- Buku Tutur Damuhmukti karya Amanda Gamayani
- Penerbit Mahima Institute Indonesia (2021)
Hindu di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kemelakatannya terhadap nilai-nilai adiluhung tempatnya berpijak. Di setiap tempatnya berada, Hindu selalu memberi warna yang berbeda-beda, terkhusus tradisi lisan dan tulisannya. Meski dalam satu agama; tidak serta merta menyeragamkan tutur-tutur yang diwarisinya—meski muaranya selalu tersirat nilai-nilai yang serupa.
Belakangan, tidak banyak anak muda menaruh minat pada hal-hal berbau agama—tidak banyak pula yang mau memeras ajaran-ajaran suci agama Hindu menjadi lebih sederhana dan mudah dicerna oleh pembaca. Sepertinya Amanda Gamayani—seorang kawan yang juga sempat berada di sebuah organisasi kepemudaan dengan saya, melihat peluang tersebut. Veda, Slokantara, Sarasamuscaya, hingga Bhagavad Gita merupakan pustaka yang dijadikan sebagai acuan dalam proses kreatifnya. Karya pertama sekaligus debutnya sebagai penulis ia beri judul “Tutur Damuhmukti; Tujuh Kisah Manusia, Dewa dan Jagat Raya” yang diterbitkan oleh Mahima Institute Indonesia, sebuah penerbit independen di Bali Utara.
Buku setebal xv + 220 halaman ini juga dilengkapi 7 (tujuh) ilustrasi besutan Nicky So—juga seorang kawan dari penulis. Tidak hanya itu, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa komentar pembaca terhadap karya perdana Amanda. Menariknya, pembacanya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh spiritual, tokoh pemuda, hingga tokoh publik. Seperti yang tercantum dalam sub judul, buku ini berisikan tujuh kisah yang berangkat dari kitab suci, lontar, bahkan pengalaman spiritual penulis. Tujuh kisah tersebut di antaranya; Tutur Tiga Saudara, Perjalanan Jiwantarali, Berkah Sang Jagat, Mengunjungi Alam Setelah Kematian, Titipan Hidup Untuk Kematian, Tutur Tiga Waktu, dan Tongkat Rwa Bhineda.
Mempertanyakan Tuhan dan Keberadaan Manusia
Hidup sebagai warga negara yang meyakini keberadaan Tuhan sudah menjadi hal biasa bagi manusia yang hidup di Indonesia. Begitu beragam agama dan aliran kepercayaan yang hidup guyub di bawah payung Pancasila, salah satunya Hindu. Dalam Hindu, dipercaya penguasa hidup sekala niskala disebut sebagai Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau dalam buku ini penulis kerap menyebutkan Sang Hyang Jagat. Segala aspek kehidupan sudah diatur oleh-Nya, dan manusia hanya menjalani saja.
Dalam Hindu, Tuhan Yang Maha Esa sering disebut sebagai Brahman. Tuhan sebagai Brahman memang banyak disebutkan dalam kitab-kitab Vedanta atau Upanisad maupun kitab-kitab susastra Hindu lainnya. Meski berbeda penyebutan, hal tersebut pada dasarnya tidaklah salah dalam pandangan Hindu. Brahman sendiri memiliki pengertian meluap/mengembang, pengetahuan atau yang meresapi segala. Kata ini selalu berada dalam jenis kelamin (neutrum), hal ini menunjukkan bahwa Tuhan berada di luar konsep jenis kelamin laki-laki (masculin), dan wanita (feminin) dari segala sesuatu yang bersifat dualitas. Ia merupakan kebenaran sejati, kesadaran tertinggi, tidak dipengaruhi oleh perubahan sifat duniawi.
Sering kali dalam memudahkan pemusatan pikiran atau proses pemujaan, manusia “membuat” sendiri wujud Tuhannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan manusia dalam menjangkau-Nya. Tuhan dibuat memiliki ciri-ciri fisik, menggunakan atribut, memiliki sifat-sifat yang sejatinya tidak dimiliki oleh-Nya. Hal ini di wilayah teologi disebut sebagai Saguna Brahman (Personal God). Oleh karena itu wujud para dewa lebih dikonkritkan lagi dalam bentuk dua dimensi, yakni dimensi sekala dan niskala. Berangkat dari hal inilah penulis menyampaikan pesan-pesan dari berbagai pustaka suci Hindu dengan menggambarkan berbagai “manifestasi” Tuhan yang dapat dijangkau oleh manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian tersebut:
“Tersebutlah tiga orang bersaudara yang diutus Sang Dewa Langit turun ke Bumi Pasundan. Mereka bertiga adalah Pepelakan, Sato, dan Wong. Pepelakan dan Sato lahir bersama-sama. Beratus tahun lamanya, disusul kelahiran Wong yang paling bungsu. Persaudaraan mereka di Bumi Pasundan yang langgeng dan rukun terdengar hingga ke ujung semesta.” (Tutur Tiga Saudara, hal. 9).
