Pada Sabtu, 16 April 2022, pukul 19.00 wita, bertempat di TonCity Artspace, Jalan Imam Bonjol 486 Denpasar, Teatear Teras (SMA 1 Kuta) dan Sketika Bernama Kita akan mempersembahkan pentas monolog berjudul INGGIT. Pentas ini bisa disebut sebagai proses belajar sekaligus ujian bagi pelaku teater remaja di Bali.
Pementasan ini diutradari Muda Wijaya dengan peraga Nanda Ayu Rini yang merupakan siswi SMA N 1 Kuta. Naskah Inggit ini ditulis Ahda Imran seorang sastrawan yang kini menetap di Bandung, Jawa Barat.
Tentu saja, sebagai bagian dari proses pengenalan, pementasan ini mungkin akan terdapat sejumlah kekurangan. Namun, bukankah teater sesungguhnya juga proses pembelajaran dalam kehidupan?
“Ketika kita mampu menerima kekurangan dalam memanggungkan sebuah naskah bukan berarti kita mengabaikan hal-hal pokok dalam seni pertunjukan. Tubuh aktif adalah kekuatan panggung yang harus disuguhkan,” kata Muda Wijaya, sang sutradara.
Kerja sutradara memberikan pendekatan-pendekatan dalam proses menyentuh juga memaknai ruang. Kekayaan terpendam adalah akal pikiran dan rasa serta gerakan. Kemampuan memaknai sekitar menjadi sebuah ruang pertunjukan. Halnya gerakan gerakan spontanitas harus dipelajari untuk menjadi satu hal yang alamiah.
“Pementasan ini merupakan rangkaian pembelajaran teater bagi para remaja,” kata Muda.
Di tengah masa pandemi kegiatan-kegiatan teater jarang tersentuh, mereka asik menghabiskan waktu dengan belajar daring dan asik dengan dunianya, namun terkadang banyak juga yang asik bermain-main tidak jelas apa yang diperbuat.
Sementara pembelajaran-pembelajaran pendidikan yang terkait dengan ekstra kurikuler kegiatan mereka itu kurang mendapat perhatian. Kerap anak-anak tidak bisa mendapatkan peluang pembelajaran teater dengan baik yang bisa diarahkan.
Sejak awal, pementasan monolog ini adalah sebagai cara belajar mengenal lebih dekat bagaimana mendekatkan ruang kreatif, mental dan mengasah kemampuan di bidang seni pertunjukan, belajar membaca naskah, penyutradaraan dan lainnya.
Monolog INGGIT yang dimainkan kali ini mengambil beberapa cuplikan dari naskah panjang yang ditulis Ahda Imran seorang sastrawan eks wartawan yang menetap di Bandung, berkisah tentang seorang perempuan bernama Inggit yang akhirnya bertemu dengan Kusno.
Seorang lelaki, pelajar yang indekost di rumah Inggit. Inggit yang sudah bersuamikan Kang UCI menganggap Kusno sebagai seorang anak dan juga teman, sebab usianya masih begitu muda sudah memiliki istri yang juga masih muda sebagai pribadi yang hangat pintar cerdas dan berani .
Kenapa inggit bisa terjerat dan melakukan yang tak pantas dilakukan seorang perempuan yang memiliki suami. Bagaimana Inggit menjalani kisah demi kehidupannya menemani Kusno dalam pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal ini, Muda Wijaya, selaku sutradara sekaligus Pembina, mengucapkan terimakasih pada Bapak Nyoman Aryawan selaku pengelola TonCity ArtSpace atas ruang yang diberikan untuk eksplorasi pertunjukan monolog ini.[T]