30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Fenomena Sopir Ngebut di Nusa Penida, Sejumlah Alasan dan Solusi

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
February 9, 2022
inOpini
Fenomena Sopir Ngebut di Nusa Penida, Sejumlah Alasan dan Solusi

Jalanan di Nusa Penida [Foto Youtube]

Perilaku sejumlah sopir di Nusa Penida (NP) sudah lama mendapat sorotan miring baik oleh masyarakat nyata maupun dari para nitizen. Sorotan ini terutama dialamatkan kepada beberapa sopir pariwisata (tentu saja tidak semuanya) yang terlibat “lomba ngebut “ di jalanan. Konon, aksi ngebut ini dilatarbelakangi oleh satu alasan klasik yaitu “mengejar waktu”. Sopir itu takut jika waktu pemberangkatan fast boat (yang di-booking tamu) melewati ambang batas.

Karena itu, dalam hal ini, ngebut dianggap sebagai solusi. Beberapa sopir pariwisata tancap gas, melaju secepat mungkin—melewati kelok demi kelokan jalan yang cukup sempit di NP. Di atas jalan yang cukup mulus, mereka memacu kendaraannya dan sering melupakan pengguna jalan yang lain.

Kasus penyerempetan bahkan berujung kecelakaan pada pengguna jalan lain, tidak ampuh mengingatkan  beberapa sopir untuk meminalisasikan perilaku ngebutnya. Entah kenapa, ketika membawa tamu, pikiran sopir kembali ke pola semula. Ngebut dan tidak ingin ketinggalan waktu.

Sopir yang suka ngebut itu sepertinya tak mampu melawan egonya. Mereka tunduk dengan kepentingan pribadinya. Sementara, kepentingan orang lain tak sempat mereka pikirkan. Karena itu, jalanan menjadi rasa kavling. Ketika mengantar (balik) tamu ke pelabuhan, jalanan sepertinya menjadi kuasa sejumlah sopir pariwisata. Mereka melaju, menyalip paksa dan bahkan tak jarang mengambil badan jalan jalur lawan arah (keluar lintasan).

Sopir Masa Lalu

Citra “sopir ngebut” di NP bukan muncul ketika pariwisata melejit seperti sekarang. Dari dulu, predikat ini sudah melekat pada sopir di NP (tentu saja tak semuanya). Image ini tidak hanya dilontarkan oleh masyarakat lokal, tetapi justru lebih kuat dihembuskan oleh masyarakat Bali daratan.

Ketika berbicara tentang sopir di NP, mereka pasti teringat satu kata yaitu “ngebut”. Seolah-olah sudah menjadi ikonik. Imbasnya, semua sopir di NP dianggap memiliki perilaku yang sama yakni sukangebut. Padahal, sejatinya tidak demikian.

Klaim “sopir ngebut” ini bermula dari pengalaman langsung. Banyak masyarakat luar (Bali seberang), yang menjadi penumpang, mengalami langsung ketika melakukan perjalanan di NP zaman dulu. Kebanyakan yang merasakan adalah penumpang yang pernah melakukan tirta yatra ke NP. Zaman itu, transportasi darat (angkutan umum) dikuasai oleh mobil colt semi terbuka—mirip angkutan umum pedesaan era 1980-an di Bali pada umumnya.

Bagian atasnya, tertutup oleh atap yang menjulur sepanjang bodi mobil. Kiri-kanannya juga tertutup rapat. Di sela-selanya, terdapat beberapa kaca jendela kecil yang tansparan. Dari kaca inilah, penumpang dapat melihat view sepanjang perjalanan.

Sementara, di belakangnya terbuka tanpa pintu. Hanya ada penghalang kiri-kanan pada bagian bawah tegak lurus dengan jok penumpang—sebagai penghalang bodi penumpang atau barang terutama ketika berada di tanjakan. Tidak ada AC. Namun, angin dapat leluasa masuk dari belakang atau sela-sela kaca jendela yang dibuka pada pinggir kiri-kanan mobil.

Model mobil inilah yang digunakan untuk mengantar para pemedek berkeliling di NP zaman dulu. Para sopir membawa penumpang—melaju dengan kecepatan tinggi di atas jalan aspal yang kasar, sempit dan bergelombang (tidak rata). Dengan genjotan yang kurang elastis, maka penumpang tidak hanya merasakan sensasi kecepatan tetapi sensasi lompat-lompat dan rasa mirip terbang (lepas landas).

Wajar saja, para penumpang merasakan “ngeri-ngeri sedap”. Pasalnya, adonan sensasi itu dianggap sangat berisiko—meskipun dikendalikan oleh sopir yang cakap. Sayangnya,  sopir itu agaknya kurang memahami adonan sensasi ngeri-ngeri sedap tersebut.

Atau jangan-jangan sopir itu sebetulnya menyadari persoalan ini. Namun, mereka menyimpan dengan rapi dalam balutan kepentingan pribadi. Jika sejumlah sopir pariwisata (sekarang) berdalih dikejar waktu (jadwal) pemberangkatan fast boat, lalu apa dalih para sopir dulu untuk melakukan tindakan ngebut?

