Di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng punya tradisi beramai-ramai berkumpul di pantai atau biasa disebut ngembak geni ke pasih, sehari setelah warga melaksanakan catur brata penyepian pada Hari Nyepi.
Setelah kemarinnya melaksanakan penyepian di rumah dengan tidak bepergian, tidak menyalakan api, tidak bersenang-senang dan tidak bekerja, warga beramai-ramai ke pantai. Desa Les memang berada di tepi pantai, sekaligus juga di tepi bukit.
Tradisi ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Tidak ada sumber tertulis dari kapan tradisi ini dilaksanakan. Setidaknya ssbagai warga Desa Les, saya sedari kecil sampai 34 tahun usia saya menjadi bagian dari tradisi “ke pasih” ini.
Pun begitu ayah saya yang kini menginjak umur 65 tahun punya cerita sedikit tentang tradisi itu. Sejak kecil ayah saya juga menjadi bagian dari tradisi ini. Dan bukan hanya di Desa Les, tradisi tahunan setelah Nyepi ini, setidaknya bisa dijumpai di desa-desa di kawasan pantai di Kecamatan Tejakula. Di Desa Les, titik kumpul biasanya dilakukan di Pantai Penyumbahan.
Ini sangat mungkin terjadi karena kebanyakan desa di Kecamatan Tejakula memiliki wilayah berupa pantai. Begitu pun pantai menjadi tempat sempurna nan murah meriah untuk sekadar melepas penat, healing, bersenda gurau, dan reuni dengan teman serta saudara.
Apa yang unik dari tradisi Kepasih di Desa Les?
Di masa keadaan normal, atau sebelum pandemic, tradisi ini mampu menghadirkan ratusan sampai ribuan orang untuk berkumpul di Pantai Penyumbahan Desa Les. Seakan sudah menjadi sebuah keharusan.
Setelah sipeng (menyepi), besoknya harus ke pantai dan menghabiskan waktu di antara lalu lalang orang-orang yang asyik bercengkrama satu sama lain menghadap laut. Tidak ada jadwal khusus seperti pergelaran pertunjukan sampai jam berapa, semuanya seakan sudah bahagia dan alami seperti itu.
BACA JUGA:
- “Eka Dempul”, Metode Penanaman Bibit Terumbu Karang Ciptaan Pak Eka dari Desa Les
- Mengguh Nikmat di Desa Les, Mengguh Hingga Mencapai Mata Katak
Di sanalah tempat silaturahmi dan silaturasa setelah beberapa bulan dan bertahun-tahun tidak bertemu langsung. Secara ekonomi, ini sangat bagus. Perputaran ekonomi tampak jelas di sana. Ratusan pedagang, dari pedagang nasi, jajanan lokal, mainan anak-anak, pedagang obat, hiburan anak-anak hingga para nelayan yang bersiap untuk mengantarkan pengunjung berkeliling menikmati hamparan pesisir dan bukit kintamani dari laut.
Cerita “ke pasih” ini juga seakan menjadi semacam me time dan self reward atau menghadiahi diri dengan kesenangan.
Sudah menjadi tradisi menjelang ngembak geni atau “ke pasih” ini, dari lintas generasi; anak kecil, muda, dewasa, tua, akan mengenakan pakaian yang baru. Sangat keren dan unik , bukan?
BACA JUGA:
- Gede Suryantara dari Desa Les | Menganyam Bambu, Menganyam Hidup, di Pondok Kecil Tepi Hutan
- Tapel Gandong dari Desa Les, Hiburan Rakyat dari Zaman Jepang Hingga Zaman Milenial
Yang menarik, ngembak geni atau “ke pasih” di Desa Les tak hanya sekali. Ada dua kali ngembak atau dua kali ke pasih. Seakan sudah memang menjadi kesepakatan jika warga tidak ada waktu pada kesempatan pertama, masih ada kesempatan kedua.
Dan menariknya warga desa -desa tetangga di Kecamatan Tejakula sampai desa-desa di perbukitan Kintamani telah menjadikan ini semacam calender of event tahunan. Setidaknya saya dan ribuan orang yang pernah merasakan bagaimana bahagianya jika setelah diam di rumah, besoknya ke pantai.
Melancaran menikmati kuliner lokal sampai bertemu dengan sanak saudara dari beda dusun atau desa. Selamat ngembak semoga kita selalu sehat. [T]