi say, tetapi saya sudah diberi kesempatan yang belum tentu orang lain dapatkan. Seketika saat itu semangat saya kembali seperti semula. Saya juga berterima kasih kepada para sahabat saya di teater karena sudah menemani saya latihan sampai pagi.
Pada saat pementasan, saya merasa ragu dengan diri saya. Bisakah saya membawakan cerita ini dengan baik? Pertanyaan itu terus berputar di otak saya. Terlebih, saya yang notabene dari dulu memang tidak pernah mengikuti teater yang menggunakan banyak olah tubuh ini, membuat saya cukup kesulitan dalam mengikuti proses ini.
Namun pada saat pementasan berjalan dengan lancar, saya masih merasa kurang dengan adegan yang saya lakukan. Apalagi ini kali pertama saya mengikuti pementasan nasional yang sudah pasti membuat saya sangat gugup dan deg-degan luar biasa.
Tetapi saat pementasan kami menuai pujian dari para penonton di sana,rasa senang dan lega cukup mengobati ke-overthinking’an. Saya merasa bahagia ketika pementasan kami dapat diterima dan dinikmati oleh teman-teman di Surakarta. Pengalaman ini merupakan pengalaman paling emas yang saya miliki. [T]