3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mencari Cindhil, Menemukan Papa

Oktaria AsmaranibyOktaria Asmarani
March 15, 2022
inEsai
Mencari Cindhil, Menemukan Papa

Pertengahan tahun lalu, saya baru memahami jika manusia ternyata mampu menanggung kehancuran yang awalnya saya pikir tak akan terberi: ditinggal mati yang terkasih. Sebelumnya, dengan naif saya berpikir bahwa kematian tidaklah berjarak sedekat itu, terlepas dari berapa banyaknya saya menemukan manusia-manusia di sekitar yang kehilangan. Oleh sebab saya yakin ia tidak datang dalam waktu dekat, saya pikir tak perlu memusingkan diri terhadap apa-apa yang berkelindan dengan kematian.Hingga pada suatu waktu ia datang, perlahan-lahan mendekap untuk mengikat erat tubuh saya agar tak melawan; sembari mengajak Papa pergi, mengajak Papa mati bersamanya.

Saya begitu payah untuk menjelaskan perihal kehilangan; lebih-lebih rasa kehilangan Papa. Terlampau sulit atau terlalu personal atau entah adjektiva apa yang pas untuk membantu saya menjelaskannya, ia hanya timbul dengan isyarat yang hanya mampu dipahami diri sendiri. Kehilangan karena ditinggal mati begitu menghancurkan saya. Ia sejatinya tak terderita, tapi mau tak mau harus mampu saya ajak hidup bersama, berdampingan. Di luar itu, ada hal-hal lain yang menyeruak dari dalam, dari segala penjuru. Ada memori yang hanya bisa diaktifkan di kepala saya sendiri, ada medu yang tak pernah bisa dimuntahkan, ada langut yang bingung kemana harus ditumpahkan, ada gusar yang tak tahu dikarenakan oleh apa, ada sungkawa yang begitu menyesakkan.

“…dan ada yang tak pernah hilang selamanya
ada yang selalu kembali meski tak utuh lagi…”

Sejumlah Perkutut buat Bapak

Tiga belas tahun lalu, saya baru masuk ke tingkat satu sekolah menengah pertama. Papa kembali mengantar jemput saya sekolah setelah sekian lama, sebab Mama tengah mengandung si bungsu. Ia kerap menjemput saya lewat pukul enam sore karena terjebak rapat atau kunjungan entah kemana. Dengan setia saya menantinya sambil meminjam novel di taman baca dekat sekolah dengan menukarkan seribu rupiah. Saya lihat raut kelelahan di wajahnya ketika ia tiba, aroma pahit menguar dari mulutnya. Saya masih bocah kala itu. Ditinggal mati Papa belum hadir dalam daftar kekhawatiran saya. Mempersembahkan sesuatu yang besar dan bermakna untuk Papa juga bukan prioritas saya, selain menjadi juara satu di kelas. Satu hal yang niscaya, saya mencintainya.

Tiga belas tahun lalu, berbeda dengan saya, Gunawan Maryanto alias Cindhil atau Mas C telah menulis sebuah kumpulan puisi yang ia persembahkan untuk bapaknya, Sejumlah Perkutut buat Bapak. Kumpulan puisi ini lalu diterbitkan tahun 2010 oleh penerbit Omahsore dan kemudian menjadi peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa kategori puisi di tahun yang sama. Dua larik yang saya kutip di atas adalah bagian dari puisi pertama dalam kumpulan ini, “kayon gapuran”.

Kumpulan ini terdiri dari 44 puisi yang termaktub dalam tiga bagian: Bukak Kayon, Sejumlah Perkutut buat Bapak, dan Tutup Kayon. Bagian Sejumlah Perkutut buat Bapak yang terdiri dari 42 puisi berangkat dari ciri mathi atau ciri fisik dan suara dari burung perkutut, burung kegemaran Sumarto, bapak dari Mas C. Melalui ciri mathi-nya, orang-orang Jawa (atau yang melakoni kebudayaannya) mencoba untuk mengaji jenis-jenis perkutut untuk mencari laras makna yang cocok bagi kehidupan pribadi dan sosialnya. Kesemua puisi berangkat dari pendekatan penciptaan yang sama, berangkat dari imaji lalu dialihwahanakan ke dalam bentuk puisi. Nyandra namanya, jika disebut dalam Bahasa Jawa.

