Lima hari berturut-turut saya datang ke RTH Bung Karno, Sukasada. Ada magnet tersendiri yang membuat saya selalu bahagia untuk hadir menyaksikan 14 pementasan teater dari berbagai sekolah dalam Lomba Teater “Kemuliaan Ibu Nyoman Rai Srimben” untuk SMP se-Buleleng, 25-28 Maret 2022.
Banyak catatan yang sudah saya kumpulkan dalam ingatan. Banyak pula gejolak kenangan yang kembali saya rasakan selama menonton lomba teater yang mengangkat naskah berjudul “Kemuliaan Ibu Nyoman Rai Srimben” karya Kadek Sonia Piscayanti.
Catatan saya dimulai sejak saya mendapat mandat menjadi sutradara Teater Celebung, SMP Negeri 1 Gerokgak. Nervous? Tentu.
Ini adalah pertama kalinya saya berhadapan dengan pementasan teater lagi setelah resmi diwisuda menjadi sarjana di Undiksha tahun 2016. Terlebih bahwa sekolah saya merupakan satu-satunya sekolah yang mewakili Kecamatan Gerokgak dalam lomba teater tingkat SMP se-Kabupaten Buleleng itu.
Kami mulai berproses dari bulan Januari dengan membentuk tim. Lalu melakukan casting beberapa siswa yang berminat ikut lomba. Ternyata banyak siswa yang antusias walau masih nampak guratan rasa malu pada raut wajah mereka saat kami minta untuk reading dialog dan berakting beberapa adegan.
Hari pertama untuk kriteria tokoh utama seperti Rai Srimben, Raden Sukemi, Kaler dan Latri sudah bisa terpenuhi. Namun ada satu tokoh yang sangat sulit saya temui.
Dapat ditebak. Ialah sosok Pekak Mangku. Memiliki karakter penyayang, tegas, pintar, serta gersture-gesture khas seorang tetua laki-laki Bali sangat sulit saya dapatkan dari anak-anak SMP yang rata-rata masih berusia 14-15 tahun.
Alhasil saya sampai tiga kali mengganti tokoh kakek Nyoman Rai Srimben ini. Ada yang keberatan karena dialog Pekak Mangku terlalu banyak dan panjang, ada juga yang masih malu berperan sebagai orang tua. Namun saya bersama pembina lainnya tidak menyerah. Kami casting beberapa siswa lagi, akhirnya kami temukan sosok siswa yang mau belajar dan dilatih.
Chemistry antar pemain tumbuh seiring tahap demi tahap kami latihan. Namun, di tengah menggebunya semangat kami berproses, kami harus off latihan beberapa minggu karena khasus Covid-19 kembali naik.
Saya kembali takut. Takut jika siswa lupa dengan dialog-dialog yang sudah dihafal. Takut jika naskah yang saya bagikan terbengkalai karena siswa terlena dengan pembelajaran daring. Namun, mampaknya itu hanya kecemasan saya yang berlebihan. Terbukti saat pembelajaran bisa dilaksanakan lagi di sekolah, para aktor kami kembali beradu akting dengan kemajuan di luar dugaan saya.
Mendekati jadwal pentas, persiapan kami semakin matang. Termasuk transportasi. Mengingat jarak sekolah kami yang jauh dari tempat pementasan. Gerokgak-Singaraja berjarak sekitar 45KM dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan. Mengingat lagi, anak-anak yang mabuk saat perjalanan. Hal ini harus kami siasati dengan berangkat jauh lebih awal agar siswa dapat istirahat sebelum tampil.
Sekali lagi, semangat kami telah mengalahkan segalanya. Jumat 25 Maret 2022, sebagai salah satu peserta yang tampil di hari pertama, kami telah tunjukkan penampilan maksimal versi kami.
Baiklah, seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, bahwa selain catatan-catatan pementasan, event lomba ini juga membawa saya kembali bergejolak dengan kenangan-kenangan yang saya miliki terkait naskah pementasan ini. Terlebih ketika malam puncak. Malam yang saya tunggu-tunggu ialah pementasan dari Komunitas Mahima.
Semakin malam, semakin ramai. Ribuan penonton riuh menyaksikan betapa romantisnya kisah cinta Ibunda Soekarno yang dipentaskan oleh Komunitas Mahima. Jika boleh saya mengutip dialog Raden Sukemi, “Perasaan saya seperti terombang ambing oleh rasa yang halus”. Itulah yang saya rasakan, sama persis.
Ingatan saya kembali ke tahun 2016 silam. Ya, tepat enam tahun yang lalu saya sendiri juga merupakan pemain dalam pementasan naskah “Kisah Cinta Nyoman Rai Srimben dengan Raden Sukemi” oleh Komunitas Mahima berkolaborasi dengan teater Bale Agung.
Kami pentas di Museum Soekarno, Blitar, Jawa Timur. Peran saya saat itu sebagai warga Bale Agung yang bertugas untuk “nunas tirta” saat Raden Sukemi berkunjung ke rumah Pekak Mangku. Saya sebagai tokoh yang turut menjadi saksi saat benih cinta mulai tumbuh antara Raden Sukemi dengan Nyoman Rai Srimben pada pandangan pertama.
Pementasan Komunitas Mahima kali ini membuat saya terkesima mengikuti alur. Adegan demi adegan. Babak demi babak. Hati saya bergejolak. Rasanya saya seperti ikut tampil di atas panggung. Rasanya sebentar lagi adalah adegan saya, sebentar lagi saya akan muncul berdialog untuk “nunas tirta” ke Pura Desa.
Begitu hebatnya ingatan membawa saya mengoyak kenangan. Tak terasa satu jam pementasan Komunitas Mahima berlangsung, saya masih kuat berdiri di tengah riuh penonton.
Catatan saya selanjutnya ialah menempatkan semua proses ini dalam ingatan. Event ini memberikan pengalaman yang luar biasa. Saya yakin semua anggota team yang saya ajak berproses tentu juga memiliki catatan tersendiri dalam ingatan mereka. Rasa takut, gemetar, semangat, antusias, bahagia, canda tawa, latihan puluhan kali, pentas di atas panggung, hingga kembali pulang larut malam, ke ujung barat Buleleng.
Kelak, pengalaman luar biasa ini akan mereka rindukan. Semua proses ini akan mereka bingkai dalam bentuk “kenangan”.[T]