Batur: Dari Dharma Pamaculan sampai Pasihan ‘Jaringan Subak Bali’
Bahwa Batur memiliki relasi yang kuat dengan jejaring subak yang ada di Bali telah disinggung dalam teks Dharma Pamaculan. Pustaka Dharma Pamaculan yang banyak menguraikan berbagai upacara di sawah, tatanan palinggih, dan penanganan hama sawah berbasis kearifan lokal Bali itu menyatakan hubungan itu dengan terang di awal teks. Pustaka ini secara filosofis menyatakan bahwa Sang Hyang Baka Bumi yang menjadi jiwa hidup sawah [mangraksa uriping sawah] berstana di Ulun Suwi. Oleh sebab itulah diperlukan sarana untuk menyambut beliau dengan sarana upacara seperti kerbau hitam, setiap bulan Oktober disertai babi guling, pebangkit, suci, parencah babi, yang diolah dengan lengkap. Bertalian dengan pemuliaan Batur sebagai pilar penyangga air Bali, teks ini menyatakan sebagai berikut.
Aturang ring Gunung Agung, bras acatu, daksina 2, bebek 2, pada putih, jinah katur ring Gunung Agung 281. Ring Dewi Danu ring Batur, aturang bebek 2, pada petak, daksina 2, beras acatu, ketan acatu, raka den agĕnĕp, lawe 2, jinah aturan 222. Mĕtu tirta ring Batur, mwang ring Pĕngubĕngan, ring Wulun Swi…[Dharma Pamacul, 2a]
Terjemahan.
Haturkan di Gunung Agung beras satu catu, daksina 2, bebek berkaki putih 2, uang dihaturkan di Gunung Agung sejumlah 281. Kepada Dewi Danu di Batur haturkan bebek berkaki putih 2, daksina2, beras satu catu, ketan satu catu, buah-buahan sebagai sarana sesajen selengkapnya, benang 2 helai, dan uang sebanyak 222. Muncullah tirta di Batur dan di Pengubengan, di Ulun Sui.
Pustaka yang konon mengadopsi tata cara penyambutan air di Majapahit tersebut dengan jelas memuat kearifan lokal masyarakat Bali dalam memuliakan air. Air sebagai sumber kehidupan disambut kehadirannya menggunakan berbagai sarana upacara oleh subak-subak yang ada di Bali. Subak sebagai organisasi yang secara khusus mengatur pembagian air di Bali memang menempatkan Dewi Danuh dalam posisi yang sangat istimewa. Subak-subak di kawasan hilir Ulun Danu Batur merasa memiliki hutang budi kepada Dewi Danuh yang diyakini menjadi penguasa danau Batur secara spiritual. Mari kita simak penuturan Bendesa Selat sebagai pimpinan subak di salah satu kawasan Bangli berikut ini.
Kami meyakini bahwa amerta air yang diterima oleh subak-subak di kawasan kami [Desa Selat] merupakan anugerah dari Ida Batari yang berstana di Ulun Danu Batur. Air itulah yang menjadi sumber kehidupan tanaman padi dan sarwa tumuwuh ‘semua yang hidup’ di hilir. Karena hutang kasih itu, pada saat piodalan di Pura Batur kami [subak Selat] menghaturkan pis bolong, kelabang, jerimpen, salaran….[petikan wawancara dengan Bapak I Ketut Pradnya, Bendesa Desa Gede Selat, wawancara dilakukan hari Jumat tanggal 26 April 2019].
Bertitik tolak dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ada keyakinan bagi subak-subak di Bali bahwa air yang digunakan untuk mengairi sawah, menghidupi padi, dan menyuburkan berbagai tanaman berasal dari air danau yang berhulu di Batur. Danau Batur seperti seorang ibu yang menyusui kehidupan subak di Bali. Bersandar pada keyakinan itulah mereka menghaturkan berbagai persembahan kepada Dewi Danuh pada saat piodalan di Ulun Danu Batur. Barangkali ini pula yang mendasari jaringan subak di Bali yang disebutkan dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur sebagai pasihan.
