Oleh: Ketut Sugiartha
- Judul Buku: Tresna Tuara Teked
- Penulis: Ida Bagus Pawanasuta
- Penerbit: Pustaka Ekspresi
- Cetakan pertama: Oktober 2019
- Tebal: vi + 79
- ISBN: 978-602-5408-97-7
Kekhawatiran bahwa bahasa Bali akan mengalami kepunahan seperti sejumlah bahasa ibu lainnya di Nusantara tampaknya jauh panggang dari api. Seperti kita ketahui, yang menjadi pertanda kepunahan suatu bahasa ialah semakin menyusutnya penutur bahasa tersebut. Sedangkan perkembangan bahasa Bali belakangan ini malah tampak menunjukkan tanda-tanda sebaliknya. Berdasarkan fakta yang ada di masyarakat dapat kita yakini bahwa penutur bahasa Bali jumlahnya kian bertambah.
Semakin banyaknya media massa baik versi cetak maupun digital yang menyediakan ruang bagi karya sastra Bali dan semakin meningkatnya jumlah buku yang terbit, begitu pula semakin maraknya penyelenggaraan sayembara karya sastra Bali, menandakan bahasa Bali sedang menunjukkan perkembangan positif. Tentu saja itu tidak mungkin terjadi jika jumlah penutur bahasa Bali semakin sedikit.
Penerbitan buku-buku sastra berbahasa Bali yang meliputi kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan juga novel secara mandiri, lewat penerbit indie, tentu dapat dipandang sebagai tumbuhnya semangat untuk mengangkat bahasa Bali ke tataran yang lebih tinggi sekaligus sebagai upaya untuk melestarikannya.
Tresna Tuara Teked (Cinta Tak Sampai) adalah salah satu di antaranya. Novelet berbahasa Bali ini merupakan karya Ida Bagus Pawanasuta yang diterbitkan Pustaka Ekpresi pada Oktober 2019. Kehadiran buku setebal 79 halaman ini patut diapresiasi di tengah langkanya penerbitan karya sastra Bali modern dalam bentuk cerita panjang. Setelah Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang (2011) karya Djelantik Santha hanya ada beberapa novel yang menyusul terbit seperti Sing Jodoh (2013) dan Ki Baru Gajah (2015) yang ditulis I Madé Sugianto.
Dari judulnya dapat ditangkap bahwa gagasan dasar umum yang menopang Tresna Tuara Teked berkisar pada kehidupan anak-anak muda yang tengah dilanda asmara dengan segenap dinamikanya. Blurb, uraian singkat di bagian belakang buku juga menyiratkan hal yang sama.
Gus Martin yang menggarap sampul depannya memberikan sentuhan yang begitu elok. Pelukis yang sudah malang melintang dalam dunia perkartunan dan ilustrasi cerita di media cetak itu tentu sangat paham bahwa gambar sampul adalah semacam etalase sebuah toko. Sampul buku dibuat sedemikian menarik (eye catching) sehingga mampu mengundang minat untuk membaca isinya.
Tresna Tuara Teked dibuka dengan kisah Pan Bekung yang melihat seorang gelandangan tertidur pulas di amben balai banjar saat ia dan istrinya sedang pergi ke sawah di pagi hari. Karena itu merupakan pemandangan yang tidak lazim di Desa Glagah Linggah maka Pan Bekung membangunkan pemuda itu dan menanyainya. Anehnya, pemuda itu mengaku tidak ingat namanya dan juga asal-usulnya. Karena merasa kasihan Pan Bekung memutuskan menjadikan pemuda itu sebagai anak angkat berhubung ia sendiri tidak memiliki keturunan.
Berita tentang kehadiran seorang pemuda tampan di tengah keluarga Pan Bekung segera menyebar seperti virus. Putu Jaya dan Luh Pudak yang dijuluki Pan Bekung dan Men Bekung karena dianggap mandul merasa bersyukur karena akhirnya memiliki anak yang akan melanjutkan keturunan mereka. Karena ia merupakan anak pungut maka ia diberi nama I Duduk.
Ketampanan dan perilaku santun I Duduk tak pelak mengundang perhatian warga desa. Bakatnya yang menonjol di bidang kesenian tradisional membuat warga desa menyayanginya. Tentu tidak aneh jika kemudian ada gadis yang jatuh hati kepadanya. Gadis itu bernama Luh Cempaka. Tetapi ia tidak berani menunjukkan sikap bahwa ia mencintai I Duduk. Sementara itu I Duduk sendiri malah jatuh cinta pada Luh Kinanti, sahabat karib Luh Cempaka.
Dengan teknik perspektif orang ketiga cinta segitiga itu diceritakan mengalir tanpa riak, minim ungkapan naluri dan emosi. Tidak ada pertikaian antarindividu yang terjadi. Bahkan konflik batin pun nyaris nihil. Tidak ada persaingan antara satu dengan yang lainnya untuk dapat memenangkan hati orang yang dicintai. Yang ada hanya sindiran-sindiran ringan dan itu pun disampaikan dalam nada canda yang menunjukkan masih terpeliharanya keakraban di antara mereka. Apa yang dialami I Duduk dan Luh Cempaka tidak berbeda dengan pengalaman orangtua mereka pada saat masih muda.
Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat urban, sikap Luh Kinanti bisa jadi dinilai naïf. Ia yang tahu dirinya ditaksir oleh I Duduk malah menghindar dengan cara kuliah di tempat yang jauh karena tidak ingin menyakiti hati Luh Cempaka yang diketahuinya mencintai I Duduk.