Sejumlah Perkutut buat Bapak dicetak ulang pada 2018 oleh penerbit Diva Press, beberapa bulan setelah bapak Mas C meninggal dunia. Kata Mas C dalam pengantarnya, ia berkeinginan untuk menerbitkan buku ini kembali sebagai sebuah persembahan untuk kepergian sang bapak. Mas C sendiri mengaku tidak bisa mengukur apakah ia berhasil melakukan nyandra untuk menulis puisi-puisi tersebut. Namun, satu hal yang pasti, bagi saya, ia berhasil melakukan apa yang saya sulit untuk lakukan setelah ditinggal pergi Papa: mendefinisikan perasaan-perasaan tak bernama yang saya alami.

Saya bukan penyair, saya bukan ahli puisi. Saya pikir saya pembaca puisi yang biasa-biasa saja. Tafsir saya tentu bisa jadi berbeda dengan apa yang hendak disampaikan Mas C, juga dengan teman-teman yang membaca tulisan ini. Akan tetapi, sependek yang saya pahami, tafsir kepada suatu karya itu melekat kepada konteks kesejarahan dan suasana dari penikmat karya tersebut. Maka dari itu, saya memilih untuk menafsirkan puisi-puisi Mas C dalam kumpulan ini sebagai bentuk isyarat-isyarat yang hendak disampaikan kepada pemilik perkutut–sang Bapak–alih-alih hanya sebagai penggambaran ciri mathi tiap-tiap jenis burung perkutut. Isyarat-isyarat yang juga ingin saya sampaikan pada Papa, tapi keterbatasan membuat saya sulit melakukannya. Mas C lah yang dengan sabar menuntun saya membahasakan yang buntu dari diri saya yang berduka melalui puisi-puisi ini.

Dada yang Terbelah

Dalam beberapa puisinya, Mas C menuliskan ciri mathi beberapa jenis perkutut yang memiliki garis di dadanya. Beberapa kali saya temukan frasa “dadamu terbelah” dan yang sejenisnya dalam kumpulan ini. Kerap kali, Mas C menggunakan terbelahnya dada perkutut ini sebagai sebuah demarkasi dikotomi atas suatu hal.

sirih

pada dadamu yang lebar
kutorehkan garis tengah
sebagai batas antara selamat
dan tak selamat
batas permainan dimulai
dan diakhiri
hingga terang dan jelas
dan tak ada yang merasa dirugikan
ini seperti sebuah janji
dan sebagaimana janji
kadang ia diingkari
tapi setidaknya
ada bekas yang tegas di dadamu
di mana segala sesuatu bisa kembali
meski tak akan pernah sama lagi

sendang ngembeng

pada dadamu yang lebar
kutorehkan 2 garis di tengah
satu garis adalah diriku
satunya lagi adalah dirimu
berdampingan seperti sungai kembar
tak pernah benar-benar ketemu
hanya suatu kali berpapasan
bersilangan, potong-memotong
dan meninggalkan delta-delta
di mana anak turun kita
tumbuh dan beranak pinak

Dalam puisi-puisi di atas, saya melihat batas yang tertoreh di tengah dada perkutut itu justru menunjukkan kerinduan yang dalam atas sesuatu–dalam hal ini pada sosok ayah, Papa saya. Garis yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang secara tak kasat mata memisahkan kami. Menjelaskan dengan definit bahwa saya dan Papa sudah terpisah oleh batas antara mati dan urip. Saya tidak akan pernah bisa menembus batas itu, kecuali jika saya mati nanti.

Saya ingat Papa berjanji pada saya untuk hidup hingga usianya seratus. Pada akhirnya ia mengingkarinya, walaupun saya tetap terus menerus menemukan dirinya dalam segala; dalam bentuk yang mungkin tak utuh lagi. Saya melihat garis-garis tengah dalam puisi Mas C sebagai titik temu yang juga menjauhkan saya dengan Papa. Saya jumpa dengannya, tapi tak lagi benar-benar berjumpa. Kadang dalam mimpi, kadang dalam sekelebat ingatan, kadang pula pada hal-hal yang tak pernah terpikirkan; kami hanya sesekali  kali berpapasan.