Istilah pasihan memang dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Apabila kata dasar pasihan ditafsir dari kata pasih yang mendapatkan akhiran –an maka makna pasihan bisa berarti laut. Tapi persoalannya, masyarakat Bali agak jarang [untuk menyebut tidak ada] mengucapkan kata laut dengan pasihan. Buktinya, dalam kamus bahasa Bali [tahun 2016] bentuk jadian dari kata pasih menjadi pasihan tidak tercantum. Yang ada adalah pasih atau papasih dengan makna ‘gelar’ dan pasih atau papasihin yang bermakna ‘bujuk rayu’ atau ‘hibur’. Oleh sebab itulah, barangkali dapat ditawarkan pemaknaan kata pasihan yang berasal dari kata sih dengan makna ‘kasih’. Kata sih tersebut dilekati oleh konfiks ke-an yang bermakna alat atau tempat dalam bahasa Bali. Fenomena kebahasaan itu sama seperti kata panyemuhan ‘tempat menjemur’, pasarean ‘tempat tidur’, panyingakan ‘alat untuk melihat’, dan pangadukan ‘alat untuk mengaduk’. Dengan demikian, kata pasihan boleh jadi bermakna tempat melimpahkan kasih. Dalam konteks ini kata pasihan dapat dimaknai sebagai tempat-tempat Dewi Danu melimpahkan kasih kepada subak-subak di Bali berupa air sebagai kebutuhan utama masyarakat agraris.
Bertumpu pada kasih yang dilimpahkan oleh Dewi Danu itulah subak-subak di Bali menghaturkan berbagai persembahan ketika piodalan Purnama Kedasa di Pura Ulun Danu Batur. Ada sekitar 45 bahkan lebih aliansi subak yang tergabung pasihan yang menyangga sarana upacara pelaksanaan piodalan di Pura Batur. Mereka menghaturkan hasil panen [sarin tahun dan sawinih/suwinih ‘hasil terbaik’] sebagai tanda terima kasih. Pada saat yang sama mereka juga memohon tirta kekuluh untuk kesuburan berbagai tanaman yang ditanam di subak masing-masing. Melihat hubungan timbal balik dari aliansi pasihan melalui apa yang mereka terima lalu persembahkan, kita merasa ada siklus dari kasih kembali ke kasih. Itulah pasihan.
Satu pertanyaan yang penting diajukan di tengah-tengah dedikasi aliansi pasihan dan gegap gempita masyarakat Bali melakukan pemujaan di Pura Batur ketika bulan penuh Kedasa adalah apakah ketika terjadi masalah seperti ketercemaran dan pendangkalan Danau Batur semangat pasihan dan masyarakat Bali secara makro masih terjaga? Dalam banyak hal masyarakat Bali memang dituding memiliki fanatisme yang tinggi terhadap hal-hal di tataran teologis ‘beraroma ke-Tuhanan’ tetapi sangat permisif dalam urusan ekologis ‘lingkungan’ dan sosiologis ‘kemanusiaan’. Bukan berita yang mengejutkan apabila kita mendengar masyarakat Bali rela menghabiskan biaya ratusan juta untuk berupacara, tetapi sangat takut menyekolahkan anak dengan biaya ratusan ribu.
Ironi-ironi seperti itu sudah semestinya diputus di zaman sekarang ini. Secara lebih menukik, apabila di masa depan ada masalah yang berhubungan dengan penurunan kuantitas dan kualitas danau seperti pendangkalan, ketercemaran air danau akibat penggunaan pestisida pertanian di sekitar Danau Batur, termasuk perilaku hidup masyarakat yang tidak lagi santun kepada danau, kita tentu berharap spirit pasihan dan masyarakat Bali secara umum tidak memudar setitikpun.
Terlebih ketergantungan masyarakat Bali terhadap air dalam siklus kehidupannya sangat tinggi termasuk dalam hal ritual. Ketergantungan itu menyebabkan masyarakat Bali diidentifikasi berkeyakinan Agama Tirta oleh peneliti asing seperti C.Hoykaass. Tentu Hoykaass tidak seorang diri. Teks-teks klasik telah lama berpesan bahwa sumber amerta orang Bali itu ada di tiga wilayah yaitu laut, gunung, dan sungai. Melalui pustaka Adi Parwa dalam fragmen pemutaran Gunung Mandara, kita tahu bahwa amerta didapatkan di laut. Sementara melalui kisah perjuangan dari garuda yang ingin membebaskan ibunya [Dewi Winata] dari perbudakan para naga, kita juga dapat menyimak bahwa amerta itu disembunyikan di Gunung bernama Somaka Giri. Secara kasat mata, amerta yang ada di gunung adalah mata air-mata air dan danau sebagai kumpulan air dalam volume yang besar. Sementara itu, melalui pustaka Tantu Panggelaran kita mendapatkan pesan mendalam betapa sungai sebagai urat nadi penghubung gunung dan laut mesti kita jaga kebersihan dan kesuciannya pada saat yang bersamaan.