Begitulah potret dunia remaja pedesaan Bali pada dasawarsa tujuh puluhan yang diangkat ke dalam novelet Tresna Tara Teked. Kearifan lokal yang dikenal dengan istilah matilesang awak (tahu diri) agaknya masih tertanam kuat di hati muda-mudi Desa Glagah Linggah. Begitu pula mengenai jodoh terkesan diyakini sebagai perkara karma. Oleh sebab itu tenggang rasa adalah pilihan yang lebih baik daripada bersaing sampai bertengkar yang hanya akan mengganggu kerukunan hidup bersama.
Mereka yang tumbuh dan besar di lingkungan pedesaan di Bali pada era itu kiranya tidak asing dengan realitas itu. Sebuah realitas yang merupakan bagian dari tatanan yang masih kental dengan nuansa komunal, masyarakat yang mengutamakan kepentingan bersama, masih bebas dari pengaruh budaya luar dan tentu saja jauh dari fenomena sosial yang bernama kompetisi.
Walaupun ada adegan-adegan misterius mewarnai ceritanya, Tresna Tuara Teked tidak memberi kesan sebagai cerita horor. Tidak ada kengerian atau ketegangan yang tersuguh. Peristiwa-peristiwa misterius yang dialami Luh Cempaka dengan patung ajaibnya dan I Duduk dengan wayang Tualen yang dianggap sakti, juga Gede Abra si tokoh antagonis yang ingin mencelakai Luh Cempaka dengan guna-guna, tidak memunculkan suasana mencekam. Mungkin karena semua itu merupakan kejadian atau cerita lumrah di masyarakat.
Inti novelet iniadalahpembabaran perjalanan asmara antara laki-laki dan perempuan yang tidak menemukan terminal akhir. Itu dialami oleh beberapa orang dan tidak satu pun di antara mereka merasakan dirinya gagal apalagi sebagai pecundang. Semuanya bisa menerima kenyataan dengan lapang dada dan masing-masing akhirnya menemukan jalan hidup yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.
Kendati novelet ini minim konflik, ada hal menarik yang patut diacungi jempol. Pengarang begitu fasih menarasikan kegiatan berkesenian seperti menari, menabuh gambelan dan mendalang yang memberi kesan bahwa pengarang memang menguasai bidang itu. Boleh jadi pengarang memang mendalami hal itu sehingga mampu menyampaikan kepada pembaca seluk beluknya secara rinci. Penguasaan bahasa pengarang juga sangat bagus sehingga ceritanya mengalir dengan baik. Kata-kata yang dipilih sangat mendukung latar cerita, baik lingkungan geografis maupun waktu berlangsungnya peristiwa. Penggunaan istilah penggak sebagai pengganti warung atau damar sentir untuk lampu, misalnya, sangat relevan dengan keadaan desa pedalaman di Bali pada dekade tujuh puluhan. Selain itu penggunaan sistem penanggalan Bali seperti Buda Manis Medangsia atau Saniscara Umanis Pujut semakin menegaskan identitas Balinya.
Adapun bangunan alur cerita yang cenderung datar dan teknik bertutur konvensional yang tidak menyajikan kejutan mungkin membuat pembaca berasumsi bahwa cerita dalam novelet ini berangkat dari peristiwa yang benar-benar pernah terjadi dan ingin dijaga keotentikannya. Latar belakang tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang tersurat, seperti dapat dilihat pada alinea pembuka dan pada halaman lainnya, mungkin dapat dijadikan petunjuk. Tetapi, pada bagian depan buku, pengarang sudah menegaskan bahwa cerita dalam novelet ini hanyalah rekaan semata.
Sebenarnya tidak masalah apakah ceritanya berangkat dari kisah nyata atau murni rekaan atau kombinasi dari keduanya. Jika saja pengarang berkenan membiarkan imajinasinya berkelindan lebih leluasa, ditambah dengan kesediaan untuk mengembangkan lebih jauh perwatakan tokoh-tokoh ceritanya bersama segenap pergolakan batinnya, tentu Tresna Tuara Teked bisa menjadi buku yang lebih tebal dan lebih memikat.
Ada satu hal yang menyisakan pertanyaan, yakni kemunculan I Duduk yang tiba-tiba di Desa Glagah Linggah. Ia mengaku tidak tahu siapa dirinya dan dari mana asalnya. Apakah ia menderita gangguan ingatan semacam amnesia? Tidak ada cukup alasan untuk menyebutnya begitu. Setelah menjadi anak angkat Pan Bekung dan Men Bekung serta bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, ia tidak pernah menunjukkkan gejala gangguan serupa alias normal-normal saja tetapi tetap membiarkan asal-usulnya menjadi sebuah misteri.
Walaupun orangtua yang mengangkatnya sebagai anak tidak mempermasalahkan, kejadian semacam itu seyogyanya menjadi desas-desus yang menarik di tengah masyarakat, tetapi pengarang membiarkannya menggantung dalam ketidakjelasan.[T]
- Ketut Sugiartha a.k.a. Tut Sugi pernah bekerja sebagai social worker pada Plan International di Bali sebelum pindah ke Jakarta dan bekerja pada sebuah BUMN yang bergerak di bidang jasa konsultansi teknik dan manajemen. Menulis bagi alumni Fakultas Teknologi Informasi Universitas Budi Luhur ini hanya sekadar hobi sebagai pengisi waktu luang. Tulisan-tulisannya baik artikel, cernak, cerpen maupun cerber telah tersebar di berbagai media cetak.