Selama masa pandemi yang cukup lama ini, saya melihat banyak pengusaha baru bermunculan di dunia bisnis. Satu sisi, saya berbahagia karena pertarungan bisnis akan semakin seru dan itu sungguh menantang. Namun di sisi lainnya, saya merasa ngeri melihat bisnis-bisnis itu muncul begitu saja, terlihat seramppangan, tanpa landasan kuat dalam membuka bisnis, baik itu dari pemilihan produknya, lokasinya berjualan, pricing-nya, caranya berjualan dan lainnya.
Saya paham bahwa orang yang berniat membuka bisnis itu sebenarnya berusaha sekuat tenaga untuk bisa survive. Namun akan sangat disayangkan jika bisnis tu tidak bertahan lama. Masuk ke dunia bisnis itu gampang. Tinggal siapkan modal uang, trus beli hal-hal yang dbutuhkan, besok sudah bisa buka usahanya. Namun pertanyaan besarnya kemudian, mampukah bisnisnya bertahan? Itulah yang bikin uring-uringan. Terlebih lagi di situasi pandemi yang berkepanjangan ini.
Membuka bisnis dan mempertahankan bisnis itu beda soal. Kalo buka bisnis itu secara finansial, fokus kita akan banyak di hitungan Capital Expenditure (capex) alias belanja modal di fase awal perusahaan sebelum beroperasi. Ini gampang dihitungnya karena pasti sudah dipikirkan secara budgeting-nya sesuai dengan kemampuan. Tinggal mencocokan antara niatan mau buka bisnis apa dan berapa kemampuan kita,
Selepas itu, ketika usaha mulai beroperasi, kita akan banyak berurusan dengan hitungan Operating Expenditure (opex) alias pengeluaran rutin dalam menunjang operasional perusahaan. Bagian dari Opex itu misalnya gaji pegawai, listrik, air, maintenance, dan kebutuhan lainnya yang secara regular dikeluarkan oleh perusahaan.
Nah semua angka ini harus dengan cermat dihitung dan akan tercermin dalam laporan laba rugi. Secara umum di dalam laporan itu akan mengulas angka demi angka dari pendapatan keseluruhan, harga pokok penjualan, beban operasional dan laba bersih. Dari laporan inilah, kita bisa mendapatkan data penting yang tentunya sangat berpengaruh dalam keputusan strategis bisnis kita.
Permasalahannya, ketika para pemula di bisnis itu terkadang awam dengan hal-hal yang detail begini. Memang terlihat sepele, namun sebenarnya baik itu kepada para pebisnis mau pemula atau tidak, harus paham seluk beluk bisnisnya. Kemana arus uang itu harus paham dan cermat dalam aplikasinya. Kalau tidak, ya ambyar. Jalan menuju kebangkrutan sudah terbuka lebar.
Saya dulu bangkrut di bisnis fashion karena tidak paham betul soal ini. Literasi keuangan saya sangat rendah di jaman itu. Bagaimana bisa mau menghitung jika saya sendiri agak ‘meboya’ dengan keuangan yang njelimet ini. Lihat saja sudah pening dan berpikir apa untungnya juga menghitung yang rumit-rumit begini. Toh juga uang sudah masuk rekening sendiri. Tidak saya pakai foya-foya. Uang masih kebanyakan diputar di dalam bisnis. Rasa-rasanya secara keuangan itu aman.
Nyatanya tidak. Tanpa pemahaman keuangan, saya bergerak tanpa arah. Tak ada dashboard yang bisa men-supply data-data sebagai acuan saya untuk mengambil keputusan penting dalam bisnis saya. Akhirnya pun, saya bergerak sepenuhnya dengan insting, layaknya balian. Bergeraknya penuh tebak-tebakan. Dan dengan ilmu yang masih cetek, tentunya semuanya jadi amburadul dan akhirnya bisnis pun ditutup dengan sukses.
Kembali ke soal literasi keuangan, soal Capex dan Opex, tiap bisnis punya rasio yang berbeda-beda hitungannya. Kebetulan saya di bisnis kuliner, saya kebetulan sedikit tidaknya memahami alur keuangan yang seharusnya terjadi di bisnis kuliner. Data-data itu sangat menarik dan teramat penting untuk kita, sebagai pebisnis. Misalnya saja seperti sikon terkini yang mana harga minyak goring naik tinggi, tentu ini akan sangat berdampak di HPP, Harga Pokok Penjualan yang akan naik pula. Jadi ketika sector ini naik, strategi apa yang harus dilakukan agar HPP tidak naik, setidaknya naik tapi tidak tinggi-tinggi amat.
Itulah penting semua pebisnis, terutamanya yang baru memulai bisnis, untuk perlahan tapi pasti untuk belajar soal keuangan. Suka tidak suka, mau tidak mau, anda harus paham perputaran uangnya kemana aja. Ibarat sepakbola, jangan bisanya cuma menyerang terus. Kejar omzet agar naik terus menerus. Karena tanpa pertahanan yang kokoh, sekali diserang, pondasi bisnis langsung runtuh tak berbekas. Buyar semua kerja keras kita. Apa mau begitu?
Kami di BPC Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Buleleng sangat memahami situasi ini. Saya dan kawan-kawan pun terus berpikir dan berdiskusi akan hal apa yang bisa kami lakukan untuk membantu teman-teman diluar sana. Kami mencoba melakukan kegiatan demi kegiatan, dari diskusi bisnis baik offline maupun online, kunjungan bisnis, hingga workshop bisnis.
Kini, kami mencoba pendekatan baru yang lebih komprehensif. Kami ingin membuat kegiatan mentoring khusus untuk teman-teman pengusaha yang baru memulai bisnisnya. Tidak hanya bicara permukaan, tapi akan membahas dari beragam sisi baik itu soal produk, market, keuangan, team, branding dan lainnya. Tidak hanya sekali pertemuan, tapi ada 10 x pertemuan diikuti dengan pendampingan khusus selama 3 bulan lamanya.
Program itu kami namakan “HIPMI Business Mentoring”, sebuah program pendampingan bisnis dengan framework ‘Smart Business Map’ yang mencakup area Playing Field, Market Lanscape dan Operational Profitability. Semuanya kami sepakati untuk diikuti secara gratis. Namun ada persyaratan tertentu sebagai wujud komitmen kita bersama. Pesertanya pun kami batasi agar impact-nya lebih powerful.
Tertarik mau ikutan? Nantikan saja infonya di media social kami. Terbuka untuk semua pelaku usaha di Kabupaten Buleleng. Semoga perlahan tapi pasti, perekonomian di Buleleng bisa semakin membaik. Ganbatte. [T]