Pustaka-pustaka itu tidak akan besar gunanya apabila kesadaran yang berada di langit teks itu tidak mampu dibumikan dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Apakah suatu kesalahan apabila manusia Bali juga mencintai Tuhan dari apa yang diciptakanNya? Termasuk mencintai air dan danau yang diciptakan oleh Dewi Danuh? Pertanyaan itu bisa kita jadikan sebagai benih pengetahuan yang barangkali kita tanam dulu di sebuah wilayah yang bernama mandala hati.
Mandala Batur dalam Babad Pasek Kayu Selem dan Usana Bali Mayantaka
Mandala atau kawasan Batur khususnya Tampurhyang diuraikan dengan menarik dalam Babad Kayu Selem[1] dan Usana Bali Mayantaka. Tampurhyang saat ini memang menjadi nama sebuah pura yang terletak di lereng Gunung Batur. Akan tetapi, Tampurhyang sendiri sesungguhnya konon merupakan nama lain dari Gunung Batur, di samping Gunung Sinarata, Gunung Lebah dan yang lainnya.
Babad Kayu Selem menyatakan bahwa para dewa menciptakan manusia di Bali di dua lokasi yaitu Gunung Tohlangkir dan Tampurhyang. Hyang Putrajaya, Gni Jaya, dan Batara Catur Purusa menciptakan manusia itu karena wilayah Bali dinyatakan kosong, tidak berpenghuni, dan tidak ada yang memuja beliau. Oleh sebab itulah para dewata tersebut pergi ke Jambu Dwipa menghadap Hyang Pasupati untuk memohon anugerah berupa kekuatan menciptakan manusia. Hyang Pasupati mengabulkan permohonan tersebut. Beliau bersama para dewa lainnya lalu menuju parhyangan di Gunung Tohlangkir/Gunung Agung seraya menciptakan manusia dengan melakukan pemujaan di keren atau tungku perapian. Manusia itu konon diciptakan menggunakan sari-sari Hyang Basundari atau sari-sari tanah.
Pada saat proses penciptaan manusia itu berlangsung, Batara Yamadipati yang berwujud seeokor anjing menggoda para dewa. Yamadipati yang berwujud anjing bersumpah apabila manusia tersebut bisa diwujudkan, ia bersedia memakan kotorannya. Keteguhan yoga para dewata menyebabkan manusia itu berhasil diwujudkan. Sejak saat itulah secara mitologis anjing memakan kotoran manusia.
Manusia yang terlahir dari yoga para dewa itu bernama Ki Ketok dan Ki Jenar. Setelah para dewa beryoga lagi, lahirlah sepasang manusia laki dan perempuan bernama Ki Abang dan Ki Barak. Usai melakukan yoga di Gunung Tohlangkir, para dewa menciptakan manusia kloter ketiga di Tampurhyang. Dari penciptaan manusia di Gunung Tampurhyang itu lahir keturunan masyarakat Bali Aga. Manusia yang telah dilahirkan tersebut lalu diajari oleh para dewa berbagai keterampilan di Gunung Tampurhyang.
Wĕkasan datĕng Bhagawan Wiswakarma maring Tampurhyang, apan inundang de Bhaṭara Brahma…mwah kinona Bhagawan Wiswakarma angurukakĕn tang manuṣa angundaginin, angwangunakĕn wawangunan. [Babad Kayu Selem, 15 b-16a].
Hyang Indra inutus de Hyang Pramesti Guru tumurun maring Madyaloka, jumujur maring Tampurhyang, kumawruhakna tekang Wong Bali Aga akarya didinya asasanggingan. [Babad Kayu Selem, 16 b].
Widyadara widyadari inutus de Bhatara Guru turun wontĕn ring Baliaga [Tampurhyang] api-api adagang keris, nguniweh wastra, didinyan tinular dening Wong Baliaga [Babad Kayu Selem, 17 b].
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Sang Hyang Wiswakarma lalu mengajarkan manusia arsitektur dan membangun rumah. Tidak hanya Bagawan Wiswakarama, Hyang Indra juga diturunkan di Tampurhyang untuk mengajarkan masyarakat Bali Aga keterampilan mengukir. Untuk memberikan contoh cara berbusana, para dewa akhirnya menurunkan bidadari dari kahyangan ke Tampurhyang untuk mengajarkan cara berbusana dan berias. Hal itu dengan sendirinya dijadikan contoh oleh masyarakat Bali Aga.
