Ini kisah nyata dan pilu dari seekor lutung. Kisah yang hingga kini, ketika aku ingat lagi, selalu menerbitkan rasa sedih dan pilu di hati.
Kisah ini dimulai di suatu siang yang begitu terik, di penghujung tahun 2019. Tiba-tiba terdengar dering gawai. Saat itu aku sudah hendak tidur siang. Mata sudah setengah pejam, dan otak sudah siap masuk ke dunia mimpi (mungkin mimpi ke Paris untuk melihat keindahan salju dan hiasan pohon Natal).
Dering gawai terus-menerus berbunyi menandakan sang penelepon sudah tidak sabar untuk bercerita. Aku bangun dari ranjang. Dengan suara yang masih serak karena sudah dua jam tidak minum air, akhirnya kuangkat gawai itu.
Ternyata si penelepon adalah teman yang sedang berjaga di kantor Taman Nasional Bali Barat (TNBB), tempatku bekerja sebagai dokter hewan. Kebetulan hari itu Sabtu, jadi aku bisa BBS alias bobok bobok siang di rumah.
Cerita si teman mengalir dengan suara cepat dan terdengar agak gawat. Intinya ia berharap kehadiranku di kantor. Tanpa banyak tanya, aku segera melajukan sepeda motor, untuk ke kantor saat itu juga.
Sesampai di kantor aku melihat seekor lutung tergeletak dengan luka di bahu kanan. Luka sepertinya tertusuk sesuatu. Aku terhenyak. Dibantu teman-teman kubawa lutung itu ke tempat yang lebih nyaman.
Pada dasarnya lutung adalah hewan buas, tapi lutung yang terluka itu sungguh tampak lemah, bahkan untuk menyeringai saja dia tak mampu.
Apa yang terjadi? Apakah dia terluka parah? Apakah ada yang berusaha mencelakakainya? Pertanyaan itu terus berputar di benakku sewaktu melihat lutung itu. Matanya yang menatap penuh kekosongan seperti memohon tapi entah apa yang dimohonkan.
Akhirnya kuperiksa fisik lutung ini, ada luka di bahunya tapi tidak terlalu dalam. Segera kuobati lukanya, dan kucoba memberikan makanan dan minuman. Dia mau menelan tapi tidak mau memandangku.
Matanya terus saja lurus ke depan, entah apa yang dipikirkan. Kemudian kumelihat ke arah dadanya, terkejutlah aku saat melihat payudaranya bengkak. Kuperikasa ulang kelaminnya. Yap, benar, ternyata dia betina dan sedang menyusui.
Karena hari sudah menjelang malam, dan akupun sedang meninggalkan dua anak di rumah, akhirnya aku pulang dengan meninggalkan ibu lutung itu di kantor.
Esok pagi aku kembali menemui ibu lutung dan keadaannya masih sama. Tergolek lemah tak berdaya.
Aku penasaran sekali, apa yang membuat dia begitu lemah? Padahal patah tulang tidak ada. Tidak ada juga keluar darah dari telinga sebagai tanda ada perdarahan di otak.
Saat aku mencoba untuk membuka mulutnya pun dia hanya diam dan pasrah, padahal seandainya taringnya menancap di tanganku, entah apa yang akan terjadi. Mungkin dia tahu aku bukan orang jahat, mungkin dia tahu bahwa aku hanya ingin menolongnya.
Awal Ditemukan
Lutung itu ditemukan di hutan Gilimanuk, Bali Barat. Seorang teman bercerita tentang ibu lutung itu. Teman itu kebetulan melihat dari jauh, ibu lutung ini awalnya menggendong anak bersama gerombolan lutung yang lain. Bulu anaknya masih berwarna jingga.
Lutung itu berteriak-teriak penuh ketakutan. Kelompok lutung yang lain juga sama, berteriak-teriak saling sahut-menyahut. Tak lama setelah itu, terdengar suara braaakkk. Itu suara yang sangat keras. Ternyata ada cabang pohon sawo patah. Ibu lutung itu terjatuh. Saat ditemukan, anak lutung yang tadinya berada dalam gendongan, hilang entah ke mana.
Sebenarnya belum diketahui secara jelas kenapa gerombolan lutung itu ketakutan dan menjerit-jerit, lalu berlarian, hingga terjadi kecelakaan jatuhnya ibu lutung itu dari pohon sawo yang patah, terluka, dan kehilangan anaknya. Kemungkinan yang paling mungkin, ada pemburu yang mengintervensi para lutung itu di dalam hutan.
Belakangan kerap ditemukaan adanya jual-beli anak lutung di pasar gelap. Anak lutung dicari orang karena bulunya yang bagus. Aku pernah rescue atau menyelamatkan anak lutung di sebuah toko pakan hewan yang kemungkinan anak lutung itu diambil di hutan.
Atas fenomena itulah, besar dugaan anak dari ibu lutung yang terluka itu diculik oleh pemburu untuk diperjual-belikan.
Dibantu Yayasan
Sudah dua hari ibu lutung itu tergolek. Aku memutuskan untuk membawa ibu lutung ini ke suatu yayasan yang memang menangani satwa liar. Kebetulan manager yayasan itu temanku. Kuceritakan keadaan ibu lutung ini dan ia langsung menyarankan untuk dibawa ke yayasan agar lutung itu mendapat perawatan intensif.
