Sudah sejak dulu kala garam dari Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, dikenal unggul. Tentu tak kalah dengan garam impor.
Karena keunggulan garam Desa Les itu, sangat sayang jika pemasarannya hanya di daerah lokal. Garam Desa Les, jika dipasarkan secara luas dipastikan akan bisa bersaing dengan garam dari daerah lain, bahkan bisa bersaing di dunia internasionsl.
Perbekel Les Gede Adi Wistara mengatakan, ia bersama petani garam dan kelompok masyarakat sedang melakukan berbagai upaya agar garam Desa Les bisa bersaing di pasar internasional.
Upaya itu antara lain memberikan dukungan kepada petani garam dengan melakukan pelatihan kepada masyarakat dan melakukan promosi secara lebih gencar.
“Apalagi dengan kebijakan pak gubernur yang sudah mengeluarkan surat edaran tentang penggunaan produk lokal, kami di Les menyiapkan garam ini sebagai komoditi yang nantinya bisa dipakai oleh seluruh dunia,” jelas Adi saat ditemui di kantornya pada Kamis, (24/2).
Produksi garam Desa Les, kata Adi, masih sepenuhnya dilakukan dengan metode tradisional yang turun temurun dilakukan oleh petani garam di pesisir Desa Les. Misalnya petani garam masih menggunakan penyaring tradisional yang terbuat dari batang bambu yang dianyam atau biasa disebut tinjung.
Namun untuk pemasaran ia mulai menggunakan metode modern. Pemerintah Desa Les memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Giri Segara untuk pengemasan dan pemasaran.
Pengemasan garam tersebut dilakukan secara modern dengan branding khas Desa Les.
Selain itu, pihaknya juga melakukan inovasi yaitu produk garam dengan macam-macam rasa, seperti: manis, pedas, dan original. Harga jual 8 ribu hingga 10 ribu rupiah dengan berat sekitar setengah kilogram.
Melalui dukungan yang diterima pihaknya baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, Adi optimis produk garam tradisional Desa Les dapat berkembang pesat dan bisa merambah pasar nasional dan internasional.
Proses membuat garam tradisional di Desa Les
Proses membuat garam tradisional di Desa Les ini tidaklah sesederhana mencicipi rasanya yang asin, gurih atau sedikit pahit. Di awal ketika musim hujan menghilang, empat petak segi empat harus disiram dengan air laut dan digemburkan.
Inilah prosesnya yang unik dan tradisional itu:
- Ngewayahang. Ini adalah proses untuk membuat petak tanah yang disiram agar tetap mengandung unsur zat garam dari air laut. Proses ini memakan waktu empat hari. Kalau hujan deras turun lagi, proses ini harus diulang lagi karena zat garam dari air laut sudah bercampur dengan air hujan, dan itu tidak bagus.
- Proses selanjutnya dikenal dengan istilah Menekang Tanah. Ini proses menaikkan tanah kering dari petak ke tempat yang berbentuk kerucut. Tempat yg berbentuk kerucut lazim disebut tinjung. Di dalamnya sudah dilapisi daun lontar, daun kelapa, kerikil ukuran kecil dan pasir sebagai penyaring alami antara tanah dan air laut yang nantinya akan menjadi air biang garam atau disebut “nyah”.
- Nuwunang Tanah, suatu proses membawa tanah yang dinaikkan ke bidang yang kosong untuk kemudian diisi air laut lagi.
- Setiap pagi air biang garam atau nyah akan dituangkan ke dalam bidang jemur (palungan) atau terpal khusus.
- Panen yang disebut Ngerik. Jikalau cuaca bagus dalam kurun waktu satu minggu akan panen sebanyak dua kali dengan volume garam tergantung cuaca dan luas lahan garam.