Selasa 8 Maret 2022 ada acara launching video musik yang digarap oleh “REIM Space” di Homebro Coffee Bar, Singaraja. Acara itu bertajuk “Break”.
REIM membangun agenda acaranya dengan dinamis, tidak hanya sekadar launching dan pemutaran musik video semata. Setelah menonton musik video secara bersama-sama, acara dilanjutkan dengan talkshow tentang video musik “Break”.
Ada pula showcase dari REIM Space. Acara berjalan begitu intim. Saya sangat beruntung ada di tempat itu.
REIM Space merupakan sebuah wadah atau ruang berbasis komunitas. Komunitas ini terbentuk atas dasar rasa peduli dari Kadek Agus Sutika Utama Putra terhadap minat bermusik dalam kalangan muda-mudi di kota Singaraja.
Kadek Agus bisa disebut sebagai salah satu founder dari REIM Space. Bagi dia, berdirinya REIM Space ini bertujuan untuk membentuk kesadaran dasar dalam membangun ekosistem bermusik terutama di kota Singaraja.
Ketika menyaksikan bersama musik video yang digarap oleh teman-teman REIM, saya sebagai penikmat musik , meski penikmat yang begitu awam, tentu sangat menikmati tontonan itu.
Saya melihat bagaimana setiap detik bagian demi bagian video musik yang digarap full set hanya dalam satu gedung dengan lampu warna itu. Tidak ada adegan di luar ruangan, hanya satu ruang yang mereka maksimalkan kegunaannya.
Dengan alunan musik yang tidak begitu menghentak ala rock alternatife dan alunan lirik rap/hip-hop, ini adalah salah satu musik yang begitu segar untuk diperbincangkan atau sekalipun diperdebatkan dalam ranah musik hari ini.
“Break”, bagi mereka adalah sebuah prosess beristirahat sejenak tidaklah sebuah kesalahan, tapi saya percaya bahwa kita memiliki tafsir berbeda-beda tentang istirahat.
Tapi yang menarik adalah bagaimana obrolan-obrolan yang terjadi paska menyaksikan bersama musik video tersebut. Pada sesi talkshow, ada enam pembicara dari teman-teman REIM. Mereka adalah Kadek Agus Sutika Utama Putra, Rizal a.k.a Murai Rustle, Agus Putra Wijaya, Gilang Ramadhan, Nova Ariana dan Satya Dharma. Serta ada teman-teman REIM Space lainnya dan kawan-kawan di luar komunitas yang hadir.
Pada sesi talkshow saya banyak menangkap kenyataan bahwa REIM diciptakan bukan hanya sebagai sebuah komunitas, tapi jauh lebih dalam lagi. REIM merupakan sebuah ruang tumbuh dan menjadi tukar tangkap gagasan lintas generasi. Bagaimana senioritas tidak hanya kita anggap sebagai sebuah sikap eksploitatif terhadap yang lebih junior.
Dalam ruang lingkup REIM, lintas generasi adalah salah satu landasan utama dalam pergerakan mereka sebab titik utama mereka bergerak adalah mencari muda-mudi yang ingin menancapkan tombak di kesenian. Entah kesenian apapun itu. Termasuk misalnya menulis, bermusik, video visual atapun audio.
REIM berusaha mencari bibit-bibit muda untuk terus bersemangat menghidupkan REIM yang nantinya bisa berdampak keluar komunitas termasuk untuk daerahnya sendiri. Begitu kira-kira harapan besarnya.
Tapi pada kenyataannya tentu jalan setapak membangun ekosistem kreatif tidak semudah itu, ada banyak terjal ketika jalan itu dibentangkan. Termasuk dalam menafsirkan makna ekosistem ketika bermusik.
Bagi saya menciptakan sebuah ekosistem begitu banyak perangkat yang mesti disambungkan satu sama lainnya. Misalnya pendidikan bermusik, produksi musik, cara penjualan musik, penciptaan ide dan gagasan bermusik termasuk yang paling krusial adalah arsip dan dokumentasi musik.
Bagi saya ada banyak hal yang mesti dibangun ketika membicarakan ekosistem, tapi REIM sangat menyederhanakan bahwa sebenarnya yang ingin dibangun dalam sebuah kerja ekosistem yang mereka maksud adalah membangun dan memperbanyak SDM yang memperkuat industri kreatif di daerah tempat mereka tumbuh.
