Oleh: I Gusti Ayu Agung Putri Utami
Tempat dimana orang-orang selalu memikirkanmu, disanalah rumah ~Jiraiya.
Setiap orang normal pasti merasakan kebahagiaan setiap akan kembali ke rumah. Perasaan seperti saat seorang bocah dibelikan sepotong gulali. Bagi para pelaut, ini bahkan lebih indah dibandingkan malam pengantin baru.
Tapi, bagaimanakah perasaan saat menuju rumah yang sebenarnya? Rumah asal dari semua asal. Perasaan seperti apakah itu? Bagi beberapa orang, bahkan untuk membayangkannya saja belum mau.
Melalui buku yang berjudul Mulih karya I Nyoman Agus Sudipta, pembaca akan mendapat gambaran beberapa perjalanan menuju rumah. Baik buruknya sifat seseorang, tidak dapat ditebak bagaimana cara ia kembali ke rumah itu. Tidak ada yang dapat berkata tidak jika sudah waktunya untuk pulang.
Buku yang diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi pada Nopember 2020 ini terdiri atas dua belas cerpen. Pembaca akan dibawa untuk masuk ke dalam cerita dengan bahasanya yang mudah dipahami. Walau demikian, kamu akan dibuat terkejut pada beberapa kepolosan yang menipu. Ibarat partikel gamma, cerita tampak telanjang padahal energinya dapat menembusmu.
Drowaka yang berarti serakah, merupakan judul pembuka dalam buku ini. Kisah seorang nenek bernama Dadong Runti yang diliputi kesedihan. Sepeninggal suaminya, ia terkatung-katung menjalani kehidupan. Melalui cucu kesayangannya, sang anak tiri menitipkan lawar dan sate sebagai tanda perdamaian. Cerita ini menunjukkan perasaan Dadong Runti sebelum berjalan menuju rumah. Seperti kisah Naruto yang menyadari akan ajalnya, ia mengumpulkan segala kekuatan terakhir untuk memberi “kenangan” pada musuh-musuhnya.
Cerpen kedua berjudul Enten yang artinya sadar. Menceritakan perjalanan seorang pemuda dermawan bernama Wayan Kariana. Sosok pemuda yang sangat kreatif dan penuh dedikasi. Ia tidak mau melihat anak-anak kelaparan. Ia ingin semua anak tetap semangat untuk menuntut ilmu. Ia tidak mau kejadian kakaknya terulang. Banyak tantangan yang ia hadapi dalam perjuangannya. Di akhir cerita, Wayan Kariana jatuh ke perbatasan antara dua rumah. Ia akhirnya bertemu kakaknya, namun di rumah yang lain istri dan anak-anak desa setia menungggunya.
Ketika membaca cerita Enten ini kita tidak akan merasa sedang menerima sebuah fiksi. Makna yang disajikan mengalir secara logis dalam setiap alurnya. Memang benar masih ada sosok seperti Wayan Kariana di dunia ini. Memang masih ada preman-preman desa yang tidak mau kehilangan muka. Begitu juga saat kita membaca cerpen yang berjudul Luh. Tentang seorang suami yang mengabaikan istrinya disaat dirinya sukses. Tentang seorang perempuan yang mengorbankan segalanya karena cinta.
Cerpen lainnya yang akan membuat kamu mengangguk-anggukan kepala yaitu yang berjudul Nyilih, Nyoblos, Odha, dan PMI. Judul ini dikemas sangat faktual dan aktual. Tiga kisah diantaranya merupakan sebuah klise namun dikemas dengan mendebarkan. Sementara itu cerpen berjudul PMI mengandung sindiran yang sangat pelik. Ini cerita perjuangan para TKI yang karismanya diputar 360 derajat oleh Covid-19. Pembaca sebagai masyarakat akan disadarkan pada pentingnya tidak menjadi diskriminatif. Di sisi lain para TKI akan mendapat pencerahan bahwa Covid-19 bisa menjadi jalan untuk merenungi diri, tentang dimana dan siapa yang dilupakan.
Satu judul perjalanan pulang yang paling berkesan dan terngiang yaitu cerpen yang berjudul Mulih. Sangat setuju dengan penulis bahwa inilah pemain depan dalam buku yang sudah ber-ISBN ini. Cerita Mulih menggambarkan kisah cinta seorang anak gadis terhadap ibundanya. Seorang gadis yang menobatkan sang ibu sebagai separuh jiwanya. Setiap detik hanya memikirkan ibu. Ia selalu ingin bersama ibunya, membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, memeluknya, dan berbagi cerita. Ia sampai tidak peduli dengan ancaman maut yang sedang mengintainya. Ia bahkan mengabaikan gelar menyedihkan yang sedang disandangnya. Kisah ini sangat menyentuh. Mari bertaruh jika kamu tidak sampai meneteskan air mata.
