Oleh: Teddy Chrisprimanata Putra
Menurut Koentjaraningrat dalam F.X. Soenaryo, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Manusia Bali sejak dilahirkan sudah terikat oleh tatanan hidup bernama adat. Adat sendiri merupakan sebuah komunitas yang diikat oleh kesamaan identitas (baca: wilayah, agama, tradisi) dengan pelbagai aturan yang telah disepakati bersama.
Adat menjadi salah satu faktor yang menguatkan budaya dan tradisi di Bali. Laku hidup masyarakat Bali yang otentik tidak bisa dilepaskan dari peran adat—termasuk ritual keagamaan yang berlangsung di Bali. Tidak hanya menggaet wisatawan domestik dan mancanegara datang ke Bali, adat pun menjadi ladang pelbagai persoalan masyarakat Bali. Adat tidak dapat menghindar dari perubahan, maka adat yang dinamis, mengikuti perkembangan zamanlah yang dibutuhkan hari ini. Pergolakan-pergolakan yang hadir di tengah perubahan tersebut sedikit banyak disuguhkan oleh Carma Citrawati dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul Aud Kelor.
Aud Kelor pertama kali dicetak pada Oktober 2019, dan dicetak kembali pada Maret 2020 oleh penerbit Mahima Institute Indonesia. Buku ini terdiri dari 13 cerita pendek dengan tebal iv + 125 halaman. Penulis lebih banyak mengambil potret masyarakat kecil di Bali dengan begitu peliknya persoalan yang dihadapi. Dalam beberapa cerpen, penulis tak segan mengangkat beberapa isu sosial yang menjadi sorotan banyak orang—Reklamasi Teluk Benoa contohnya.
Sejatinya, pelbagai persoalan yang timbul selalu dikarenakan oleh keinginan dan kebutuhan manusia. Ironi memang, saat manusia sibuk mencari solusi—di saat bersamaan manusia pula penyebab timbulnya permasalahan. Kebutuhan manusia sendiri memiliki hirarki yang oleh Abraham Maslow disebut dengan Teori Hirarki Kebutuhan. Hirarki kebutuhan adalah teori tentang motif manusia dengan cara mengklasifikasikan kebutuhan dasar manusia dalam suatu hirarki, dan teori motivasi manusia yang menghubungkan antara kebutuhan-kebutuhan dengan perilaku umum.
Menurut Maslow dalam Muhibbin dan Marfuatun menyebutkan bahwa manusia akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan yang paling dibutuhkan sesuai dengan waktu, keadaan, dan pengalaman dirinya dalam mengikuti suatu hirarki. Maslow sendiri menggolongkan kebutuhan manusia menjadi lima kebutuhan dasar yakni, kebutuhan fisiologis, keamanan (safety), dimiliki dan cinta (belonging and love), harga diri (self esteem), dan kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis termasuk ke dalam kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis manusia seperti oksigen, makanan dan minuman. Kebutuhan keamanan (safety) bisa diartikan sebagai kebutuhan terhadap rasa aman, kemantapan, perlindungan, bebas dari rasa takut, kecemasan, dan kekalutan—hal ini juga melibatkan cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki di dalamnya. Kebutuhan dimiliki dan cinta adalah kebutuhan untuk diterima keberadaannya dalam satu lingkungan tanpa membedakan satu hal apapun. Kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan individu untuk diakui keberadaannya oleh pihak lain. Terakhir, kebutuhan aktualisasi diri yang lebih mengacu pada kebutuhan terhadap perwujudan diri. Kebutuhan ini biasanya dapat dipenuhi jika empat kebutuhan sebelumnya sudah terpenuhi.
Pelbagai persoalan di Bali tak terlepas dari yang namanya manusia. Namun, motivasi dari manusia dapat membedakan kesulitan permasalahan yang ditimbulkan. Semakin besar keinginan manusia, maka makin besar pula masalah yang akan ditimbulkan. Kecenderungan kehidupan manusia dengan segala yang mengikatnya dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
Manusia Bali Menatap Politik dan Ritus
Tanpa disadari, manusia Bali selalu bersinggungan dengan isu politik dan ritus-ritus yang sudah menjadi rutinitas. Dalam Aud Kelor, sebagian besar manusia Bali ditampilkan sebagai objek politik. Sebagian lagi apatis terhadap politik—tentu hal tersebut disebabkan oleh oknum-oknum politisi yang hanya mencari rakyat di kala pemilihan. Setelah itu, mereka kembali sibuk untuk mementingkan diri dan golongan. Sehingga, banyak bagian dari buku ini yang menampilkan pragmatis, apatis, dan tidak berani mengambil risiko dari manusia Bali. Seperti pada bagian ini:
“Makejang kramané males krana Kélor ngemaang liu pesan bantuan marupa pipis. Sing pegat-pegat.” (Siaappp Presiden, hal. 52).