Saya menemukan dada yang terbelah lagi di puisinya yang lain,

raja wana

dadamu terbelah,
suatu waktu sebuah sungai pernah hadir
dan mengalir di sana
ketentraman tumbuh di sepanjang tepinya
seperti pohon gayam
menjulurkan dahannya ke atas sungai

dadamu terbelah
aku ingin istirahat di sana

Dalam puisi ini, belahan tersebut justru merupakan satu wilayah yang gani, wilayah yang tepat untuk bersandar. Bisa jadi pula sebagai tempat bertemu untuk menumpahkan rindu. Mungkin agak melenceng, namun ketika membaca puisi ini, saya mengingat salah satu prinsip permakultur: “gunakan tepian dan hargai yang marjinal.” Dalam pandangan permakultur, yang juga dapat kita temui dalam berbagai hal pada hidup, suatu tempat dimana dua ekosistem atau habitat bertemu justru merupakan tempat yang lebih kaya dibandingkan ekosistem dan habitat masing-masing. Kita bisa menemukan sesuatu yang lebih di dalam berbagai ceruk pertemuan. Mas C menggambarkan kelebihan itu dengan tidak berlebihan dalam puisi di atas.

Ada waktu-waktu dimana saya ingin beristirahat pada garis yang membelah saya dan Papa. Saya tak bisa jelaskan perihal garis itu, saya hanya membayangkan ada suatu tempat imajiner dimana kami bisa bertemu. Sebab pada ambang antara saya dan Papa, saya bisa merasa Papa lebih dekat sembari menyadari sepenuhnya bahwa batas tersebut membedakan buana kami.

Saya tak bisa menjelaskan perasaan-perasaan saya dengan lengkap, tetapi lewat puisi-puisi ini, Mas C membantu saya untuk membahasakannya. Tiga puisi ini, bagi saya, merupakan bentuk saudade; sebuah perasaan rindu, sebuah nostalgia yang mendalam, rasa melankolia yang berkepanjangan atas kehilangan orang yang dicinta.

Padahal puisinya berangkat dari garis di dada perkutut. Sialan!

Meraba Kepergian

Ketika Papa pergi, saya perlu sekian waktu untuk mencerna fakta bahwa ia benar-benar meninggalkan saya. Ini cuma mimpi buruk yang tak kunjung usai, pikir saya. Namun tentu, saya mau tidak mau harus menerima perasaan ini untuk pertama dan untuk selamanya.

lembu rowan

brumbun, kelabu gelap
demikian jalan
bapak yang kangen anak
anak yang kangen bapak
pohon melintang
lembu lumpuh
sukma hilang
ada yang lepas tanpa alamat

Sesaat setelah Papa benar-benar pergi, saya bertanya dalam hati, kemana jiwa pergi ketika ia meninggalkan tubuhnya? Atau apakah ia melayang-layang seperti gambaran hantu di kartun? Atau apakah ia pergi ke langit? Atau apakah ia bergerak semaunya sehingga bisa berdekatan dengan saya? Saya tidak pernah tahu, mungkin Mas C juga (sekarang kamu pasti sudah tahu, Mas?). Bedanya dia bisa menuliskan ketidaktahuannya itu dengan kata-kata, sedangkan saya tidak semahir itu. Puisi “lembu rowan” begitu pendek, lugas, tidak penuh metafora. Seperti Papa yang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata, sama halnya dengan Mas C.

telaga tepung

sebentar, ada yang melingkar di lehermu
juga dadamu, seperti garis tepi telaga
membuatmu jadi terbelah-belah
dan tak pernah utuh selamanya
dan setiap kali aku hanya bisa bertemu
dengan salah satu dari dirimu
dan setiap kali aku harus menduga
dan kembali belajar mengenalimu

Melalui dua puisi di atas, Mas C seolah ingin menunjukkan betapa terbatasnya, betapa tidak tahunya kita, sebagai manusia yang masih hidup, dalam memahami kematian. Sepanjang hidup, kita menyaksikan satu per satu manusia mati, sembari menduga seperti apa keberangkatan itu berlangsung dari sisi yang mati.