Talkshow berjalan begitu sederhana, tidak ada obrolan-obrolan yang berat untuk ditangkap dan dicerna. Termasuk misalnya cerita di balik proses tiap teman-teman yang ikut dalam penggarapan musik video “Break” tersebut.
Ternyata banyak cerita unik selama proses, bagaimana ketika banyak anak muda yang ikut serta di dalamnya dengan energi yang begitu besar. Banyak ide-ide yang bermunculan, tapi Kadek Agus sebagai founder dapat mengambil langkah tepat untuk menyusun ide-ide mereka menjadi satu karya.
Meski begitu, tetap masih banyak kendala yang didapati oleh komunitas kecil, yang masih tertatih-tatih membangun komunitasnya. Misalnya, betapa susahnya mengakses kebutuhan untuk penggarapan. Dengan keuangan yang tidak begitu besar maka mereka mengambil banyak upaya lain untuk menambal ketidakmasimalan, misalnya menggunakan akses pertemanan. Banyak alat dan teman di luar komunitas yang membantu mereka dalam proses editing misalnya.
Talkshow mengalir begitu searah. Meskipun tidak ada sesi tanya jawab, saya merasa cukup dengan karya yang dibuat dengan obrolan yang santai. Tapi salah satu teman-teman yang datang bernama Kardian Narayana atau yang biasa akrab dipanggil Cotecx, memaparkan kembali bagaimana ekosistem itu ketika ingin dibangun.
Cotecx mempertanyakan ulang ekosistem manakah yang ingin dibangun? Apakah ekosistem untuk pertumbuhan komunitas dan anggotanya? Atau ekosistem musik sebagai sebuah industri kreatif?
Meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa mengganjal di pikiran saya dan teman-teman yang lain. Tapi pertanyaan dan keresahan-keresahan itu bisa saya tanyakan kembali setelah talkshow itu selesai.
Setelah talkshow saya banyak berbincang dengan Kadek Agus selagu founder REIM, bahwa REIM adalah sebuah komunitas regenerasi yang banyak anggota datang begitu saja dan pergi begitu saja. Mereka mendapati seleksi alamnya masing-masing, kemudian mereka yang masih bertahan melakukan dan membangun REIM secara bersamaan.
Meskipun misalnya Kadek Agus sadar bahwa masalah-masalah di daerah Singaraja juga cukup kompleks, terutama ketika membicarakan sebuah industri kreatif di ranah musik. Apalagi misalnya ada isu bahwa mereka yang sudah jadi-lah yang bisa menduduki panggung unjuk karya, dan akhirnya mereka yang muda-muda keburu putus asa sebelum ingin mencoba membuat garapan music.
Karena saya tumbuh berkesenian di Denpasar, saya tidak merasakan hal itu. Karena di Denpasar begitu banyak ruang bebas akses yang bisa kita jadikan sebagai ruang persentasi karya, meskipun misalnya karya yang dibuat begitu eksperimental.
Saya baru menyadari bahwa ruang persentasi di Singaraja memang cukup minim. Dan juga bagaimana setiap komunitas yang ada itu belum saling mengenal dekat. Masih ada cara berpikir bahwa misalnya komunitas literasi tidak ada korelasinya dengan komunitas musik, atau lain sebagainya.
Banyak hal yang dibicarakan di luar talkshow dan lebih cair, karena saya rasa kami memiliki keresahan yang sama dengan teman-teman REIM meskipun latar belakang saya berbeda. Misal saya yang tumbuh dari komunitas teater, Bli Cotecx yang bergerak di bidang perfilman.
Ada banyak kemungkinan sebenarnya ketika kita bertemu dan membicarakan tentang ekosistem kreatif di Singaraja. Ya, tapi begitu, kita perlu antusias dan semangat yang lebih ketimbang di kota besar seperti di Denpasar.
Jika di Denpasar kita kebingungan untuk menghadiri acara kesenian yang mana. Di Singaraja justru terbalik, di mana ada kesenian? Pertanyaan itu mungkin bisa jadi pemicu dan kenyataan yang pahit sebagai orang yang biasa hidup dalam hiruk pikuk keramaian kesenian. Alih-alih ingin membesarkan diri, sedangkan ruangnya saja tidak ada.
Saya rasa PR kita bersama adalah bukan membuat karya yang bagus, tapi membuat acara yang banyak dan semakin berkualitas. Bukan yang hanya gradak-gruduk kemudian selesai.[T]