“Bli, diolas, suud ja bareng demo, kemu mai nolak reklamasi. Tiang..tiang tolih ajak panak-panak bliné. Anaké dini makejang ngorahang iraga ajum. Suba belog tusing nawang apa kéwala milu-milu ané kéto. Nengil…, nengil, Bli. Bé selegang alih, yadiastun jani kéweh ngalih bé, tegarang alih, sluksuk, pang kanti maan, apaang iraga cukup anggon medaar dogén suba lega keneh tiangé.” (Keneh Pasih, hal. 59).
“Wayan Kélor sedeng tusing makita milu sangkep. Apa buin suba sesai ada pejabat teka ngidih dukungan. Mejanji kéné kéto tusing ja lakar ada apa mani puané. Munyiné manis tur setata nyakupang lima nguncarang panganjali yen nepukin krama. Makejang ngaku nyidaang lakar ngemaang ané nomer satu, tusing nyak dadi ané nomer dua. Makejang cara iklan, setata ngaku paling luunga. Aahh..jani bin misi enu sanget ngenehang timpal-timpalné sinah suba tusing makita kija-kija.” (Kuluk Bengil, hal. 120).
Bukan salah masyarakat ketika mereka memilih apatis. Masyarakat hanya ingin hidup di posisi aman dan nyaman, meminimalisir risiko, dan tetap dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari—meski harus bertransaksi dengan politisi. Dalam persaingan global seperti sekarang ini, memenuhi kebutuhan fisiologis amatlah sulit. Oleh karenanya banyak manusia Bali yang memiliki pemikiran sederhana, “jangan memikirkan hal yang aneh-aneh sebelum makan dan minum terpenuhi di setiap harinya”. Dan pola pikir seperti inilah yang menyebabkan manusia Bali semakin abai dengan lingkungan sekitarnya.
Tidak hanya sibuk untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, manusia Bali juga disibukkan dengan memenuhi kewajibannya dalam menjaga adat, budaya, dan tradisi yang diwarisi oleh leluhurnya. Menjalankan adat, budaya, dan tradisi oleh manusia Bali adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan keamanan (safety)—dengan menjalankan kewajiban sebagai bagian dari komunitas adat, maka manusia Bali telah menjadi bagian dari komunitas adat yang taat. Tidak hanya terpenuhinya kebutuhan keamanan, dengan menjalankan adat, budaya, dan tradisi, manusia Bali juga dapat memenuhi kebutuhan dimiliki dan cinta, hingga terpenuhinya kebutuhan harga diri. Hal ini bisa dilihat pada bagian berikut:
“Adan désane uug ulian Wayan Sunia. Anaké ngraos di media sosial sayan ngaéngang, kanti magantian sulinggih, peranda, bupati, Anggota Dewan tedun ka desa. Tuah nagih nuturin Wayan Sunia. Wartawan majaga di arep umahné, sabatek anak liwat wawancaraina. Dagang kacang, dagang yéh ramé di arep umahné Wayan Sunia.” (Mé!, hal. 97-98).
“Mé…, tiang ngerti, Bli Wayan tusing liu ngelah pipis. Tiang lakar nyilih pipis. Tiang ngantén acepok, lek atin tiangé ajak timpal-timpalé lamun tusing ngundang. Mémé tenang dogén.” (Majalan Puyung, hal. 109).
Konsekuensi apabila tidak mengikuti aturan adat, budaya, dan tradisi sangatlah berat bagi manusia Bali. Tidak diterima oleh lingkungan, hingga dibuang warga sekitar pun sangat mungkin terjadi, hal itu dapat dilihat dari cerpen Mé! Namun, adat seperti buah simalakama. Jika tidak dijalankan akan membawa petaka, tetapi jika dijalankan bisa saja mendatangkan kesulitan seperti yang disuguhkan dalam cerpen Majalan Puyung.
Masa pandemi Covid-19 menjadi titik balik di mana segala ritual disederhanakan guna meminimalisir kerumunan masyarakat dalam pelaksanaan upacara agama. Namun, belakangan upacara agama kembali dilakukan seperti sedia kala meski kondisi pariwisata Bali belum pulih benar. Alih-alih bersepakat untuk menyederhanakan, ritual kembali dilaksanakan dengan skala yang sama besarnya saat sebelum pandemi. Merujuk pada Nyoman Sukma Arida dalam bukunya Pandora Bali; dulu upacara di Bali memang sanggup menyejahterakan masyarakat Bali akibat efek Cakra Yadnya. Karena efek tersebut, ekonomi Bali dapat berputar merata ke segala lapisan masyarakat. Kini, struktur perekonomian Bali perlahan meninggalkan sistem agraris, sehingga produk luar Bali lebih banyak menyuplai kebutuhan upacara manusia Bali.
