— Catatan Harian Sugi Lanus, 2 Maret 2022
.
Tokoh besar Hindu Bali I Gusti Bagus Sugriwa menurunkan artikel relatif panjang berjudul Nyepi dalam majalah yang dipimpinnya: MADJALAH DAMAI, Tahun Ke-I, No 1, 17 Maret 1951.
Artikel ini ditulis dengan maksud menjawab banyaknya pertanyaan terkait perayaan Nyepi ketika itu, baik bagi masyarakat Bali yang masih memerlukan bimbingan ruhani ketika itu, dan juga banyaknya pertanyaan dari masyarakat luar Bali yang penuh tanya kenapa ada tradisi Nyepi di Bali.
Tulisan yang dimuat di Madjalah Damai tersebut mengandung nilai sangat istimewa — disamping karena mengulas Nyepi dengan sangat mendasar, yang sangat diperlukan di tengah kurang lancarnya arus informasi ketika itu —artikel ini berisi mantra-mantra sangat penting yang direkomendasi oleh I Gusti Bagus Sugriwa untuk diuncarkan dalam brata (pengendalian diri) ketika hari sipeng (Nyepi).
Di bawah ini dikutip sebagian kecil dari tulis IGB Sugriwa yang menjelaskan bahwa Nyepi adalah momentum sapta yoga.
[Semua kalimat setelah garis panjang di bawah ini adalah kutipan dari tulisan Sugriwa dan ditutup kembali dengan garis panjang juga].
————————
Besoknja pagi2, sebelum matahari terbit, menurut hakekat penjepian itu, orang2 tua atau orang2 dewasa membersihkan dirinja, lalu matirtha dan kemudian makan. Persediaan makan ini disediakan tadi malamnja.
Demi matahari telah terbit pada saat itu telah mulai dinamai Njepi. Sipeng, Mati geni (Mutih atau Ngebleng). Berapi-api dilarang, malamnja gelap tidak berlampu dalam rumah masing2.
Orang2 tua atau orang2 dewasa tadi jang menaruh minat kepada inti hakekat agama seharusnja tidak makan dan minum dalam sehari semalam. Hal ini termasuk dalam perlaksanaan brata. Tetapi bagi anak2 jang di bawah umur belum diharuskan melakukan brata, karena kemadjuan badan djasmani saja masih meningkat naik, supaja djangan terhalang karenanja. Sebab itu oleh ibu2nja disediakannja makan minumnja untuk hari mabrata itu. Pada hari itu orang2 (baik tua maupun muda) diharuskan diam di rumahnja (di halamannja) masing2, tidak harus bekerdja berat, memikul dan mendjundjung barang2. Tidak diidjinkan berdjalan… Hal ini termasuk bagian tapa.
Selandjutnja melakukan penghormatan kepada Sūrya, dengan setjara yoga. Maksudnja mengutjapkan terima kasih kepada surya jang amat besar djasanja kepada dunia. Dan mengutjap sukur kepada Tuhan (Hyang Widhi) karena Tuhan telah mengadakan Surya.
Selandjutnja mohon ampun kepada Tuhan atas kesalahan2 kita jang telah lalu dan jang akan datang. Untuk ini boleh memakai pikiran atau kata2 sendiri dan bolen djuga mempergunakan Weda2 mantram jg.
Istimewa untuk itu, misalnja:
1. Mula2 duduk setjara padmâsana, jaitu: tapak kaki kiri naikkan lebih dahulu letakkan di atas paha kanan, kemudian tapak kaki kanan naikkan dan letakkan diatas paha kiri. Badan tegak, tulang punggung lurus.
2. Melakukan pranayama, jaitu: memasukkan nafas pelan2 dari hidung kiri sampai paru2 penuh dengan udara dengan menjebutkan mantram dalam bathin:
Oṃ ung namah
Setelah paru2 penuh dengan udara, tahan sedjurus dengan mantram:
Oṃ mang namah
Kemudian keluarkan nafas pelan2 dari hidung kanan dengan mantram dalam bathin:
Oṃ ang namah
3. Ngili atma, jaitu: Tarik Sanghyang Atma naik keubun-ubun (śiwadwara) dengan mantram dalam bathin:
Oṃ ang hrêdaya naṃaḥ
Umpamakan (rașakan) badan kasar serta malanja [kekotorannya] telah bersih hangus, mantram:
Oṃ ung rah phat astra ya namah
Sanghyang Atma tidak turut hangus dan rasakan amreta mantjur dari angkasa-śiwa melalui ubun2, mantram:
Oṃ hrang hring șah Parama Śiwa anmrêta ya namah. Om ang Śiwâtmane namah
4. Memudja kepada surya,
Mantramnja ada beberapa matjam, boleh dipilih mempergunakannja boleh djuga semuanja, misalnja:
a.
Oṃ râdityasya paranjotih, rakta tejo namostute, śweta pangkaja madhyaste, Bhaskâra ya ‘namo namaswaha.
b.
Oṃ trang hrih sah Paramaśiwa-radtiya ya nama swaḥa. Oṃ ṭrang hrih sah sûrya ya namah. Oṃ trang hrih sah śiwa-sûrya paran teja swa rûpa ya naṃa swaha.
c.