Tidak hanya Babad Kayu Selem yang menarasikan mengenai Tampurhyang, tetapi juga karya sastra Usana Bali Mayantaka yang diduga kuat karya Dang Hyang Nirartha. Agastia [2018: 3] menduga karya sastra tersebut ditulis di sekitar Danau Batur seperti yang tercermin dalam setting lokasi karya sastra yang mengisahkan Dewi Danuh dengan putra beliau bernama Maya ini. Karena putra dari Dewi Danu itulah yang menyebabkan ia juga disebut Maya Danawa yang artinya ‘Maya Putra Danu’. Ia adalah pertapa Siwa yang taat sehingga dianugerahi kesaktian oleh Siwa. Akan tetapi, kekuatan itu justru menyebabkannya menjadi memiliki keinginan untuk merebut sorga Hyang Indra, termasuk membenci orang-orang yang bertapa dan beryadnya. Hal itu menyebabkan Siwa mengutus Dewa Indra untuk mengalahkan Maya Danawa. Setelah terjadi pertempuran yang sengit dengan narasi cerita di berbagai setting lokasi di Bali seperti Manukraya, Tampaksiring, dan Batur akhirnya Maya Danawa berhasil dibunuh. Mengetahui kekalahan anaknya, Dewi Danu seketika menjadi murka. Beliau lalu beryoga di Tampurhyang, sambil mengubah air danau menjadi api. Kita simak petikan kakawin tersebut berikut ini.
Ndah dewi sang awĕka dānawendra warnan,
Asādbhuta ri patining swasputra lĕnglĕng,
Tumpuhyang kahananirātapa tan sah,
Yan krodhānala raņu toya mawak agni [Kakawin Usana Bali, Wirama 15: 4]
Terjemahan.
Adapun sang dewi yang berputra raksasa agung,
bersedih hati dengan gugurnya putra yang disayang,
lalu segera melaksanakan tapa di Tumpuhyang,
karena marahnya air danau lalu berwujud api.
Kutipan kakawin di atas menyisakan kesan di dalam ceruk batin bahwa Tampurhyang [Tumpuhyang] yang berlokasi di lereng Gunung Batur adalah lokasi tempat beryoganya Dewi Danu ketika hendak mengubah air danau menjadi api karena kesedihan atas kematian Maya Danawa putranya mengalami titik kulminasi. Menyimak uraian di atas kita sekaligus mengetahui bahwa daerah Batur sejatinya pusat belajar, pusat studi, dan pusat orang-orang mendapatkan pencerahan hidup secara lahir-batin.
Dalam narasi Babad Kayu Selem pencerahan melalui berbagai pengetahuan dan keterampilan dianugerahkan oleh para dewata. Di zaman sekarang ini, spirit Batur sebagai pusat studi mesti dijadikan inspirasi untuk mengembangkan wilayah ini menjadi pusat-pusat studi baru. Pariwisata dengan roh edukasi perlu dihidupkan agar wisatawan tidak hanya mencari kesenangan di mandala Cintamani itu, tetapi juga ketenangan. Kakawin Ramayana sudah lama mengingatkan kita bahwa makna dasar dari wisata adalah usaha untuk mendapatkan ketenangan [wisata ri sang wruh ri jurang kali ‘tenang keadaaan batin orang yang tahu hakikat zaman kehancuran].
Narasi-Narasi tentang Dewi Danu dan Kesatria Batur dalam Menjaga Kedaulatan Kerajaan Bali
Ancaman berupa kekacauan bahkan kehancuran kerajaan selalu menjadi dinamika kerajaan-kerajaan di Bali. Sepanjang sejarah pergolakan politik yang terjadi di Bali, warga Batur dan Dewi Danu sebagai sungsungan masyarakat Batur khususnya dan Bali umumnya, juga tampak terlibat aktif. Ada berbagai sumber karya sastra sejarah yang menarasikan bahwa Dewi Danu memberikan anugerah kepada raja yang berkuasa di Bangli dan Bali.
Pertama, Babad Bendesa Batur menjelaskan bahwa Ida Dewi Danu menganugerahkan pasukan khusus bernama Sikep Batur kepada raja Bangli untuk menjaga kedaulatan kerajaan Bangli. Kedua, Babad Mengwi juga menyebutkan bahwa Dewi Danu menciptkan seorang manusia sakti bernama Ki Balian Batur untuk mengganggu kerajaan Mengwi akibat raja Mengwi yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan tidak mau tunduk kepada Dalem di Gelgel. Ketiga, Kidung Bhuwana Winasa yang menguraikan perjanjian Raja Denpasar dengan Tabanan di Pura Nambangan Badung sebelum terjadinya Puputan Badung. Uraian lebih rinci peran Dewi Danu dan masyarakat Batur dalam pergolakan politik Bali tersebut dipaparkan di bawah ini.
