Oleh: Ni Kadek Dita Dwi Astika Sari
Perkembangan Sastra Bali Modern di zaman sekarang bisa dikatakan sangat pesat. Penggolongan karya Sastra Bali Modern atau dalam istilah kesusastraannya yang kita kenal dengan Kesusastraan Bali Anyar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok misalnya novel, cerpen, drama, dan puisi. Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima serta penyusunan larik dan bait; sajak. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa puisi memiliki keteraturan meskipun diciptakan secara bebas oleh penyair. Namun demikian, penciptaan puisi pada masa kini berbeda dengan masa lalu, sebelum perkembangan ilmu pengetahuan dan seni mengalami kemajuan secara teknis.
Kesusastraan Bali Anyar yang berupa puisi ini menariknya memiliki ciri-ciri kebahasaan yang memudahkan untuk mengkajinya, ciri-ciri kebahasaan tersebut yaitu adanya pemadatan bahasa, terdapat kata – kata yang memiliki makna, adanya pemilihan kata atau diksi yang khas, biasanya terdapat makna kias di dalam puisi, adanya lambang suasana dan lambang bunyi atau suara, adanya persamaan bunyi, adanya kata kongkret atau kata nyata , serta adanya pengimajian sang pengarang terhadap puisi yang dibuatnya.
Selain itu untuk lebih memahami puisi terdapat sepuluh cara untuk memahaminya yakni yang pertama kita sebagai pembaca harus memahami judul puisinya, kedua perhatikan jika ada kata – kata dominan, ketiga perhatikan apakah ada makna konotatif ( makna kias ) di dalam puisi, keempat pahami makna yang terungkap di dalam larik puisi, kelima buatkan sebua prosa atau paraphrase guna mempermudah menangkap pikiran puisi tersebut, keenam lihatlah kata ganti yang dibuat oleh pengarang kepada siapa puisi itu ditujukan apakah kepada dewa, manusia, benda, atau lingkungan sekitarnya, ketujuh perhatikan apakah ada kesesuaian dalam puisi tersebut, kedelapan cari pesan tersembunyi yang terdapat dalam sebuah puisi yang akan dikaji, kesembilan perhatikan corak puisi apakah tradisional atau modern, dan yang terakhir apapun tafsiran kita sebagai penelaah dan pembaca puisi kita tetap harus mengembalikan semuanya pada teks awal puisi yang kita baca untuk mempermudah memahaminya.
Namun pada kenyataannya di masa sekarang ini, pesatnya berbagai penciptaan karya- karya sastra seperti novel, cerpen, dan puisi tidak didukung oleh perhatian generasi muda Bali seperti halnya anak didik. Padahal keberadaan kesusastraan Bali modern yang berupa puisi sudah jelas merupakan sastra cerita yang didalamnya berisikan nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang berlandaskan nilai pendidikan yang patut digunakan sebagai tuntutunan dalam menjalani hidup. Sampai saat ini, puisi Bali modern belum sangat dikenal bahkan digemari oleh masyarakat. Padahal pada saat ini banyak sekali penyair – penyair baru bermunculan untuk menunjukkan karya-karyanya dalam bidang sastra seperti misalnya puisi Bali anyar tersebut.
Penyair-penyair tersebut ketika menciptakan sebuah puisi pasti memiliki alasan yang mendasar apakah sesuai dengan pengalamannya atau perasaannya ketika aka n mencurahkan pikirannya ke dalam sebuah karya sastra berupa puisi Bali Anyar. Disini pengarang puisi Bali Anyar memiliki kebebasan untuk menciptakan karyanya dengan banyak meninggalkan ruang – ruang kosong dengan tujuan agar pembaca bisa menafsirkan apa yang terkandung dalam puisi yang diciptakannya tersebut.
