Saya menonton sajian enam Sekeha Palegongan, Kamis 24 Februari 2022, di Gedung Taksu, Dharma Negara Alaya (DNA), Denpasar. Saya duduk di kursi empuk dari pukul 16.00, namun keinginan untuk melihat parade palegongan dengan nuansa yang berbeda belum juga saya temui.
Tapi, tunggu. Di akhir sesi ketiga, ternyata ada yang lain.
Menyaksikan pelegogan di akhir ini, saya seperti terlelap dan bermimpi dalam masa silam di tahun 1930-an. Suara gamelan palegongan mempesona. Bunyi jujur, manis, enak didengar, terasa alami tempo doeloe yang mengheningkan jiwa dan raga. Gending gending petegak klasik karya maestro Lotring dan Geria mengajak semua orang untuk setia melantunkan keaslian palegongan.
Namun, saya terusik dan tersentak dengan kerasnya suara speaker dimana microfon terpajang di antara instruments yang ada. Aduh!
“Suara speaker terlalu keras. Seharusnya tidak perlu menggunakan microfon, karena akustik gedung ini lumayan bagus,” kata saya pada Gabriel Laufer, warga Belgia, yang juga ikut menonton Parade Palegongan di Gedung DNA ini.
Saya intip dari kejauhan rupa-rupanya volume microfon kurang terkontrol dengan baik. Suara gangsa menukik kuping membuat pendengaran kurang nyaman. Ini terjadi pada sekeha yang bermain di sebelah selatan panggung. Ah, sangat disayangkan!
Terus, lampu yang ada di antara penonton kenapa harus diterangkan? Semestinya diredupkan, agar fokus penonton menjadi sempurna ke panggung pertunjukan. Barangkali hal sekecil ini kurang mendapat perhatian alias dianggap sepele. Bukankah gedung ini super modern dengan penataan cahaya atau lighting yang jitu?
Pertunjukan perdana ditabuhkan oleh Sekehe Palegongan Lestari Budaya Banjar Meranggi Kesiman yang menampilkan tabuh dan tari legong lasem. Kemudian Sekeha Palegongan Merdu Komala, Banjar Binoh Kelod, menampilkan Jobog. Lalu, Sekeha Palegongan Pura Luhur Kanda Pat Sari, Banjar Pondok Peguyangan menampilkan Kuntul.
Selanjutnya Sekeha Palegongan Banjar Kaja Sesetan menampilkan Legong kreasi Puputan, sementara itu Sekehe Palegongan Bandhana Eka Pura Tambangan Badung Pemecutan menampilkan Legong Bandhojayadi. Dan terakhir, Sekehe Palegongan Bandhana Sidhi Gurnita Desa Adat Sidakarya menampilkan karya baru yaitu Legong Kembang Ura.
Kembang Ura
Nah, perhatian saya sangat tergoda dengan legong Kembang Ura dari Sidekarya ini. Legong baru karya koreografer muda berbakat Putu Parama Kesawa. Ada polesan vintage dalam kostum, ekspresi nyebeng seperti dalam potrait penari era kolonial, bentuk gerak dalam legong kuno, serta gerak ‘ngengsog‘ yang sengaja didiamkan untuk memberi kesan tegas.
Sungguh ini yang saya cari, sebuah pengembangan legong yang menggunakan gerak tradisi kuno. Make-up wajah penari sangat baik, tidak tebal dan terlihat wajah alami yang cantik tanpa filter
Namun demikian, pujian saya tidak akan berlebihan, karena ada hal-hal yang kurang pas dihati saya. Penggunaan kostum kurang menarik terutama di bagian kepala bertaburan bunga yang sangat berlebihan seperti penari gandrung. Warna kostum tampak kusam bergaya vintage berasa sisya calonarang. Kalau vintage dengan warna kostum legong kuno barangkali pas dilihat.
Setelah pertunjukan usai, saya bertemu dengan Parama Kesawa untuk mengapresiasi garapannya. Kesawa sangat positif menerima kritikan. Inilah seniman muda zaman milenial yang siap dan lapang dada menerima segala masukan.
Menurut Kesawa, Legong Kembang Ura menterjemahkan dari esensi kembang ura yang terdapat dalam tari topeng Sidekarya. Dalam pertunjukan topeng Sidekarya kita sering melihat “penaburan bunga, pis bolong, dan beras. Kembang Ura adalah simbol kedermawanan Ida Dalem Sidekarya yang ingin rakyatnya sejahtera.
Dalam pikiran saya, ura berasal dari maura (bertaburan) dalam arti positif yaitu taburan bunga yang mensejahterakan. Dalam konteks cerita ini, wujud taburan berupa bunga, pis bolong dan beras tidak nampak jelas dalam gerak, padahal Dalem Sidekarya adalah figur kuat dalam sinopsis yang diceritakan.
Sementara itu, penataan tabuh terasa romantik dengan sentuhan ngumbang-isep dalam setiap gerakan. Ini benar-benar mengeesankan gending palegongan klasik, yang mana melodi, struktur, komposisinya seperti pada palegongan pada umumnya. Sejujurnya saya ingin gending yang lebih asyik dan unik sebagai identitas kembang ura.
Berulang-ulang saya saksikan lagi di youtube, tetap saja, belum nempel di pendengaran saya. Jangan khawatir, Bro ! Tentulah saya apresiasi tinggi karya tabuh dari I Made Andita ini yang selalu kreatif berkarya dalam setiap Pesta Kesenian Bali setiap tahun.
Seniman Swasta
Parade palegongan yang bertajuk “revitalisasi dan pengembangan berbasis tradisi” yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan Denpasar ini adalah langkah nyata pemajuan kebudayaan Bali di tengah mandeknya penghasilan dan kesejahteraan para “seniman swasta” yaitu seniman tanpa penghasilan bulanan. Berbeda dengan seniman yang sekaligus menjadi PNS/ASN hidupnya lebih terjamin dalam masa pandemi ini.
Siapa lagi yang akan membantu para “seniman swasta” ini? Kasihan mereka. Apakah para seniman swasta yang tanpa penghasilan ini, mendapat jatah pentas?
Kita perlu peka terhadap seniman swasta ini, pemerintah harus jujur melakukan pemerataan kesejahteraan untuk para seniman swasta yang terdampak hancur pada masa pandemi. Memajukan peradaban kebudayaan bukan saja kita memperbanyak kwantitas event yang penuh glamour saja, akan tetapi kepedulian pemerintah akan kesejahteraan seniman swasta yang harus mendapat perhatian lebih terutama para seniman tua yang uzur dan terlupakan.
Nah, Semoga saja tari legong kembang ura ini dapat menggugah hati para pemegang kebijakan agar benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya, terutama para seniman swasta yang basah dalam karya tapi kering dalam penghasilan. Ciaaattt ! [T]