Sikep Batur: Pasukan Khusus Penjaga Kedaulatan Kerajaan Bangli dari Serangan Kerajaan Gianyar
Babad Bendesa Batur[2] menceritakan pemerintahan raja Bangli yang bergelar Ida I Dewa Tangkeban III. Pada masa pemerintahan raja Bangli itu, terjadi ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh Raja Gianyar yang bergelar I Dewa Manggis. Perluasan wilayah tersebut sampai ke daerah kedaulatan kerajaan Bangli sisi selatan yang meliputi wilayah Bitra sampai daerah di sisi utara Petak Kaja yang bernama Tegal Melakang. Menyikapi keadaan itu, Ida I Dewa Tangkeban III lalu mengutus sejumlah punggawa kerajaan Bangli seperti keturunan Tirta Arum untuk menjaga wilayah di sekitar Bakbakan. I Dewa Pulasari ditempatkan di Petak Gumantring. Sedangkan, Jero Mekel Tampwagan diperintahkan untuk bertempat tinggal di wilayah Tegal Melakang. Semua pasukan itu ditugaskan untuk menjaga wilayah kerajaan Bangli dari serangan raja Gianyar.
Meskipun telah melibatkan pasukan kepercayaan, kerajaan Gianyar tetap mampu memperluas wilayahnya. Satu persatu desa yang sebelumnya menjadi kekuasaan raja Bangli direbut oleh I Dewa Manggis. Oleh sebab itulah, raja Bangli merasa khawatir jika ekspansi itu menjadi tonggak-tonggak awal kehancuran kerajaan Bangli. Pasukan khusus kerajaan Bangli konon merasa kesulitan menghadapi kerajaan Gianyar karena raja tersebut memiliki kekuatan wak bajra siddhi mandhi yang mampu mewujudkan segala keinginan sang raja. Hanya satu yang tidak mampu ditandingi oleh raja Gianyar yaitu pasukan bernama Sikep Batur yang dianugerahkan oleh Dewi Danu.
Menyadari hal tersebut, I Dewa Tangkeban III lalu segera bergegas memohon bantuan kepada Dewi Danu untuk menganugerahkan pasukan yang bernama Sikep Batur itu. Hanya dengan anugerah Dewi Danulah kerajaan Bangli bisa diselamatkan. Ketulusan permohonan raja Bangli menyebabkan Dewi Danu terkesan. Beliau lalu mengabulkan permohonan sang raja dengan segera menitahkan Pasukan Sikep Batur untuk membatu raja Bangli mengamankan kedaulatan wilayahnya.
Pasukan yang bergelar Sikep Batur dipimpin oleh Bendesa Gede Batur, serta diikuti oleh pasukan Prabali yang disebut Bali Mula yaitu keturunan Ki Kayu Selem, Ki Kayuan, Ki Pande Batur, Ki Pasek Gelgel Songan, dan yang lainnya. Pasukan khusus itu, lalu berangkat ke daerah Tegal Melakang yang terletak di sisi barat laut kerajaan Bali karena serangan pasukan kerajaan Gianyar sudah dekat dengan desa itu. Menyadari Pasukan Sikep Batur yang merupakan anugerah dari Dewi Danu sudah tiba di wilayah Desa Tegal Melakang, seketika itu pula pasukan kerajaan Gianyar menghentikan serangannya. Mereka tahu betul bahwa pasukan khusus yang dianugerahkan oleh Dewi Danu tidak akan mungkin dikalahkan. Raja Gianyar memang agaknya sangat opportunis, seperti yang dikemudian hari diketahui bahwa ketika raja-raja Bali melakukan Puputan melawan Belanda, raja Gianyar malah melakukan persekutuan.
Warga masyarakat keturunan dari pasukan Sikep Batur yang saat ini berada di wilayah Tegal Melakang, turut pula membawa sejumlah tradisi yang semula dilakukan di Batur. Sejumlah tradisi itu seperti tradisi maulu apad, ritus makincang kincung, menggunakan titi gonggang di pura, baris jojor, siat plengkungan, dan yang lainnya. Diaspora masyarakat Batur inilah yang menumbuhkan jejaring budaya yang tidak hanya berkembang di kawasan Batur, melainkan di daerah-daerah lain seperti daerah Tegal Melakang yang saat ini bernama Desa Selat. Dalam perkembangannya, tidak semua budaya warisan Batur itu bisa dipertahankan menghadapi perkembangan zaman. Desa Selat yang dihuni oleh keturunan Pasukan Sikep Batur saat ini hanya mampu mempertahankan tradisi maulu apad, tradisi matata gama, dan baris jojor. Tradisi makincang-kincung, matiti gonggang, dan yang lainnya sudah sirna bersama arus waktu!