Membaca keduanya membuat saya teringat pada paragraf penutup Bukan Pasar Malam (1951) karya Pramoedya Ananta Toer: “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana…”

Mencari dan Menemukan

Saya tidak kenal secara personal dengan Gunawan Maryanto atau Mas C. Saya hanya membaca beberapa puisinya, menonton film-film yang dia bintangi, dan mendengarkan suaranya membacakan puisi-puisinya via dunia maya. Akan tetapi, saya sempat menyaksikan prosesi pemakamannya yang berlangsung pada 7 Oktober lalu–sehari setelah ulang tahun saya–secara langsung melalui saluran Instagram live Teater Garasi. Saya menyaksikan Yudi Ahmad Tajudin membacakan puisi “Jineman Uler Kambang” di depan nisan Mas C yang dipenuhi bunga. Rekan saya di kantor kemudian mendatangi  saya, “Kamu kenapa?”. Ternyata saya menangis. Saya merasa kehilangan sekali.

Beberapa waktu setelah kepergiannya, saya mencoba mencari karyanya dalam bentuk fisik. Saya menemukan Sejumlah Perkutut buat Bapak. Entah mengapa, saya percaya buku akan menemukan pembacanya, serupa seseorang yang menemukan jodohnya. Begitu pula pertemuan saya dengan buku ini. Sejatinya, saya ingin mencari Mas C dalam puisi ini, tapi saya justru menemukan Papa.

Membaca buku kumpulan puisi ini ketika ayah dari sang penulis yang padanya kumpulan ini dipersembahkan, ayah dari sang pembaca, dan sang penulis sendiri sama-sama telah pergi meninggalkan hidup ini, memberikan sensasi membaca yang berbeda. Di satu waktu, saya merasa senasib dengan Mas C karena dalam puisi ini saya temukan persembahannya untuk bapaknya yang sama seperti Papa, telah pergi. Di sisi lain, saya iri pada Mas C yang mampu mendefinisikan rasa cinta dan rasa ngelangut pada ayahnya dalam satu waktu dengan begitu paripurna. Di segala sisi, saya tak berhenti mengagumi kemegahan yang bersembunyi di balik kesederhanaan diksi yang ia pilih untuk puisi-puisinya. Di sisi yang tersembunyi, ada campuran sedih dan lega bahwa Mas C kini sudah bertemu dengan bapaknya.

Siapa sangka, buku puisi perihal perkutut justru membuat saya seolah pula menjadi burung yang lepas dan bebas mengudara bersama rindu pada Papa. Seorang lelaki yang semasa hidupnya lebih gemar melihat burung beterbangan di dekat pohon-pohon rimbun yang dia tanam dan rawat sepenuh hati, dibandingkan menyangkarkannya.

Mas C, kini sepertinya kamu tak lagi perlu memperhatikan garis yang membelah dada perkutut untuk memaknai perpisahan. Tak perlu lagi harus menduga, tak perlu lagi membayangkan ketidakutuhan. Sekarang lengkap sudah dirimu. Selamat melepas kangen bersama Bapak. Titip salamku untuk Papa, kalau-kalau kamu bertemu dengannya. Sampaikan terima kasihku padanya.

Dan saya pun berterima kasih padamu, Mas C. Sama seperti pada Papa, saya percaya bahwa kamu tidak akan pernah hilang. Sebab laiknya larik-larik terakhir dalam salah satu puisimu, “widah sana gasta”:

“…suaramu hanya jalan berlapis-lapis
yang tak akan pernah habis

jalan. bukan tujuan” [T]

______

Tulisan untuk mengenang #100HariGunawanMaryanto
Lingkar Studi Sastra Denpasar

Tags: PuisisastraTeater
Previous Post

Etienne Decroux, Bapak Pantomim Modern Dunia

Next Post

Bersakit-Sakit Dahulu Bersepakat Dengan Tubuh Kemudian

Oktaria Asmarani

Oktaria Asmarani

Berkuliah di Ilmu Filsafat UGM. Aktif di organisasi jurnalistik BPPM Balairung dan BPMF Pijar. Suka buku, mi instan, dan keliling kota sambil bernyanyi-nyanyi.

Next Post
Bersakit-Sakit Dahulu Bersepakat Dengan Tubuh Kemudian

Bersakit-Sakit Dahulu Bersepakat Dengan Tubuh Kemudian

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co