Dari beberapa penyair yang bermunculan ada salah satu karya sastra dari seorang sastrawan muda penggiat seni dan multitalenta yang membuat saya sangat menarik untuk mengulasnya secara lebih dalam. Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya pemuda yang bernama I Putu Gede Raka Prama Putra atau yang akrab disapa Tudekamatra adalah seorang pengawi kelahiran Gianyar, 18 Desember 1990. Beliau berasal dari Banjar Kemenuh Kangin, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Jika mendengar namaTudekamatra, pasti sudah tidak asing lagi bagi para penikmat karya sastra Bali Modern khususnya puisi. Kecintaannya terhadap Sastra Bali Modern membuat Tudekamatra banyak melahirkan karya sastra berupa cerpen, novel, dan puisi Bali Anyar. Puisi yang akan saya ulas dalam essai ini yaitu puisi Bali Anyar karya Tudekamatra dalam bukunya yang berjudul Ombak Rare Bali pupulan 100 Puisi Bali Anyar. Secara visual kesan pertama saya ketika melihat buku Ombak Rare Bali Pupulan 100 Puisi Bali Anyar yaitu adanya keunikan tersendiri yang menggugah hati saya untuk mengulasnya. Bagaimana tidak ? pertama-tama kita lihat dari segi cover. Cover depan buku dihiasi layout lukisan abstrak “Ladder Snake Game” karya I Komang Rai Kastawan dan cover belakang buku berisikan salah satu karya puisi beliau yang berjudul Bali Wali dan di bawahnya berisikan biografi sang pangawi yaitu Tudekamatra.
Buku Ombak Rare Bali ini diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi pada tahun 2015 dan buku yang saya ulas ini merupakan cetakan pertama. Masuk ke bagian daftar isi, judul-judul puisinya tidak di urutkan secara alphabetis. Untuk judul puisi yang akan saya bahas yaitu Antuk Teresna, Ombak, dan Ireng Petak . Alasan saya tertarik untuk mengkaji ketiga judul puisi tersebut yakni tema yang diangkat Tudekamatra ini berkaitan dengan kehidupan kita di dunia saat ini, dimana kita khususnya orang Hindu Bali tidak akan lepas dari kehidupan beragama karena kita terlahir sudah membawa buah kharma masing – masing di setiap kehidupan insan manusia, disamping itu pula kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajatnya wajib mengamalkan nilai – nilai luhur untuk kedamaian hidup di lingkungan sekitar, dan untuk memperoleh kedamaian tersebut kita pasti dihadapkan dengan kerikil – kerikil kecil masalah kehidupan yang membuat kita harus tanggung menghadapi setiap cobaan yang datang silih berganti. Selain itu pula ada salah satu puisi yang bertemakan percintaan dimana ketika seseorang sedang merasa jatuh cinta janganlah terlalu terhanyut dan terbawa oleh perasaan sebab apa yang kita lihat saat ini belum tentu akan sama baiknya kedepannya, jadi jatuh cintalah sewajarnya.
Beranjak ke rima dari ketiga puisi ini, dalam Puisi Antuk Teresna terdapat sampiran a-a-a- a pada bait pertama, sampiran i-i-i-i-i pada bait kedua, dan sampiran u-u-u-u-u pada bait ketiga. Pada Puisi Ireng Petak pada bait pertama terdapat sampiran a-a-a-a-a-a, pada bait kedua sampiran a-a-u-u-a-a, dan pada bait ketiga terdapat sampiran a-a-a-a-e-a. sedangkan pada Puisi Ombak terdapat sampiran a-a-i-i pada bait pertama dan ketiga , sampiran a-a-u-u pada bait kedua, a-a-a-a pada bait keempat dan pada bait kelima terdapat sampiran u-a-u-a.
