Dalam dua tulisan saya sebelumnya, apa itu brand, branding dan destination branding sudah dikupas layer demi layer agar kita bisa memahaminya secara utuh. Tidak lagi ketika bicara brand, ya bikin logo yang bagus. Bukan. Bukan begitu.
Sejatinya kita semua berhadapan dengan disiplin ilmu ini. Ketika ngomong pribadi, maka kita bicara soal Personal Branding. Ketika terkait bisnis, maka cakupannya ada di Product Branding. Begitu pula ketika kita bicara pariwisata, maka kita akan bicara soal Destination Branding. Pendekatannya sama semua, hanya berbeda di kontennya saja.
Kenapa kita harus bicara soal Destination Branding? Menurut saya pribadi, ya sebenarnya ini dulu yang harus dikonsepkan. Justru ini harusnya masuk sebagai program prioritas untuk dikerjakan terlebih dahulu sebagai pondasi untuk program yang berkelanjutan.
Tanpa konsep Branding yang komprehensif, maka program marketingnya pun akan bias tanpa tujuan pasti. Apa yang dikomunikasikan ke publik pun kadang begini kadang begitu, tergantung selera para pejabatnya. Hanya akan menjadi program demi program yang bersifat jangka pendek semata. Tidak dalam rangka membangun brand seutuhnya untuk Buleleng.
Branding merupakan upaya yang dilakukan untuk memberi merek dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan harga suatu produk. Brand merupakan persepsi tentang deskripsi sebuah produk, jasa, atau kepentingan oleh masyarakat.
Dengan kata lain brand merupakan hal yang membantu customer untuk menyederhanakan keputusan. Bagi perusahaan, brand merupakan perwakilan aset yang bertahan lama, pemicu nilai dari sebuah produk yang sebenarnya.
Destination Branding itu Untuk Siapa?
Alm. Arief Budiman, atau kerap dipanggil ‘Kang Ayip’, Co-Founder Rumah Sanur Creative Hub mengatakan bahwa pengelolaan dan pengembangan aset yang dimiliki destinasi untuk menjadi konten penting dalam destination branding sekaligus pembangunan karakter dan identitas lokal.
Kang Ayip menegaskan pula bahwa Destination Branding merupakan sebuah platform pemberdayaan, pengembangan dan komunikasi potensi destinasi secara terpadu. Didalamnya terdapat komponen Pariwisata, Kebijakan Pemerintah, Teknologi, Industri Niaga, Produk, Seni Budaya, Manusia, dan Alam/Lingkungan, Semuanya harus terjalin padu, di-manage dengan baik, bisa saling melengkapi.
Untuk siapa ketika destinasi itu bisa dikelola baik?
1. Warga : Pastinya warga masyarakat akan merasa bangga akan daerahnya. Merasakan situasi sangat aman dan nyaman untuk berkreasi, melakukan hal-hal yang produktif yang mendukung penciptaan kesejahteraan secara umum.
2. Wisatawan : Ketika destinasi bisa memberi impresi yang mengesankan dan memberi pengalaman baru dalam berwisata, tentu ini akan menjadi konten positif untuk dipublikasikan baik secara masif.
3. Investor : Situasi ini akan menciptakan iklim yang kondusif bagi perekonomian secara makro hingga akan memunculkan prospk-prospek bisnis baru buat para pelaku usaha.
Jadi ketika konsep ini diaplikasikan, maka diharapkan brand destinasi mampu menjadikan brand dapat dipercaya, dapat menyampaikan pesan, berbeda dengan yang lain, menjadi media untuk menyampaikan ide yang sangat kuat, menggairahkan para pelaku bisnis, dan menggetarkan para wisatawan untuk datang ke Bali Utara.
Problem Branding
Ketika brand Bali sebagai icon pariwisata terkenal luas, maka menciptakan problem bagi Kabupaten/Kota yang sama-sama menjual ‘ke-Bali-annya’ ke dunia luar. Mereka berlomba-lomba untuk menunjukkan sebagai daerah yang ‘Bali banget’. Ini sangat tampak dalam slogan promosinya, semisal Denpasar dengan ‘The Heart of Bali’, Karangasem dengan ‘Spirit of Bali’, kemudian yang terakhir itu ada Bali yang baru saja melaunching logo dan tagline brandingnya dengan ‘The Origin of Bali’.
Sikon ini memaksa kita harus berpikir lebih kreatif lagi agar tidak terjebak ikut latah seperti yang lainnya. Harus memiliki differensiasi yang unik dan otentik berdasarkan data pendukung yang memang valid, tidak sekedar asumsi semata.
Denpasar sudah mengkonsepkan dirinya sejak 2011 silam. Tercatat ada dokumen sebanyak 58 halaman berjudul “Membangun Denpasar melalui City Branding” yang dibuat oleh Bappeda Denpasar. Sekelumit detailnya juga dipaparkan dalam dokumen ‘Denpasar Co-Branding Guideline’ yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Denpasar pada tahun 2018.
Daerah tetangga kita, Banyuwangi, juga membranding dirinya dengan ‘Majestic Banyuwangi’ yangmewakili karakteristik masyarakat Banyuwangi yang memiliki adat dan kebudayaan yang tinggi, keberagaman budaya dan keramahan masyarakat Banyuwangi.
Lain halnya dengan Kabupaten Jember dengan ‘Jember Kueren’ yang merupakan sebuah program branding yang bertujuan mengangkat potensi dan aset keren di Jember ke level nasional dan internasional. J Kueren menjadi program strategis Pemkab Jember sebagai usaha membangkitkan rasa bangga dan optimisme masyarakat Jember atas potensi-potensi yang dimilikinya.
