Dua gapura bergaya candi bentar dibuat kembar berwarna putih menghadap ke utara, kondisinya kian lusuh. Namun belakangan terbaca agar gapura terlihat selalu baru. Ini menilik dari bekas rembesan cat putih pada bagian kakinya.
Namun masih tampak retak menganga di beberapa bagian. Dan, intalasi lampu hias nampak dipasang merambat pada bagian atas dari tembok, badan hingga atap gapura. Entah apa pertimbangan estetiknya merambatkan lampu hias sedemikian rupa yang jelas sungguh tidak sedap dipandang.
Yang parah menurut saya adalah bagian atas gapura ditambahi dengan rangka kayu juga besi berbentuk persegi panjang yang ikatannya membelit ukiran ornament khas gaya Blelengan, tujuannya untuk memasang spanduk informasi. Itu untuk gapura di sisi barat.
Sedangkan kembarannya di sisi timur tidak kalah memilukan namun spanduk yang membentang tanpa frame kayu dan hanya mempergunakan tali. Saya kira kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat gapura kembar yang berangka tahun 1939 tersebut masuk ke dalam inventaris bangunan cagar budaya.
Ya ini tentang cerita mengenai kepekaan estetika dan etika kita tentang warisan benda berupa bangunan cagar budaya yang di dalam Undang-undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
BAB I Ketentuan Umum, pasal 1 butir no.1 menyatakan “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.
Kemudian pada butir no. 3 menyatakan “Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap”.
Setelah cross check melalui situs https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/gedunggedong-kirtya-singaraja-sebagai-situs-cagar-budaya/ saya mendapatkan bahwa Gedong Kirtya termasuk ke dalam bangunan cagar budaya dengan catatan inventarisasi sebagai berikut Gedung/Gedong Kirtya (No Inventaris : 3/14-08/STS/53).
Isi yang saya soroti pada deskripsi di dalamnya adalah “Gedung kirtya memiliki 2 buah gapura yang masih utuh dan kuno. Di setiap gapura terdapat angka tahun pembuatannya. Gapura luar dibuat pada 3 Juni 1939, dan gapura dalam dibuat pada 31 Mei 1933. Karakter gapura masih kuno, bahan yang digunakan adalah bata, semen, pasir dan cat putih. Pada bagian badannya terdapat panil relief pewayangan.”
Saya mengecek ulang arsip dokumentasi berupa foto edisi Nglesir Visual dan mendapatkan tahun 2019 sudah demikian adanya, sebab tahun-tahun sebelum itu jika tidak salah dalam ingatan saya merekam hal itu dan baru di tahun 2019 hingga kini ketika berkunjung ke Gedong Kirtya saya mengupayakan untuk mendokumentasikannya.
Sebenarnya yang menarik dari gapura kembar tersebut adalah relief cetak dan teknologi pembuatan ornamennya, saya kira bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah Kota Singaraja sangat layak dijadikan sebagai sarana pendidikan mengingat konon Singaraja adalah kotanya pendidikan.
Seni kasusastraan ya jangan ditanya lagi sebab Gedong Kirtya adalah gudangnya ilmu pengetahuan yang secara spesifik memiliki koleksi pustaka-pustaka penting bagi pulau Bali. Selain itu di kompleks Gedong Kirtya sisi sebelah timurnya berdiri kokoh gedung Sasana Budaya yang dapat dihidupkan melalui seni pertunjukan, teater, musik/karawitan.
Kemudian di sisi selatan adalah Museum Buleleng tempat belajar sejarah dan kebudayaan. Dari segi fisiknya, Kompleks Gedong Kirtya tentu dapat menjadi media pendidikan dari ilmu arsitektur, teknik sipil, desain interior dan eksterior, dan juga seni rupa.