Ki Balian Batur: Pasukan Khusus untuk Merajut Harmoni Kerajaan Mengwi dengan Gelgel
Babad Mengwi[3] menarasikan bahwa kerajaan yang juga disebut Kawya Pura itu tidak mau tunduk kepada Dalem di Gelgel. Bahkan tersiar juga kabar, raja Mengwi berkeinginan untuk menyerang Gelgel. Oleh sebab itulah, raja Gelgel memohon bantuan kepada Dewi Danu untuk memberi cobaan kepada raja Mengwi yang bergelar Ida Cokorda Sakti Blambangan. Permohonan Dalem ternyata tidak ditolak oleh Dewi Danu. Beliau berkenan menciptakan manusia sakti yang merupakan keturunan sengguhu asal Wingkang Ranu. Manusia sakti itu bergelar Ki Balian Batur.
Ki Balian Batur berasrama di wilayah Teledu Nginyah. Di padepokannya ia pun tidak sendiri karena ditemani oleh istri, anak, dan muridnya semuanya menguasai ilmu kiri alias pangiwa. Mereka semua menguasai berbagai ilmu seperti teluh, desti, teranjana, dan berbagai ilmu seperti Shiwer Mas, Kalung Sweta, Pitik Bengil, Gringsing Wayang, dan ilmu pangiwa lainnya. Berbekal berbagai kesaktian itulah Ki Balian Batur menyerang desa-desa yang termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Mengwi. Banyak warga Mengwi yang tiba-tiba sakit diikuti dengan kematian tanpa sebab yang jelas.
Cokorda Sakti Belambangan merasa murka dengan ulah Ki Balian Batur bersama seluruh antek-anteknya yang telah menyebarkan berbagai wabah penyakit kepada masyarakat yang nirdosa. Hal itu yang menyebabkannya mengutus 200 orang pasukan khusus untuk berperang tanding melawan Ki Balian Batur. Pasukan utusan raja Mengwi itu dipimpin oleh Bendesa Gelgel. Mereka semua juga menguasai ilmu hitam dan ilmu putih termasuk ilmu siluman sehingga Cokorda Sakti Blambangan merasa optimis hanya dengan serangan pasukan itu Ki Balian Batur bisa dikalahkan.
Pasukan Mengwi disertai rajapun berangkat menuju Teledu Nginyah, tempat Ki Balian Batur bersama anak buahnya menimba dan mendamba berbagai ilmu hitam. Meskipun Ki Bendesa Gelgel telah menggunakan ilmu menghilangnya, Ki Balian Batur tahu kedatangan tamu tak diundang itu karena ia sendiri memiliki anak buah makhluk halus tanpa tubuh di sekitar padepokannya. Peperangan sengitpun terjadi di antara pasukan Cokorda Sakti Blambangan dengan Ki Balian Batur. Saat itu, Ki Bendesa Gelgel konon mampu menghabiskan seluruh anak buah Ki Balian Batur. Hal itu menyebabkan anak ciptaan Dewi Danu itu murka seraya merubah wujud menjadi burung garuda besar lalu mematuk seluruh pasukan Cokorda Sakti Blambangan.
Ki Bendesa Gelgel tak berdaya. Peperangan melawan Ki Balian Batur dilanjutkan oleh Cokorda Blambangan sendiri. Meskipun seluruh senjata yang dimiliki raja Mengwi seperti tombak Ki Olang-Olah Guguh dan Keris Ki Panglipur yang terkenal sakti sudah dikeluarkan, Ki Balian Batur tetap saja tak bergeming. Ki Balian Batur yang sudah berwujud garuda lalu memberitahu raja Mengwi, bahwa satu-satunya senjata yang dapat mengalahkannya adalah Ki Sliksiik yang keluar dari bedil Narantaka miliki Dalem di Gelgel.
Bertitik tolak dari ketidakberdayaan menghadapi Ki Balian Batur itulah akhirnya raja Mengwi memohon pinjaman senjata bedil Ki Narantaka dari Dalem Gelgel. Permohonan itu menjadi tanda tunduknya kerajaan Mengwi terhadap Gelgel. Raja Gelgel tentu tidak menolak permohonan ini karena memang sesungguhnya ialah aktor intelektual di balik serangan Ki Balian Batur. Setelah bedil Ki Narantaka diserahkan, pertempuran melawan Ki Balian Batur sudah diketahui pemenangnya. Berbekal senjata bedil Ki Narantaka dan Ki Sliksik di dalamnya, Ki Balian Batur ditembak. Ia yang tengah berwujud garudapun jatuh tersungkur tak berdaya, dan menerima kekalahannya sebab tujuan utama Dalem telah tercapai.
