Setelah ikut pelatihan Digital Enterpreneurship Academy (DEA), pengusaha dupa Nyoman Tiya Martini, kini bersiap-siap menjual dupa ke seluruh Indonesia. Tentu saja ia tak harus berkeliling naik pesawat atau jalan kaki ke daerah-daerah lain di Indonesia. Dari ilmu yang diperoleh selama pelatihan, Tiya tentu akan lebih percaya diri untuk memanfaatkan dunia digital dalam memasarkan dupanya.
“Saya mulai dengan peningkatkan kualitas produk, pengemasan yang menarik, tampilan produk di dunia digital juga menarik, agar konsumen di seluruh Indonesia bisa kami jangkau, tentu dengan menggunakan platform-platform digital,” kata Tiya.
Pelatihan Digital Enterpreneurship Academy (DEA) merupakan program pelatihan yang digelar Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) bersinergi dengan Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penelitian (BPSDMP) Kominfo Yogyakarta di bawah Kementerian Kominfo R.
Pelatihan DEA bertujuan untuk mendukung pengusaha kecil dan menengah di Buleleng menuju Go Digital, sekaligus bertujuan mencetak talenta digital yang saat ini mempunyai aktivitas pada bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
”Pelatihan sejenis inilah yang sangat kami harapkan, dulunya hanya wacana-wacana saja dalam benak saya untuk memasarkan produk, saat ini wawasan kami menjadi terbuka akan peluang-peluang pasar,” kata Tiya tentang pelatihan DEA yang diselenggarakan Kominfosanti Buleleng itu.
Siapa Tiya Martini?
Tiya Martini adalah pengusaha dupa dari Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Ia merintis usaha dupa sejak tahun 2018 bersama suaminya. Sejauh ini, usaha dupa yang dikelolanya tergolong berhasil, namun sebagai pengusaha ia tak mau berpuas diri.
Ketika ada pengumuman pelatihan DEA, ia langsung mendaftar. Ia ingin meningkatkan kapasitas diri dalam berwirausaha, terutama untuk memajukan dan mengembangkan usaha dupa dalam dunia digital.
Pengusaha muda ini bernama lengkap Nyoman Tiya Martini. Usainya 27 tahun. Ia memberi merk terhadap usaha dupa dengan merk “Dupa Ajeg Bali”.
Usaha dupa itu benar-benar usaha rintisan, jadi bukan melanjutkan usaha orang tua. Ide untuk membuat usaha dupa muncul saat ia tidak kunjung dipanggil sebagai karyawan, padahal ia memiliki ijasah Magister Pendidikan Undiksha Singaraja. Usaha itu kemudian berkembang. Apalagi suaminya, Made Indra Parmadika, 29 tahun, juga tamatan Undiksha Singaraja Jurusan S1 Akutansi , juga punya tekad besar untuk berwirausaha.
Modal awal Dupa Ajeg Bali hanya sebuah mesin, lalu kini berkembang menjadi 6 buah mesin dengan memperkerjakan 13 karyawan. Omzet awalnya 30 jutaan, kini perusahannya sudah mengantongi omzet 200 juta rupiah per bulan.
”Ide usaha dupa ini sangat sederhana, karena dupa bagi masyarakat Bali merupakan kebutuhan pokok sebagai sarana persembahyangan. Berangkat dari itu dan bermodalkan keteguhan, komitmen kami merintis usaha ini, jadilah sampai saat ini,” kata Tiya.
Perusahaan pembuatan dupa ini dulunya dibangun di atas tanah 2 are, kemudian berkembang menjadi 4 are. Perkembangan usaha yang dia rintis sangat dibantu oleh perbankan dengan Kredit Usaha Rakyatnya (KUR).
”Secara bertahap kami kembangkan usaha, mulai penambahan mesin, kini mesin pemecah bambu, mesin pembuat lidi juga kami adakan, perluasan tempat usaha yang kini bisa dibangun 2 lantai dan menambah bahan baku dupa, dimana bahan baku 1 ton per bulan kami kelola untuk membuat dupa,” katanya.
Dengan mesin dan bahan baku itu, perusahaan yang dikelolanya mampu memproduksi berbagai jenis dupa dengan berbagai ukuran dan aroma. Ada dupa berukuran 16 cm, 22 cm, 28 cm dan 32 cm. ada pula dupa aroma terapi dengan dengan daya tahan selama 2 jam sampai 5 jam.
“Dupa ukuran 16 cm dan 22 cm banyak dicari konsumen dari Buleleng dengan harga Rp. 30 ribu sampai Rp. 35 ribu untuk kualitas ekonomi dan Rp. 40 ribu sampai Rp. 50 ribu kualitas premium,” katanya.
Yang menarik, saat pandemic, penjualan dupanya meningkat dan banyak reseler dupa yang ingin bergabung memasarkan dupanya. ”Mungkin pandemi ini banyak yang di rumah, banyak instruksi-instruksi untuk melakukan persembahyangan dari pemerintah, mungkin itu yang menyebabkan, sehingga usaha dupa kami tidak terpengaruh. Astungkara perbulan kami memperoleh omzet sampai Rp. 200 juta,” ujarnya. [T][Ole/*]