Pertanyaan ini penting diajukan mengingat rombongan pemedek (dulu) tidak bisa one day trip. Mereka harus menginap (mekemit) di pura, minimal satu malam. Keesokan paginya, baru mereka bisa menyeberang dengan jukung (perahu tradisional). Lalu, mengapa sopir harus ngebut? Ingin diajum (dipuji) sebagai sopir andal dan cakap?

Ah, tentu tidak sebanding dengan risiko dari tindakan ngebut tersebut. Untuk menguak misteri ini, kebetulan saya pernah mengajak rombongan satu kantor melakukan tirta yatra di seputaran NP tahun 2000-an. Trayek Pura yang kami sasar yaitu Pura Puncak Mundi, Goa Giri Putri dan Dalem Ped.

Pura pertama yang kami sasar ialah Pura Puncak Mundi. Turun dari pelabuhan, mobil yang kami tumpangi langsung melaju kencang menuju Puncak Mundi. Sesekali diwarnai dengan teriak-teriakan ekspresi ketakutan pada lintasan medan tertentu. Syukurnya, kami selamat sampai tempat tujuan. Seperti biasa, kami melakukan persembahyangan dan berpikir sopir kami menunggu dengan sabar di area parkir.

Karena itu, ketika selesai sembahyang, kami bergegas menuju parkir-an. Berharap mobil carteran kami parkir di situ. Ternyata tidak ada. Kami mencoba memfokuskan pandangan di antara kerumunan sopir di area parkir. Pun tidak ada. Kondisi ini berlangsung kurang lebih setengah jam lebih. Namun, kami tetap bersabar.

Sekitar hampir 50 menitan, muncullah mobil yang kami tumpangi. Kami langsung naik ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju Pura kedua yaitu Pura Goa Giri Putri. Pura yang letaknya di dalam goa raksasa. Untuk mencapai Pura ini, kami harus menaiki beberapa anak tangga, melewati mulut goa yang sempit—kemudian disambut kelebat sayap kelelewar dan formasi lampu-lampu yang estetik.

Kami melakukan persembahan dengan khusuk dari satu pelinggih ke pelinggih yang lainnya hingga ujung goa yakni pelinggih Dewi Kwan Im. Persembahyang usai. Kami bergegas menuruni tangga keluar, hendak melanjutkan ke pura Dalem Ped. Namun, apa daya. Kami harus mencari-cari hingga berjam-jam mobil yang kami tumpangi—tetapi tidak ada di area parkir.

Akhirnya, kami arahkan pandangan ke arah laut luas. Kami tetap sabar menunggu sambil membeli minuman dan jajan di sekitar area parkir. Semula pikiran kami positif saja, walaupun kami merasa ditelantarkan. Namun, obrolan segelintir sopir yang lainnya, membangunkan pikiran negatif kami.

Tak sengaja, saya mendengar obrolan sopir dalam dialek Nusa. Mereka membicarakan soal rombongan yang mereka antar. Poinnya, dalam satu hari mereka dapat membawa lebih dari satu rombongan. Dari sinilah, kami baru menyadari bahwa kami termasuk dalam target kasus yang dibicarakan itu.

Belum bulat kami menegatifkan pikiran, datanglah sopir kami dengan laju cepat dan tergesa-gesa. Kami enggan bertanya. Kami langsung naik dan meluncur menuju Pura Dalem Ped.

Sambil menahan goncangan dalam mobil, saya berpikir. “Inikah motif di balik kebut-kebutan sopir di NP?” gumamku. Mereka memaksimalkan waktu dengan cara mengambil lebih dari satu rombongan. Cara ini memang terkesan merugikan atau menelantarkan klien (penumpang). Namun, jika hanya mengantar satu rombongan mungkin mereka merasa rugi.

Banyak waktu tersisa jika hanya menunggu dan mengantar dengan taat satu rombongan saja. Menunggu pemedek sembahyang berjam-jam, dapat diisi dengan mengantar rombongan lain. Ya, karena jarak antara Pura satu dengan Pura lainnya tidak begitu jauh. Mungkin begitu hitung-hitungan para sopir.

Sebaliknya, pemedek/ penumpang jelas merasa dirugikan. Pasalnya, mereka merasa men-carter mobil tersebut. Namun, kenyataannya mereka diperlakukan seperti penumpang biasa. Ditaruh di tempat tujuan, kemudian para sopir yang memiliki peluang “mendua” menjemput rombongan lain.

Wajar saja, ada sopir bermain di zona kebut-kebutan. Mereka berusaha meringkas perjalanan sesingkat atau secepat mungkin guna mendapatkan rombongan lain, terutama ketika musim pemedek ramai.