Memohon Anugerah Dewi yang Berstana di Batur Sebelum Perang Puputan Badung
Tidak hanya memberi anugerah untuk kedaulatan kerajaan Bali ketika menghadapi prahara internal. Ada dugaan kuat bahwa sebelum perang Puputan Badung meletus antara kerajaan Badung melawan penjajah pada tanggal 20 September 1906, Cokorda Denpasar/Cokorda Pemecutan sebagai raja Badung melakukan pemujaan di Pura Tambangan Badung untuk memuja dewi yang berstana di Batur yaitu Dewi Danu.
Pada saat itu raja Denpasar tidak sendiri, beliau didampingi oleh raja Tabanan. Di Pura Tambangan Badunglah mereka masamaya ‘berjanji’ untuk bersama-sama menempuh jalur pembebasan di jalan pedang menghadapi berbagai serangan Belanda. Menurut informasi yang termuat dalam Kidung Bhuwana Winasa ‘nyanyian kehancuran jagat’ karya Ida Padanda Ngurah dari Geria Belayu Tabanan, Belanda menuduh masyarakat Sanur menjarah kapal dagang Sri Komala yang kandas di pesisir pantai Sanur. Akan tetapi, setelah dikonfirmasi ternyata warga masyarakat di kawasan itu tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan oleh Belanda, terlebih mereka menuntut ganti rugi atas kejadian tersebut.
Ganti rugi yang diminta oleh Belanda dimaknai oleh Cokorda Denpasar sebagai jalan untuk menimbulkan konflik sehingga terjadi peperangan. Oleh sebab itu, ketika kesepakatan Belanda tidak dipenuhi, Cokorda Denpasar tahu bahwa sikap selanjutnya adalah penyerangan fisik menggunakan senjata. Meski diancam oleh para utusan Belanda, Raja Badung sedikitpun tidak bergeming dengan ancaman itu. Sesuai etika, beliau lalu mengirim utusan untuk menyampaikan informasi ini kepada Raja Tabanan, termasuk pula Klungkung yang dihormati otoritasnya sebagai trah Dalem yang berkuasa di Bali. Raja Klungkung memberikan restu atas pilihan sikap raja Badung. Sementara raja Tabanan datang langsung menemui raja Denpasar. Kedatangan raja Tabanan itu meneguhkan semangat Cokorda Denpasar untuk melakukan tindakan perang puputan sebagai rana yadnya ‘yadnya seorang ksatria di medan perang’. Saat itulah raja Denpasar dengan raja Tabanan bertemu di Pura Tambangan Badung untuk berjanji setia mendampingi dalam suka dan duka. Dengan liris Kidung Bhuwana Winasa menyatakan sebagai berikut.
Sampun tinanggapan malih, atur-atur, ring Badung Nata uni, sampun saguluk ring kahyun, Badung ring Nata Tabanan, dadi turu, asaksi dewata ikut, hana ring Nambangan, yuwa raja anyarĕngin. [Kidung Bhuwana Winasa, Puh Pangkur, 1]
Terjemahan.
Setelah ditanggapi lagi, semua perbincangan, konon Raja Badung, sudah sepakat batinnya antara Raja Badung dengan Tabanan, lalu beristirahat, disaksikan oleh para dewata, yang berstana di Pura Nambangan, disaksikan oleh Raja Muda (Raja Pemecutan).
Petikan Kidung Bhuwana Winasa di atas menyatakan bahwa Raja Denpasar dengan Raja Tabanan melakukan upasaksi di Pura Nambangan Badung. Di tempat itulah beliau memuja Dewi Danu sebagaimana palinggihnya masih ada saat ini berjejer dengan palinggih untuk para dewata yang berstana di gunung-gunung lainnya. Kenapa harus memuja Dewi Danu dan termasuk dewa-dewi lainnya? Kemungkinan besar karena Cokorda Denpasar adalah trah Pemecutan. Leluhur beliau yang secara geneologis menurunkan trah Pemecutan yang bernama Arya Bebed konon mendapatkan anugerah berupa pecut dan tulup dari Dewi Danuh ketika melakukan Dewa Sraya ke wilayah Hulun Danu Batur. Dengan demikian, sangat masuk akal apabila sebelum Puputan Badung berlangsung Raja Denpasar melakukan pemujaan di Pura Nambangan Badung untuk memohon anugerah Batari Danu dan para dewa lainnya. Relasi kerajaan Badung dengan Dewi Danu semakin dikuatkan apabila kita mendengar pertempuran antara kerajaan Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Panji Sakti dengan kerajaan Badung akibat adanya keinginan Raja Badung memperluas wilayah sampai ke Mengwi. Taruna Sikep pasukan Badung yang bertempur dengan Taruna Goak di wilayah Taen Siat berhenti melakukan peperangan setelah ada sabda Dewi Danu dari angkasa yang memerintahkan untuk menghentikan perang itu.