Saat itu aku baru satu minggu kerja di TNBB. Selain itu, aku baru saja mendapat kemalangan. Mertuaku meninggal, sedangkan aku harus segera ke TNBB karena SK penempatanku sudah kuterima. Suasana yang panik itu mengakibatkan banyak hal tertinggal di rumahku yang dulu, termasuk obat-obatan. Sehingga aku tidak bisa menangani lutung itu secara intensif.
Sampai di lokasi yayasan, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, kami ditemui temanku yang kebetulan sama profesinya denganku, sebagai dokter hewan. Beliau kemudian memeriksa si ibu lutung tapi hasilnya pun sama.
Secara fisik tak ada luka yang berarti. Tapi kenapa dia masih saja lemah?
Karena hari sudah menjelang pagi, aku kembali pulang ke rumahku di Gilimanuk dan kami berjanji akan selalu berkomikasi melalui gawai.
Besoknya, temanku menelepon. Ia membawa ibu lutung itu ke klinik yang lebih lengkap peralatan medisnya. Tujuannya untuk me-rontgen dan ct- scan tubuh ibu lutung.
Dengan harap-harap cemas, aku terus melihat ke arah gawaiku menanti kabar baik. Akhirnya temanku menelepon dan hasilnya membuatku terkejut, si ibu lutung ini sehat, tak ada perdarahan otak, tak ada patah tulang, tak ada organ tubuhnya yang terganggu.
Kami pun sama-sama terdiam dengan gawai yang masih menempel di telinga, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya kami mengambil kesimpulan. Ibu lutung ini mengalami depresi setelah kehilangan anaknya. Tentu bukan kesimpulan yang tanpa alasan. Payudaranya bengkak, dan ibu lutung itu selalu diam, dengan tatapan mata kosong.
Dan, kami pun sama-sama menangis. Kami teringat anak-anak kami yang kami tinggal di rumah. Teringat bagaimana payudara kami yang penuh terisi ASI jika tidak disusukan ke bayi kami.
Apalagi, kami sempat aku video call, dan temanku itu memperlihatkan si ibu lutung yang payudaranya terlihat semakin bengkak. Temanku berinisiatif untuk mengompres payudaranya agar tidak bengkak dan sakit.
Hari berganti hari, dengan kesibukan pekerjaan dan rumah tangga, aku hanya tau kabar si ibu lutung melalui gawai saja. Terlihat dia sudah bisa makan sendiri, sudah mau berdiri tapi yang membuat mata ini meneteskan air mata adalah sorot matanya yang kosong.
Melalui video call aku berbicara dengannya, aku berjanji untuk segera mempertemukan dia dengan keluarganya di hutan Gilimanuk. Yang penting dia sehat dulu. Bahkan temanku berusaha mencarikan teman satu spesies untuknya agar dia tak sedih lagi.
Banyak harapan aku titipkan ke dia, bahkan aku sudah melakukan survey di tempat mana ibu lutung itu bisa tinggal apabila dia udah bisa kembali ke hutan.
Tapi dering gawai di sepertiga malam mengagetkanku. Tepat di hari ke-10 sejak dia kutemukan tergeletak di tanah, si ibu lutung pergi meninggalkan dunia ini. Pergi dengan sepi, pergi dengan wajah sedihnya, pergi dengan membawa harapan para perawatnya. Harapan besar memang sempat muncul karena ibu lutung itu sebenarnya sudah mulai mau makan pucuk daun dan buah murbey setelah beberapa hari tak mau makan.
Aku dan temanku hanya bisa menangis berdua, terisak-isak tanpa suara, teringat pandangan matanya yang kosong, teringat payudaranya yang bengkak. Sakit rasanya dada ini, entah ada apa ini, terasa sekali kehilangan ini, aku hanya mampu meremas selimutku takut membangunkan kedua anakku.
Temanku hanya bisa minta maaf karena tidak bisa membawa kembali ibu lutung untuk menemui keluarganya di hutan gilimanuk. Dan dengan tangis yang sama-sama tertahan kami sepakat menamainya Gili.
Gili, tenanglah disana, aku tidak tahu apakah anakmu selamat atau tidak. Jikalau anakmu tidak selamat karena tidak dapat air susumu, maka kuberdoa kepada Tuhan agar engkau dipertemukan dengan anakmu dan bisa menyusui sepuasnya.
Dan aku banyak memetik pelajaran dari peristiwa ini, bahwa depresi pada ibu tidak hanya terjadi pada manusia tetapi juga bisa pada hewan.
Dengan cerita ini aku ingin membuka pikiran semua orang. Please, sayangi wanitamu, lindungi dia, jangan biarkan dia sendiri dan terdiam, lemahkan egomu, lembutkan hatimu.
Teruntuk diriku sendiri, jangan terlalu memaksakan untuk menjadi kuat, sesekali boleh menjadi lemah. Depresi sangat berbahaya. Yuks, sehatkan badan kita, sehatkan pikiran kita, selalu memohon perlindungan kepada Tuhan. [T]