Manusia Bali Dalam Jerat Gengsi dan Zona Nyaman
Sebagai destinasi utama bagi wisatawan, Bali wajib menghadirkan keamanan dan kenyamanan untuk meningkatkan kuantitas kunjungan wisatawan. Semakin banyak wisatawan datang, semakin banyak pula dollar beredar di Bali. Tidak hanya soal keamanan dan kenyamanan, keindahan dan berbagai kemudahan wajib disediakan sebagai penunjang. Itulah yang juga larut dalam manusia Bali. Kemudahan untuk mencapai kenyamanan tampak menjadi pedoman dalam laku hidup. Seperti pada bagian ini:
“Kénkénang sing inget. Iyang membangun. Iyang ané ngaé umah, kost-kostan bu.. dasa juta abulan ngasilang. Bedik kadena. To suba pianak beler. Rebuta gelah iyangé makejang. Da ja kaukina mémé, sing perlu! Iyang tuah ngidih hak. Hak iyangé ditu.” (Ka-Rauh-An, hal. 35).
“Madagang ento tusing magaé adané lamun ngrunguang munyin anaké lenan. Luh Ari inget dugas suud ngayahé ento, Luh Ari welanga, krana tusing liu anaké nawang ya ngonor di dinas, ané tawanga Luh Ari madagang kebaya online.” (PNS, hal. 87).
“Sing nyak! Tiang sing nyak! Kanti mati tiang tusing nyak lakar madagang-madagang cara kéné.” (Majalan Puyung, hal. 112).
Hal utama yang diperlukan hari ini adalah harta dan status sosial. Gengsi berhasil menyandera manusia Bali. Perlahan substansi mulai ditinggalkan, dan berlomba untuk mengejar kulit yang tidak bertahan lama. Memenuhi kebutuhan harga diri tampak lebih penting dibanding memenuhi tiga kebutuhan sebelumnya seperti, kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, dan kebutuhan dimiliki dan cinta. Pengakuan orang lain terhadap diri menjadi orientasi pertama dan utama yang harus dilakukan, meski mengorbankan kebutuhan lain. Saat pelaksanaan berbagai adat, budaya, dan tradisi dicampuri dengan rasa gengsi, maka ‘lingkaran setan’ tidak akan hilang dari siklus kehidupan manusia Bali.
Manusia Bali Dalam Menghadapi Modernisasi
Denial atau penyangkalan kerap kali dilakukan oleh manusia Bali dalam menghadapi perubahan. Tidak jarang manusia Bali lebih memilih untuk menggunakan cara-cara lama dan cenderung minim risiko untuk bertahan hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan tersebut:
“Ngraosang PNS, makejang anaké dot apang nyidaang dadi PNS. PNS ento cara ujan di guminé ané panes ngentak ené, sida ngaé tis yén suba ulung ka guminé. Guminé saja panes. Panes tan ngodag baan ngrasayang. Makejang nagih ngalih tis. Makejang dot pesan megaé kantoran, nganggon baju macenés, sepatu selem, maan gajih tetep. Makejang dot.” (PNS, hal. 82).
“Bli sing dadi tanah tegalé adep abedik anggon tiang nglekadang. Masi linggah tetamian nak lingsiré. Ngarapin masi Mémé tusing nyidaang.” (Mejalan Puyung, hal. 110).
Manusia Bali kini berada di tengah pusaran disrupsi, fenomena pergeseran besar-besaran yang disebabkan oleh adanya inovasi yang mengubah sistem dan tatanan bisnis ke taraf yang lebih baru. Meski nyaman, cara-cara lama perlahan mulai ditinggalkan. Beradatasi dengan kemajuan zaman adalah satu-satunya pilihan agar tidak tergilas zaman. Persaingan semakin ketat. Bali yang diidentikkan dengan ‘kampung global’ mengharuskan manusia-manusia di dalamnya untuk ikut bergerak dan menyesuaikan diri terhadap pergeseran zaman.
Karya sastra sedikit banyak berangkat dari fenomena masyarakat yang berlangsung. Karya sastra memiliki fungsi untuk mendokumentasikan laku hidup manusia pada zamannya. Apabila banyak karya sastra yang menyuguhkan laku manusia Bali seperti yang disampaikan dalam buku Aud Kelor, maka hal ini dapat menjadi refleksi bagi manusia Bali. Merefleksikan diri dengan segala ikatan yang ada di sekitarnya. [T]
DAFTAR PUSTAKA
- Ardana, I Ketut., dkk. (2011). Masyarakat Multikultural Bali, Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Pustaka Larasan.
- Carma Citrawati. (2020). Aud Kelor. Mahima Institute Indonesia.
- Muhibbin, Marfuatun. (2020). Urgensi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Dalam Mengatasi Prokrastinasi Akademik di Kalangan Mahasiswa. Educatio: Jurnal Ilmu Kependidikan, Vol. 15, No 2 Desember 2020, hal. 69-80.
- Sukma Arida, Nyoman. (2012). Pandora Bali, Refleksi di Balik Gemerlap Turisme. Pustaka Larasan.
_____