Berdasarkan ketiga kisah yang termuat dalam karya sastra babad di atas, terlihat perananan masyarakat Batur dan Dewi Danu dalam menjaga kedaulatan kerajaan Bali. Dewi Danu dan pengikutnya senantiasa hadir untuk memberi anugerah untuk menjaga stabilitas tanah dan natah Bali mulai dari kerajaan Bangli, sampai masalah Dalem di Klungkung, hingga Bali menghadapi serangan Belanda. Demikianlah babad menitipkan pesan kepada kita. Tentu karya sastra sejarah itu perlu kita kritisi kandungan isinya sebagai produk historiografi tradisional. Akan tetapi, selama ada nilai-nilai yang dapat merajut harmoni yang bisa dimaknai dari babad-babad itu, relevansinya penting diinformasikan sampai saat ini.
Wasana Wakya: Catatan Penutup
Memandang Batur dari jendela warisan karya-karya sastra yang ada ternyata memberikan arah pandang menggairahkan. Dengan membaca pustaka Dharma Pamaculan kita mendapatkan informasi tekstual bahwa Danau Batur adalah hulunya Bali yang dimuliakan sebagai muasal air penyangga eksistensi organisasi subak di Bali. Ketika memandang Batur menggunakan karya sastra Babad Kayu Selem dan Usana Bali Mayantaka, kita diberitahukan bahwa mandala atau kawasan Batur secara filosofis-simbolis adalah pusat studi, tempat para dewata menganugerahkan berbagai keterampilan hidup kepada manusia. Demikian pula membaca sumber-sumber karya sastra sejarah seperti Babad Bendesa Batur, Babad Mengwi, dan Babad Badung kita mendapatkan kesan dalam ceruk kesadaran bahwa Dewi Danuh dan masyarakat di kawasan Batur senantiasa terlibat dalam mempertahankan kedaulatan tanah dan natah Bali. [T]
- Tarpana Saji dipersembahkan dalam acara Bali Tempo Doeloe, Bentara Budaya Bali, Sabtu tanggal 27 April tahun 2019.
[1] Meskipun menarasikan geneologi masyarakat Bali Mula yang bermula di kawasan Gunung Batur, karya sastra sejarah Babad Pasek Kayu Selem kemungkinan besar ditulis ketika zaman Klungkung. Hal itu dapat diketahui dari struktur penulisan karya sastra ini yang sangat mirip dengan Babad Dalem yang ditulis oleh Gora Wadana atau Ida Padanda Gede Rai pada masa kerajaan Klungkung. Di samping itu, babad ini juga memuat keterangan bahwa isi karya sastra itu telah dilegitimasi oleh Dang Hyang Dwijendra. Seperti yang diketahui, Dang Hyang Dwijendra sendiri datang ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong.
[2] Secara lebih rinci ulasan mengenai Babad Bendesa Batur dalam kaitannya dengan Pasukan Sikep Batur silakan baca buku “Pura Penataran Bale Agung: Perspektif Sejarah, Keunikan Tradisi, dan Ritual” karya Putu Eka Guna Yasa tahun 2018 yang diterbitkan secara khusus dalam Upacara Malik Sumpah di Pura Penataran Bale Agung, Banjar Selat Tengah, Desa Selat, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.
[3] Selanjutnya baca buku Shastra Wangsa yang ditulis oleh IBM Dharm Palguna tahun 2015.
_________
Pustaka Rujukan
- Agastia, IBG. 2018. Kakawin Usana Bali Mayantaka Karya Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Taman Sastra Wagiswari.
- Dharma Palguna, IBM. 2015. Shastra Wangsa: Kamus Istilah Wangsa Bali Pustaka, Pusaka, dan Manusia. Lombok: SadampatyAksara.
- Sidemen, IB. Historiografi Tradisional Bali. Denpasar: Tungtunging Gesing Asrami.
- Tim Penyusun. 1985. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
- Tim Penyusun. 2007. Dharma Pamacul. Singaraja: Gedong Kirtya
- Tim Penyusun. 2008. Babad Pasek Kayu Selem. Singaraja: UPTD Gedong Kirtya.
- Tim Penyusun. 2016. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
- Tim Redaksi. 2019. Batur: Kata Penyambung Peradaban. Batur: Usaha Drue Batur
_______
BACA ARTIKEL LAIN DARI PENULIS PUTU EKA GUNA YASA