Beberapa akhir dalam kumpulan cerita ini terbilang cukup menguras emosi. Pembaca bisa saja kesal dan ingin mengajukan protes. Ini setidaknya seperti ocehan para penggemar film Naruto pada Masashi Kishimoto saat melenyapkan karakter Jiraiya dan Neji Hyuga dari skenarionya. Tapi disanalah letak dari keunggulan buku ini. Setiap cerita memang menyiratkan realita di sekitar kita namun setiap akhir belum tentu sama dengan prediksi anda.
Saya memberikan rating 4 (dari 5) untuk buku ini. Segala unsur dalam cerpen sudah dipenuhi dan setiap diksi dipilih dengan efektif menjadi sebuah kisah yang padu. Buku kumpulan cerpen ini menyasar kalangan dewasa sebab struktur cerita yang kompleks. Walaupun tidak semua konflik berakhir dengan penyelesaian yang tegas, namun kesan abu-abu menjadi bumbu istimewa di akhir cerita.
Alur yang digunakan pada cerita seluruhnya adalah alur bolak balik. Namun cara penulis menguraikannya dapat dipahami dengan mudah. Seluruh cerita bertemakan realita yang sarat akan amanat bagi para pembaca. Tentang bagaimana sejatinya hal-hal yang benar dan salah dalam kehidupan.
Salah satu amanat yang terkandung dalam cerpen Nyilih di halaman 37. Pembaca akan memperoleh literasi mengenai Grahastha Asrama atau hidup berumah tangga. Menikah bukanlah sekadar memenuhi hawa nafsu. Menikah adalah sebuah kewajiban menjalankan yadnya. Jika menikah dikarenakan hamil terlebih dahulu, anak yang dilahirkan secara Agama Hindu termasuk golongan anak diadiu. Ia berasal dari roh yang merupakan kama bang dan kama petak (merah dan putih) yang tidak suci. Pada intinya, ini bukan soal ajaran agama tetapi makna yang bisa dipetik dibalik ulasan penulis tersebut. Generasi masa kini perlu memahami makna perkawinan yang sejatinya penuh pertanggungjawaban.
Ada juga amanat mendalam yang dapat pembaca nikmati dalam cerpen yang berjudul Sepatu. Kisahnya diuraikan seperti sebuah diary biasa dari seorang pensiunan yang hidup bersahaja. Di halaman 73, penulis menyampaikan amanat yang sangat penting tentang kehidupan. Sang tokoh ditertawakan karena tidak menggunakan sepatu yang bagus saat bekerja dulu. Nnamun sebagai Guru, dirinya mengutamakan dedikasi kepada para peserta didik. Masih banyak anak-anaknya yang bahkan untuk ke sekolah saja penuh perjuangan. Ia merasa kehadirannya dan ilmu yang dibagikannya jauh lebih penting dibandingkan sebuah sepatu. Pesan ini dituliskan dalam kalimat seperti sebuah candaan yang polos. Namun jika kamu memahaminya dengan benar, akan cukup membuat telingamu panas.
Banyak lagi makna mendalam yang tertulis dalam kumpulan cerpen ini. Pesan dan ilmu pengetahuan yang dibagikan tergolong kualitas premium, tetapi penulis menuangkannya dalam bahasa yang tidak rumit. Bahasa Bali yang digunakan juga bahasa sehari-hari yang pastinya dimengerti betul untuk anak-anak milenial. Teknologi yang digunakan dalam mendukung cerita juga cukup mengikuti zaman.
Sayangnya, untuk dapat merangkul anak-anak generasi Z masih perlu beberapa perombakan. Struktur bahasa dapat dibuat lebih kekinian. Penulis juga dapat memecah beberapa paragraf panjang untuk membuatnya lebih menarik. Diluar hal ini, buku Mulih sangat layak untuk dibaca dan diapresiasi.
Ada dua dari dua belas cerpen dalam buku ini yang sedikit “tampil beda”. Cerpen berjudul Luh dan Reuni memiliki bahasan frekuensi yang tidak sama dengan cerpen lainnya. Alangkah sempurnanya buku ini apabila kedua cerpen tersebut juga dikaitkan dengan perjalanan pulang atau mulih.
Sesuai dengan judul buku, Mulih adalah satu tema yang selalu menarik untuk dibahas. Meskipun pada kenyataannya banyak orang tidak ingin membahas bagaimana ia akan mulih, tetapi orang-orang cukup tertarik menyimak bagaimana pengalaman orang lain. Entah ketertarikan itu terjadi untuk memetik makna kehidupan atau sekadar mengingatkan diri akan eksistensi kematian.
Setelah mengakhiri kalimat di halaman 83, pembaca mungkin secara otomatis teringat pada kalimat bijak dari tokoh dalam Naruto yaitu Jiraiya
“Shinobi bukan dikenang dari bagaimana ia hidup, tetapi mereka dikenang dari bagaimana kematiannya”
Kekuatan, kepintaran, kebaikan, keburukan, kekayaan, dan yang lainnya semuanya hanya akan menjadi kenangan. Orang-orang hanya akan membicarakan kenangan tersebut sepanjang waktu. Pembicaraan tersebut akan menjadi doa. Doa akan menjadi bekal untuk perjalanan pulang. [T]
_____