Kali ini kita akan ngobrol tentang arsip dan berbagai kemungkinan daripadanya. Arsip adalah sebuah pengetahuan dan kita sepakat bahwa arsip adalah akses menuju masa lalu. Mengandaikan pengetahuan masa lalu sebagai suatu bentuk romantisme saja adalah hal yang keliru, sebab manusia selalu memiliki proyeksi atas masa depan, ketika mengakses arsip pun, secara langsung atau tidak kita akan membayangkan atas masa depan.
Dalam Fraksi Epos, pada hari Minggu, 27 Februari 2022, digelar diskusi arsip bertajuk “Bergerak dari Arsip Upaya Menuju Kemungkinan” di South Beach—Discovery Shopping Mall, Kuta—Bali. Fraksi Epos digelar selama dua bulan, dari 5 Februari hingga 27 Maret 2022, diadakan perhelatan kesenian bertajuk Ruang Baur Seni: Fraksi Epos 2022, dengan enam galeri pameran dari sejumlah gerakan seni, diskusi wacana, lokakarya, musik, pertunjukan, dan 100 pelaku kesenian urun daya dalam acara ini.
Diskusi bertajuk “Bergerak dari Arsip Upaya Menuju Kemungkinan” ini diisi oleh Wayan Sumahardika yang merupakan penulis, sutradara dan pembuat teater asal Ubud, Gianyar, kelahiran 1992. Suma adalah founder Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan berbasis di Denpasar, Bali. Segenap praktik artistiknya bergerak pada persimpangan teater, ragam seni, dan laku sehari-hari sebagai studi budaya. Suma kerap menggunakan pendekatan site-spesific, repertoar arsip, dan spekulatif untuk membangun narasi, pengalaman menonton serta menimbang hubungan pertunjukan dengan kenyataan.
Pembicara kedua dalam diskusi ini adalah Jonas Sestrakresna yang berlatar pendidikan antropologi, dan kini fokus pada seni pertunjukan, dari pertunjukan tradisi hingga subkultur performances. Konsep pertunjukannya adalah prehistoric soul project, sebuah pertunjukan yang merekonstruksi kehidupan melalui multi-media dan berbagai disiplin ilmu. Ia menggunakan metode penelitian arkeologi untuk mengembangkan ide dasar, kisah, dan instalasi arsitektur.
Saya mendapat kesempatan untuk memoderatori kedua pembicara yang memiliki pendekatan penciptaan karya yang berbeda ini. Mereka berbicara perihal arsip berdasarkan kerjanya selama ini, tentang pencarian data pada arsip, pengembangan arsip, jalur arsip, serta alih wahana yang pernah mereka lakukan dalam sejumlah proyek kesenian. Menariknya, baik Jonas maupun Suma, tampaknya memandang arsip dengan luas. Arsip tidak hanya teks tertulis, tidak hanya berbentuk buku, atau berupa foto atau video saja. Lebih dari itu, arsip terdapat dalam tubuh. Dan peserta diskusi tampak seperti pendengar yang diajak masuk pada ruang dapur kerja kedua seniman pertunjukan ini. Suma dengan kerjanya bersama Teater Kalangan dan Jonas dengan usahanya merekonstruksi laku-laku prasejarah.
Jonas mengatakan, “Prasejarah memiliki banyak kemungkinan. Kalau berbicara soal prasejarah pasti menyebut …sebelum Masehi. Jadi, tafsir bisa lebih terbuka.” Dalam beberapa garapan, Jonas mencoba meneliti serangga untuk melihat laku-laku purba, dan ia mengakuti ketertarikannya dengan laku prasejarah dilatari oleh ruang tafsir yang luas itu, “Objek prasejarah memberi ruang imajinasi yang luas,” tambahnya.
Hal ini diungkap pula oleh Wayan Sumahardika. Ia mengatakan bahwa arsip bukan sesuatu yang mati, yang tetap sama bila diakses oleh siapa pun. Dengan kata lain, arsip bukan sekadar objek. Maka dari itu, Suma mengandaikan bahwa mengakses arsip sebagai sebuah pertemuan. Intersubjektivitas bekerja di sana. Arsip bergerak secara dinamis, sebab ada konteks lain yang akan mempengaruhi setiap pertemuan antara pengakses dan arsip itu sendiri.
Menariknya, Wayan Sumahardika, yang merupakan seorang sutradara dan pembuat teater ini menebalkan bahwa arsip bukan hanya teks tertulis, foto, atau semacamnya saja. “Arsip seperti itu menutup kemungkinan pada bentuk-bentuk lain. Ada kuasa bekerja di sana,” katanya. Maka dari itu, ia menegaskan bahwa kebiasaan merupakan arsip, semisal jongkok. Ada pengetahuan dalam jongkok, konteks politik, konstrusi tubuh, dan sebagainya. Berhubungan dengan ini, Suma sempat menggarap satu pertunjukan yang berangkat dari jongkok dan teks-teks di sekitarnya dengan judul “The (Famous) Squatting Dance”.
Pada satu kasus, kita telah kehilangan berbagai catatan. Kita tahu, banyak intelektual yang kemudian hilang dan dipenjara pada tahun 60-an berikut dengan catatannya. Ketika saya ngobrol dengan Made Susanta, seorang kurator yang juga aktif di Gurat Institute, di salah satu ruang pameran di Fraksi Epos, saya merasa ngilu mendengar satu kisah yang ia ceritakan, di mana para intelektual yang tertangkap pada masa itu, mengubur berbagai buku yang tentunya berisi pengetahuan dan catatan lain. Setelah keluar dari penjara, orang itu menggali kuburan itu, dan buku dan catatan itu telah hancur.
Kita sepakat, bahwa kini arsip memiliki nilai penting atas segala kemungkinannya. Ia menjadi jembatan penghubung antara kini dan yang lalu, meskipun arsip bukanlah satu entitas mati, tetapi memberi ruang tafsir yang barangkali akan berbeda dari satu generasi ke generasi lainnya. Selain itu, dua pelaku seni yang menjadi pembicara ini juga melakukan persiapan untuk hari depan, dengan usaha yang memungkinkan untuk mereka lakukan.
“Kita mempunyai kemungkinan untuk membicarakan cara kerja kita sendiri,” kata Wayan Sumahardika, dan Jonas membuat satu tempat menyimpan properti penting dalam ruangan semacam museum. Dan, kedua seniman ini melakukan pengarsipan, yang tentunya, sekaligus menjadi bahan evaluasi kerja, pembacaan atas metode penciptaan, dan sebagainya.[T]