Ngebut Beda Motif

Hingga sekarang, kebiasaan ngebut dari beberapa sopir di NP masih berlanjut. Alasannya sama yaitu “mengejar waktu” atau “meringkas perjalanan” (karena waktu tidak bisa dikejar). Namun, varian motifnya berbeda. Jika sopir pemedek (dulu) melakukan tindakan ngebut untuk meringkas perjalanan agar dapat “mendua”, maka sopir pariwisata (sekarang) berdalih agar para kliennya tidak ketinggalan fast boat yang sudah dipesannya.

Sopir pariwisata tentu tidak bisa mendua, karena mereka dikunci oleh sistem one day trip. Bagaimana caranya dapat mengantar tamu ke objek wisata, lalu balik ke pelabuhan sesuai dengan jadwal keberangkatan fast boat ke Bali seberang dalam waktu sehari.

Itulah tantangan kekinian sopir pariwisata di NP sekarang. Tantangan ini harus disikapi dengan bijak dan mandiri untuk kelancaran perjalanan. Tentu tidak mudah memang, karena ada sejumlah persoalan yang mengganjal di lapangan.

Pertama, akses jalan. Meskipun jalanan sudah divermak menjadi lebih mulus sekarang, tetapi masih terganjal pada persoalan lebar jalan. Dengan lebar jalan rata-rata kurang lebih 4 m, maka papasan dua mobil tidak terjadi dengan mulus. Harus terjadi penurunan gas kecepatan ke titik rendah dengan memanfaatkan pinggir terluar medan jalan.

Kedua, rata-rata medan ke objek wisata curam dan terjal. Diperlukan waktu ekstra untuk menjangkau objek wisata dan balik ke titik parkir mobil. Ini belum terhitung waktu enjoy tamu untuk menikmati panorama di lokasi.

Ketiga, karakter tamu yang kurang konsisten. Ada beberapa tamu yang tidak disiplin dengan waktu yang sudah disepakati dengan sopir. Ya, mungkin karena terlalu keasyikan menikmati objek wisata sehingga lupa dengan waktu yang sudah disepakati dengan sopir.

Keempat, jumlah mobil yang beroperasi cenderung mengalami peningkatan. Jumlah ini tidak hanya menaikkan tensi kompetisi, tetapi berpengaruh terhadap kelancaran arus lalu lintas di jalanan.

Jika kompleksitas kendala lapangan tersebut tidak diminalisasikan, maka sopir pariwisata tetap saja terjebak dalam lingkaran ngebut yang tak berujung. Ngebut akan dianggap sebagai sebuah solusi. Bahkan, satu-satunya solusi nanti.

Ke depan, tentu berbahaya. Ngebut tidak saja membahayakan penumpang, sopir dan terutama pengguna jalan lain. Karena itu, sistem one day trip mungkin sebaiknya dikurangi. Setidaknya, para tamu dapat menginap minimal semalam agar perjalanan bertamasya tidak uber-uberan (terburu-buru).

Ujung-ujungnya pasti berkaitan dengan biaya. Banyak tamu hendak berkunjung ke NP dengan biaya terbatas. Jika menginap, tentu cost-nya lebih besar. Namun, jika dibandingkan dengan harga keselamatan, sebetulnya tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, semua pilihan itu sepenuhnya tergantung kepada pengunjung itu sendiri.

Pengusaha fast boat banyak. Pilihan jadwal trip fast boat banyak. Pengusaha transportasi darat juga merebak di  NP. Kondisi ini menyebabkan pengunjung bebas keluar masuk dari dan ke NP sesuai kemauannya. Kecuali, ada kesepakan (MOU) yang bersifat simbiosis mutualisme antara pengusaha boat, pengusaha transportasi dan pengusaha penginapan.

Itu pun jika pihak yang bersangkutan memiliki visioner yang sama. Visi yang berkaitan dengan kepuasan, kenyamanan, dan keselamatan pengunjung. Modal ini akan menjadi nyawa keberlangsungan pariwisata di NP. Artinya, ngebut dalam jangka panjang akan menurunkan citra pariwisata di NP.

Dalam konteks inilah, isu jalan melingkar di sepanjang pesisir pulau NP menjadi ide visioner. Ide untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas di NP. Realisasinya sangat didambakan oleh semua masyarakat NP, terutama kalangan sopir pariwisata. Mungkin saja jalan melingkar itu akan mengeluarkan para sopir pariwisata dari lingkaran ngebut di NP. Atau bisa jadi malah memicu sopir bertambah ngebut. Biarkan waktu yang membuktikannya nanti! [T]

Tags: Nusa PenidaPariwisatatransportasi
Previous Post

Dari Aliansi Subak sampai Proses Menjaga Kedaulatan Kerajaan Bali: Memandang Batur dari Jendela Sastra

Next Post

Dibuka, Pendaftaran Film Pendek Untuk “Indonesia Raja 2022”

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Dibuka, Pendaftaran Film Pendek Untuk “Indonesia Raja 2022”

Dibuka, Pendaftaran Film Pendek Untuk "Indonesia Raja 2022"

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co