Masuk ke pemaknaan dalam puisi yang berjudul Antuk Teresna, Ireng Petak dan Ombak pada bait pertama puisi Antuk Teresna : “Rumasa liang ring angga, Ambu gulem ngejohang ngumbara, kadi galang sunar sanghyang surya, antuk teresna, pikobet idup sami sida sirna” berarti: ketika seseorang sedang jatuh cinta semua yang dirasakan pasti bahagia, dan karena cinta semuanya terasa indah dan bermakna. Pada bait pertama puisi Ireng Petak : “Ireng petak, aksara bawak, suba asuba karma, sastra manusa, antuk sesana, nyujur utama” berarti : pembaca bisa menerjemahkan bahwa ireng petak berarti hitam putih, makna dari hitam putih itu sendiri berarti suatu perbedaan mendasar yang ada dalam kehidupan setiap manusia yang terlahir di dunia akan membawa buah hasil perbuatan di masa kehidupannya yang terdahulu apakah baik apakah buruk namun semuanya harus diseimbangkan sehingga bisa mencapai kebahagiaan dan kebenaran yang utama. Pada bait pertama puisi Ombak : “Sepi sipeng pasisi segara, dingin peteng ngrangsukin angga, negak nguntul titiang padidi, ngamademang sakancan geyuh ati” berarti : seseorang yang sedang duduk di tepi pantai yang sepi pada malam hari mencoba mencari ketenangan agar bisa memecahkan masalah yang dihadapinya dan berharap agar bisa menjadi insan manusia yang kuat serta tangguh akan berbagai cobaan yang datang silih berganti menerpa dirinya.
Objek-objek yang dikemukakan pada puisi Antuk Teresna, Ireng Petak, dan Ombak yakni: pada Puisi Antuk Teresna : angga, ambu, Sanghyang Surya, puspa, ati, rasa, api, angine, Hyang Ratih, Santi, urip, pikayun, dan ombak. Pada Puisi Ireng Petak : aksara, karma, sastra, manusa, sesana, utama, patut, tinut, suarga, neraka, tangan, iraga, peteng, galang, dewek, pademang, alap. Pada Puisi Ombak : sepi, pasisi segara, dingin, peteng, angga, negak, nguntul, geyuh, palaib, manyakcak, batu kaang, lesu, bias pasihe, kenjel, dalu, pamargi, urip, ombak, rasa pedih, suara, titiang, ginggang, kirigan, nglawan, kaluwihan, katimpalin, gamilang, jengahe, runtuh, genah, liang, landuh, puncak giri semarandana.
Dipandang dari sudut pandang tertentu pada puisi Antuk Teresna menggambarkan si pengarang sedang jatuh cinta, dan apapun yang dilakukannya membuat pengarang merasa berbunga – bunga dan sangat bahagia karena sudah bisa menemukan seseorang yang mampu membuat si pengarang jatuh cinta dan mengungkapkan rasa syukurnya kepada Dewi Ratih karena telah diberikan anugrah berupa rasa cinta dan kebahagiaan yang berlimpah serta tiada tara. Pada puisi Ireng Petak menggambarkan bahwakita sebagai manusiayang terlahir sangat sempurna yang memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep) tidak terlepas dari yang namanya kharma phala atau buah hasil perbuatan baik dari kehidupan yang terdahulu maupun saat ini. Kita diharapkan mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk agar bisa terhindar dari kharma buruk kehidupan sehingga terlepas dari kesengsaraan duniawi. Pada puisi Ombak menggambarkan seseorang tidak boleh menyerah dalam menghadapi kehidupan, kita terlahir memang membawa masalah, namun dibalik semua masalah tersebut kita diberikan akal pikiran untuk memecahkan dan mencari solusi atas semua masalah yang menimpa tersebut. Jadi jangan pernah menyerah untuk menjalani kehidupan, Tuhan pasti tdak akan pernah memberikan cobaan lebih dari kemampuan umatnya.
Kombinasi Bunyi pada puisi Antuk Teresna, Ireng Petak dan Ombak misalnya kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) : a,i,u,e,o, bunyi – bunyi konsonan bersuara (voiced) : b,d,g,j, bunyi liquida r,l dan bunyi sengau: m,n,ng,ny menimbulkan bunyi merdu dan berirama (efoni). Pada puisi Antuk Teresna : Bunyi – bunyi merdu yang dimaksud salah satu contohnya yaitu pada bait kedua puisi : Puspa punika kembang ring ati, rasa sane ngangetin angga kadi api, angine makesir-kesir ngetisin pamargi, magelar Hyang Ratih ngicenin galang ring wengi, antuk teresna pamargi kauripan rumasa santi. Dapat dikatakan dalam bait kedua puisi tersebut merupakan sebuah kombinasi bunyi vokal (asonansi) i berkombinasi dengan bunyi sengau dan bunyi liquida r,l yang menimbulkan suara merdu.