“Aset dan potensi Jember meliputi people atau sumber daya manusia, nature atau sumber daya alam, culture atau seni dan budaya, goverment atau program pembangunan pemerintah dan religious atau tokoh ulama dan santri,” ujar Bupati Hendy Siswanto dalam suatu kesempatan.
Destination Branding Sebuah Keharusan
Gede Suteja, GM Como Uma Ubud yang juga orang asli Buleleng, mengatakan bahwa Buleleng perlu “a strong reason to believe why travelers need to visit and experience Buleleng”. USP pembeda dengan destinasi lainnya. Beliau menambahkan bahwa Buleleng masih stagnan dengan pemikiran sendiri bahwa destinasinya sudah bagus tapi belum terlihat pembenahan hampir di semua sektor.
Jika begitu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, kita harus sepakati bersama bahwa Buleleng butuh Destination Branding. Kita butuh blueprint sebagai step awal dalam membangun branding.
Berdasarkan konsep Branding Journey yang dipopulerkan oleh mas Dodi Zulkifli, CEO Neyma Brand Identity, maka di awal kita harus menggodok Rational Value dan Emotional Valuenya yang relevan dengan market yang dituju. Disini kita bicara soal Positioning. Clearkan dulu soal ini sebelum melangkah lebih jauh.
Menurut Jack Trout dan Al Ries dalam bukunya ‘Positioning ; The Battle of Mind’ memberikan penjelasan bahwa positioning itu bukanlah soal apa yang anda lakukan terhadap produk, tapi apa yang anda lakukan terhadap pikiran konsumen, yaitu memposisikan produk/jasa di pikiran konsumen.
Yang pada akhirnya kita bicara, Buleleng ingin dikenal sebagai apa?
Ketika pedoman dasar tidak kita miliki, maka turunan programnya pun akan tumpang tindih dan tidak secara spesifik bermuara pada persepsi yang ingin dibentuk. Terlebih lagi kita ketahui bahwa jabatan Bupati adalah jabatan politis yang sudah jelas ada rentang waktu masa jabatannya. Begitupun posisi seorang Kadis yang secara berkala akan di-rotasi dalam rangka Tour of Duty. Maka sangat potensial sekali arah kebijakannya pun akan berbeda lagi.
Jika kita sendiri bingung, apalagi calon wisatawan dan masyarakat kita. Semuanya akan ikut serta dalam kebingungan itu. Kita tidak bergerak kemana-mana. Stagnan.
Jika kita lihat sekilas, selama ini sering terdengar tagline ‘Yuk Ke Buleleng’ yang dipopulerkan sejak beberapa tahun lalu. Menurut pemahaman saya, ini kurang tepat dengan target market yang kita sasar. ‘Yuk ke Buleleng’ secara tata bahasa, itu Indonesia banget. Tentu hanya orang Indonesia saja, dalam hal ini tamu domestik, yang bisa memahami ini. Sedangkan kita punya target pasar luar negeri juga. Mana paham mereka dengan kata ‘Yuk ke Buleleng’. Ketika kita promosi di luar negeri dan bicara ‘Yuk Ke Buleleng’, si bule pun akan bertanya kembali, “What is that?”
Ketika nantinya kita memiliki Brand Guideline, maka ini tidak hanya berlaku untuk Dinas Pariwisata saja. Namun berlaku untuk kita semua warga Buleleng, serta lintas SKPD. Kita semua juga menjadi marketer untuk daerah kita tercinta. Tentu dengan pendekatannya masing-masing, namun arah komunikasinya harus selaras, sesuai dengan tujuan dalam membangun branding destinasi kita.
Jika ini bisa dikomunikasikan dengan baik, maka remah-remah yang tercecer itu bisa dikumpulkan dan dijadikan satu kekuatan yang massif.
Sekarang mari kita lihat Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang datang ke Buleleng pada tahun 2019, secara garis besar sangat jelas didominasi oleh negara-negara di Eropa, selain Australia dan negara lainnya. Tentu ada alasan khusus kenapa wisatawan Eropa memilih Buleleng sebagai tujuan wisata. Ini menarik untuk didalami lagi datanya.
Kemudian ketika lihat data Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang datang langsung ke Bali pada tahun 2019, itu tercatat ada sekitar 6 juta orang. Ketika kemudian dibandingkan dengan Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang ke Buleleng pada tahun yang sama, itu tercatat ada 455.351 orang, maka bisa dikatakan kita masih banyak PR yang harus dikerjakan jika kita ingin meningkatkan kunjungan ke Buleleng.
Akhir Kata
Rangkaian tulisan ini adalah sebuah ‘hadiah kecil’ dari saya untuk daerah tercinta saya, Buleleng. Banyak impian dan cita-cita agar Buleleng bisa maju. Tulisan ini ingin mengajak seluruh stakeholder di Buleleng baik dari pelaku pariwisata, pemerintah, legislative, akademisi, pengusaha, dan lainnya untuk lebih serius lagi bersama-sama memikirkan rumah kita bersama, Buleleng.
Mari kita kerucutkan lagi ke dalam satu pemahaman branding agar ke depan Buleleng bisa berkembang secara holistik dan dirasakan dampaknya oleh segenap pihak.
Selamat Ulang Tahun kota Singaraja ke-418.
Bangkit lalui pandemi
Berseri menuju endemi
Rahayu.. Rahayu.. Rahayu.. [T]