Kita kembali kepada gapura kembar bercat putih tadi, terdapat beberapa ornamen relief cetak berupa panel wayang melekat pada tubuh gapura yang jika dilihat ikonografinya merujuk pada wiracerita Ramayana, meski persebaran panel relief cetak di Singaraja hanya terpusat pada Gedong Kirtya dan beberapa pada lingkungan jeroan Puri setidaknya kita dapat menebak bahwa inovasi campuran semen dan pasir telah diterapkan melalui arsitektur dan ornament di Singaraja.
Awalnya saya menduga bahwa gapura kembar ini dibangun dengan material batu padas sebagaimana yang dapat dijumpai pada bangunan-banguan suci yang tersebar di wilayah Buleleng, akan tetapi dugaan saya itu meleset ketika pada tahun 2017 saya Nglesir Visual di kuburan Kristen, Liligundi dan berakhir di permandian umum sisi seberang barat pasar Buleleng.
Di sana saya menjumpai pada relief yang retak bahwa relief tidak dibuat dengan diukir pada medium batu padas melainkan di bentuk mempergunakan media pasir dan semen, semen yang dipergunakan kemungkinan besar adalah campuran bias-pamor. Dari sini kemudian saya ngeh bahwa perkembangan seni ukir di Singaraja mengalami perkembangan dari sisi medium hingga teknik mengukir bias pamor berkembang menjadi ukir bias malela.
Akan tetapi, dalam kasus teknik relief cetak tidak saya temukan informasinya di Singaraja dan justru di Kota Karangasem saya menjumpai pola yang sama, yaitu di Puri Kaleran Karangasem. Teknik cetak serupa masih hingga kini diterapkan oleh Gung Aji Wis.
Berbarengan dengan temuan data tersebut maka timbulah dugaan-dugaan spekulatif mengenai yang mana menerapkan teknik relief cetak lebih dahulu apakah Singaraja atau Karangasem?
Nah, untuk ini akan menjadi pembahasan saya selanjutnya sembari dengan sabar mengumpulkan data atau informasi. Yang jelas adalah terdapatnya penanggalan dan angka tahun pada bagian badan candi bentar kembar tersebut yang terbaca 3-6-1939, baik yang di sisi barat maupun sisi timur.
Sedangkan pada bagian bawah penanggalan dan angka tahun secara konsisten di masing-masing belahan gapuranya melekat relief Wisnu menunggang Garuda dan Brahma menunggang Wilmana, ikonografinya jelas dari atribut, tipe tunggangan dan senjata cakra juga gada yang di bawa setiap figur. Beberapa panel relief cetak yang lebih kecil mengguratkan figur Palwaga atau tokoh-tokoh ksatria kera dalam epos Ramayana.
Melihat kondisi gapura tersebut saya kira sudah sepatutnya pejabat pemegang kuasa atau dinas terkait untuk merapatkan dirinya kepada orang-orang yang mempunyai keahlian di dalam tata ruang, desainer interior/eksterior, atau seniman yang memiliki cita rasa estetik terhadap bangunan cagar budaya guna memecah kemuraman perwajahan utamanya gapura kembar ini melalui restorasi atau pemugaran.
Buatlah rancangan penataan dan penyediaan tempat spanduk informasi yang layak dan tepat tanpa mengganggu bagungan cagar budaya sehingga kayu, tali, besi tidak semrawutan pada bagian-bagian ornament yang ringkih, penataan lampu atau tata lighting yang apik sehingga pada malam hari mampu memberikan kesan estetik.
Saya kira penataan seperti itu akan memberikan kesan yang lebih segar bagi masyarakat umum dan menjadi sarana pembelajaran bagi tiap generasi sekaligus memupuk kepekaan estetikanya selain menjadi bagian aksi turut menjaga warisan cagar budaya.
Untuk penataan semacam itu sangat mungkin rasanya mengingat RTH Taman Bung Karno yang megah super mewah dengan patung singa merangkak berwajah emas super besar saja mampu terwujud, masa sih merawat bangunan yang memang dengan jelas terdaftar sebagai cagar budaya saja tidak mampu? Bagaimana perasaan Boeng Karno nanti? Boeng ajoe boeng!!!! [T]
Pohmanis, 11 April 2022