Pada puisi Ireng Petak : bunyi – bunyi merdu yang dimaksud salah satu contohnya yaitu pada bait ketiga puisi : Ireng petak, aksara bawak, peteng galang, dewek ngwetuang, pademang peteng alap sane galang. Dapat dikatakan dalam bait kedua puisi tersebut merupakan sebuah kombinasi bunyi vokal (asonansi) a berkombinasi dengan bunyi sengau-ng yang menimbulkan suara merdu. Begitu pula dengan puisi Ombak pada bait keempat :Nanging titiang nora ginggang, tan kirigan setata nglawan, ombak ring angga jati kaluwihan, katimpalin maruta gamilang. Merupakan sebuah kombinasi bunyi vokal (asonansi) a berkombinasi dengan bunyi sengau -ng yang menimbulkan suara merdu.
Irama dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut – turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme – paralelisme, ulangan – ulangan kata, ulangan – ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan – tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat – sifat konsonan dan vokalnya atau panjang – pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok – kelompok sintaksis: gatra atau kelompok kata. Dalam puisi Antuk Teresna kata – kata : “Rumasa liang ring angga, ambu gulem ngejohang ngumbara, kadi galang sunar sanghyang surya, antuk teresna, pikobet idup sami sida sirna” apabila disyairkan maka menggunakan nada yang lembut agak naik namun penuh penghayatan. Dalam puisi Ireng Petak seperti misalnya kata : “Ireng petak, aksara bawak, suba asuba karma, sastra manusa, antuk sesana, nyujur utama” menggunakan nada yang agak keras namun tegas serta sedikit penekanan di penyebutan kata aksara bawak, dan nyujur utama. Sedangkan dalam puisi Ombak seperti pada kata : “sepi sipeng pasisi segara, dingin peteng ngrangsukin angga, negak nguntul titiang padidi, ngamademang sakancan geyuh ati” menggunakan kata yang lembut, pengucapan yang perlahan – lahan, namun seperti menyiratkan kesedihan.
Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Dalam memilih kata – kata supaya tepat dan menimbulkan gambaran yang jelas dan padat itu penyair mesti mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata. Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah artinya menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Pada puisi Antuk Teresna terdapat kata ombak kauripan dalam bait : Rumasa ageng ombak kauripan niki pinaka guru, maksudnyaadalah : terdapat ombak besar yang diibaratkan sebagai guru, ombak besar ini di maknai sebagai tantangan – tantangan, dan masalah – masalah yang ada dan muncul di dalam kehidupan. Jadi bisa diartikan kata ombak kauripan ini merupakan konotasi dari masalah.
Pada puisi Ireng Petak terdapat kata sastra manusa dalam bait : Suba asuba karma sastra manusa, maksudnya adalah segala perbuatan yang baik maupun buruk itu semua didasari atas pengetahuan manusia dan pengalaman manusia itu sendiri sehingga bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk, sastra manusa disini bisa diartikan sebagai pengalaman seseorang atau pelajarah hidup seseorang selama mengarungi samudra kehidupan yang luas. Jadi dapat disimpulkan kata sastra manusa ini merupakan konotasi dari pengalaman hidup.
Sedangkan pada puisi Ombak terdapat kata batu kaang dalam bait : Batu kaang sane sampun lesu, maksudnya disini sang pengarang mengibaratkan batu karang itu adalah seseorang yang selama hidupnya selalu ditimpa dan mendapatkan cobaan ataupun masalah – masalah dalam menjalani kehidupannya sehingga pada akhirnya ia merasa sangat lemah dan hampir menyerah untuk menjalani kehidupannya. Jadi, dapat dikatakan kata batu kaang ini merupakan konotasi dari manusia / seseorang yang sedang menghadapi masalah.
Adapun penggunaan majas personifikasi terdapat personifikasi pada : Bait pertama baris keempat : Ngamademang sakancan geyuh ati, diibaratkan seolah – olah kita bisa memadamkan atau mematikan hati yang sedang gundah, gelisah.