Oṃ istamba meru pariwarta samasta lokam
bim badhi dewaya wajikara ya.
jambo ‘ratiwa gaganaya samasṭa metram
aṃbara bindu śaranaya mamo inaṃaste
diwyapo murtti parameśwara bhaskaranam
jyotih samudra pariraksita natha naya
bhuḥ sapta loka bhuwana netraya sarwa neṭram
aditya dewa śaranaya namo namaste
kālaya kastha rawi bhaskara baladewa
bhaktya murtti paṛiwarta suniskuṭaya
ratnaya ratna ṃani bhusita sayutaya
trailokya natha śananaya namo nameste.
5. Permohonan ampun ada beberapa matjam (pada) djuga, boleh dipergunakan salah satu diantaranja atau kesemuanja.
a.
Oṃ papo ham papo atma ham
papatma papa sambhawah
trahi mam pundarikaksa
sabahya byantara śuci
b.
Oṃ ksma swa mam Mahadewa
sarwa prani hitangkarah
mam moca sarwa papebhyo
phalaya swa sadaśiwa.
c.
Oṃ ksantawya kayika dosah
ksajitawya wacika mama
ksantwaya manasa dosah
tat pramadham ksama swa mam.
6. Malamnja melakukan yoga (sapta-yoga), untuk mentjapai nirbana.
Besok paginja dinamai Ngembak-api (geni), sudah boleh menanak dan memasak ke dapur untuk persediaan makanan alabuh brata. Hanja bekerdja berat masih dilarang, karena baru habis melakukan brata, yoga.
Sekian.-
Oṃ tat sat, ekam swā ḍwityam Brahṃaṇ
Swastyastu nama Śiwaya.
—————————
Demikanlah kutipan tulisan IGB Sugriwa.
Sebagai tokoh umat, IGB Sugriwa mendirikan dan memimpin Madjalah Damai. Majalah ini punya cita-cita luhur untuk mengupayakan masyarakat Bali menjadi masyarakat tercerahi, baik dalam konteks beragama Hindu Bali dan dalam konteks bernegara.
Membaca tulisan penting di atas, disamping mendapat mantra-mantra penting dan petunjuk singkat brata panyepian, pembaca budiman diajak memasuki sebuah kilas bagaimana peran yang harus dimainkan oleh TOKOH UMAT Hindu Bali.
TOKOH UMAT adalah pembawa berita damai. IGB Sugriwa bisa menjadi panutan bagaimana pentingnya tokoh umat untuk menulis hal-hal penting dengan gamblang agar bisa menjadi sesuluh umat, memberikan jalan keluar dan koridor dalam mengawal tradisi. Teguh mendampingi umat agar umat menemukan jalan lapang dan hati bersih dalam menjalani tradisi beragama.
IGB Sugriwa memberi contoh bagaimana salah satu tugas penting yang harus diembang tokoh masyarakat Bali adalah menjelaskan nilai-nilai suci agama Hindu Bali, dan memberikan tuntunan teknis yang praktis panduan umat untuk berlatih mengendalikan diri dan berlatih memasuki kehidupan batiniah. IGB Sugriwa memberikan pesan moral untuk menjaga tanah dan manusia Bali diperlukan keteladanan dan kepemimpinan yang teguh memberi himbau-himbauan dan tuntunan-tuntunan mengajak umat untuk hidup sehat lahir batin, berpuasa, beryoga, membaca susastra-agama, melakukan renungan batin dan pengendalian diri — bukan sebaliknya.
Kembali ke topik Nyepi, dengan kembali membaca tulisan IGB Sugriwa di atas, umat Hindu Bali bisa mengambil pelajaran penting: Nyepi adalah hari berlatih ajaran ruhaniah. Terutama bagi “orang2 tua atau orang2 dewasa tadi jang menaruh minat kepada inti hakekat agama”.
Tulisan di atas pesannya sangat jelas, kalaulah tidak bisa dijalani dengan penuh, atau belum mampu menjadikan momentum Nyepi sebagai momentum berlatih ruhani, maka minimal tidak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan makna tradisi besar Nyepi.
Sebagai tokoh besar Hindu Bali IGB Sugriwa ini menyatakan dengan tegas bahwa Nyepi adalah hari suci “untuk penghormatan kepada Sūrya, dengan setjara yoga”.
Sungguh berbalik arah jika ada kelakar pongah di masyarakat Bali yang mengatakan bahwa Nyepi adalah hari ceki. Celakanya, kelakar ini berangkat dari kenyataan memang ada kelompok masyarakat yang menjadikan momentum Nyepi menjadi hari ceki. Bahkan dianggap “tradisi”. Bukan hanya terjadi di kalangan rakyat bawah pedesaan, di lingkar pejabat pun santer desas-desus siapa-siapa oknum pejabat yang menjadikan Nyepi sebagai ajang “kondangan meceki”.
Pesan IGB Sugriwa perlu kita renungi kembali: “… menurut hakekat penjepian itu, [adalah momentum untuk] orang2 … membersihkan dirinja” secara lahir batin.
Tentunya, sungguh berbalik arah jika Nyepi disambut dengan tumpah ruah arak di bale-bale banjar.
Semoga kutipan/ ketikan kembali ini artikel yang ditulis tokoh besar Hindu Bali ini bermanfaat.
Selamat melakukan Tawur Kasanga dan brata panyepian. Semoga para pimpinan umat senantiasa diberi kesehatan dan kejernihan hati. Semoga kita semua selamat dan pandemi segera bisa kita atasi. Semoga kita senantiasa dalam kejernihan pikiran. Selamat menuju menyambut tahun 1944 Śaka. Semoga semua makhluk berbahagia. [T]