- Bait kedua baris pertama : Gingsir palaib ombak mamokak, diibaratkan seolah – olah ombak itu bisa berlari dan berpindah – pindah semaunya.
- Bait kedua baris kedua : Tan surud – surud manyakcak, diibaratkan ombak tersebut tak ada henti – hentinya untuk menyerang.
- Bait kedua baris ketiga : Batu kaang sane sampun lesu : diibaratkan sebagai seseorang yang selama hidupnya selalu ditimpa dan mendapatkan cobaan ataupun masalah – masalah dalam menjalani kehidupannya sehingga pada akhirnya ia merasa sangat lemah dan hampir menyerah untuk menjalani kehidupannya.
- Bait kedua baris keempat : Bias pasihe sampun kenjel ring dalu, diibaratkan pasir – pasir pantai merasa lelah pada malam hari dan membutuhkan istirahat sama seperti kita layaknya sebagai manusia.
- Bait kelima baris pertama : Jengahe nenten labuh runtuh, diibaratkan rasa malu yang bercampur dengan rasa amarah itu sudah jatuh dan hancur berkeping – keeping.
- Bait kelima baris ketiga : Genah girang liang sane landuh, diibaratkan sebagai suatu tempat yang bisa memberikan kemakmuran dan kebahagiaan.
Dalam pembawaan puisi Antuk Teresna, Ireng Petak dan Ombak seorang penyair harus harus bisa membawakan puisi tersebut dengan penempatan tekanan, nada, dan memperhitungkan durasi pembawaan agar pendengar tidak merasa jenuh. Selain itu pula kata – kata yang diucapkan harus benar agar bisa membangun dan bisa menyampaikan maksud dari puisi tersebut kepada pendengar. Serta yang terakhir terdapat penggantian arti dalam ketidak langsungan ekspresi puisi
Dalam puisi Antuk Teresna muncul penciptaan arti yaitu dimana ketika seseorang sedang merasa jatuh cinta janganlah terlalu terhanyut dan terbawa oleh perasaan sebab apa yang kita lihat saat ini belum tentu akan sama baiknya kedepannya, jadi jatuh cintalah sewajarnya agar tidak sakit hati terlalu dalam. Dalam puisi Ireng Petak muncul penciptaan arti yaitu kita sebagai manusia diingatkan bahwa dalam menjalani kehidupan kita akan selalu dihadapkan dalam dua sisi yang sangat bertolak belakang dalam kehidupan kita, sisi hitam dan putih, sisi baik dan buruk, terutama kita yang beragama Hindu pasti mengenal dengan yang namanya kharma phala, dan apapun yang kita perbuat maka itulah hasil yang kita dapatkan, jika baik kita berbuat maka baiklah hasilnya, jika buruk kita berbuat maka buruk pulalah hasil yang akan kita petik. Dan pada dasarnya apapun yang akan kita lakukan, kerjakan, dan laksanakan semuanya tidak terlepas dari yang namanya Kharma phala .
Dalam puisi Ombak muncul penciptaan arti yaitu kita sebagai manusia diajarkan bagaimana menjalani kehidupan agar bisa berbuat lebih baik kedepannya, dan ketika kita diberikan cobaan yang terus menerus, kita harus siap dan tahan banting untuk menghadapi semuanya. Sehingga kita bisa menjadi insan manusia yang kuat dan kita harus percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang lebih berat dari batas kemampuan umatnya, melainkan karena Tuhan menyayangi kita, maka dari itu Tuhan memberikan kita ujian – ujian kecil untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup kita sebagai manusia yang dibelaki Tri Pramana (Bayu, Sabda, dan Idep).
Inilah keunikan dari puisi Bali Anyar karya Tudekamatra, kita sebagai pembaca diberikan ruang – ruang kosong untuk membaca, menggali, dan mengungkap apa hakekat sejati dari isi puisi tersebut, apakah adabenang merah yang membuat puisi – puisi tersebut saling berkaitan atau tidak. [T]
- Ni Kadek Dita Dwi Astika Sari, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Jurusan Sastra Bali angkatan 2020