Kehadiran dewa, lambang, atau segala bentuk simbol dijadikan sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode pengetahuan tentang Tuhan Saguna Brahman. Memudahkan imaji pembaca dalam menjangkau tokoh yang sesungguhnya manifestasi Tuhan. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas, dimana Pepelakan, Sato, dan Wong dilekatkan dengan sifat-sifat yang juga dimiliki oleh manusia (lahir ke bumi dan memiliki wujud) yang dijadikan perantara penyampai pesan cerita. Hal serupa juga dapat dilihat pada bagian berikut ini:
“Sang Burung akhirnya menginjak Bumi. Ia lantas menjelma menjadi manusia biasa dengan perawakan laki-laki tampan dan bersahaja. Ia tergeletak di tengah padang hijau yang luas. Laki-laki tampan itu bernama Si Saka Bang. Laki-laki tampan itu tampak langsung berdiri. Ia menggunakan pakaian serba berwarna merah. Lalu, Sang Gadis menemukan laki-laki itu dan menghampirinya.” (Perjalanan Jiwantarali, hal. 34).
Pada awal cerita disebutkan bahwa laki-laki bernama Si Saka Bang merupakan jelmaan dari Burung Surga milik Dewa Surga Merah yang bernama Sang Saka Madawa. Turun ke bumi karena titah Hyang Maha Agung. Alih-alih menjadikan Sang Saka Madawa sebagai penyampai pesan, penulis memilih untuk menjadikan Sang Saka Madawa menjadi manusia yang dapat berinteraksi dengan Amanda (Gadis Sutra—Jiwantarali). Kesamaan wujud ini memudahkan pembaca untuk mencerna pesan yang ingin disampaikan, dan setidaknya tidak bertentangan dengan logika pembaca.
Dalam proses penyampaian pesan agama baik secara lisan maupun tulisan, menyederhanakan wujud Tuhan adalah cara yang tepat. Bukan berarti menistakan keberadaannya, tetapi hal tersebut justru menjadi jalan bagi manusia untuk lebih memahami ajaran-ajaran yang diturunkannya melalui begitu banyak kasusastraan. Dalam cerita ini, Tuhan tidak hanya digambarkan memiliki wujud layaknya mahluk hidup, tetapi juga lekat dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Hal tersebut dapat dilihat di bagian berikut ini:
“Pada suatu hari, Si Saka Bang melihat Amanda sedang asyik bermain bola basket dengan laki-laki lain. Tiba-tiba Amanda terpeleset dan jatuh. Lalu seorang laki-laki mengendong Amanda yang baru saja terjatuh. Laki-laki lainnya membawakan air, kotak obat, dan tas Amanda. Kaki kiri Amanda segera diobati oleh kawan-kawan laki-lakinya sedangkan Si Saka Bang hanya diam dan tidak bergerak sedikitpun. Hati Si Saka Bang teriris-iris melihat Amanda disentuh oleh laki-laki lain. Ia melarikan dirinya dari kejadian itu.” (Perjalanan Jiwantarali, hal. 35).
Menyederhanakan wujud hingga melekatkan sifat-sifat manusia pada Tuhan bukan bermaksud untuk menistakan keberadaan-Nya. Dalam wujud teks, ini penting dilakukan untuk kepentingan keterbacaan maksud dan pesan oleh pembaca. Dengan memudahkan pembaca untuk menjangkau-Nya, tentu akan beriringan dengan mudahnya segala pesan, nilai, dan ajaran yang ingin disampaikan penulis lewat ceritanya. Bukankah ajaran agama harus disebarluaskan kepada umatnya, dan ajaran tersebut harus dipahami dengan mudah?
Bicara soal keterbacaan, ada hal yang mesti dilakukan oleh penulis ke depan. Membaca Tutur Damuhmukti, sekilas seperti membaca kitab suci yang disederhanakan. Meski sudah bisa dikatakan sederhana, namun bahasa yang digunakan di dalamnya masih lekat dengan ajaran satu agama, yakni Hindu. Tentu untuk membuat cerita ini terbaca oleh semua kalangan secara universal, Amanda mesti kembali meninjau pemilihan bahasa yang digunakan agar mudah dipahami oleh pembaca. Kecenderungan tersebut bisa dilihat pada Bab IX – Tongkat Rwa Bhineda dimana penulis cenderung memilih untuk menggunakan bahasa yang sulit dimengerti pembaca dalam menunjukkan arah mata angin. Purwa, Uttara, Madya, Pascima, Daksina, dll adalah pemilihan bahasa yang menurut saya masih bisa dicarikan padanan bahasanya. Alih-alih memudahkan, justru penulis menyulitkan pembaca dalam proses pembacaannya.
Bagi saya, buku ini adalah sebuah terobosan di kalangan anak muda. Semangat literasi agama yang sudah dimulai oleh Amanda harus dijaga dan disebarluaskan oleh anak muda lainnya (tentu selain saya, ya. Hehehe). Karena sejatinya agama dan sastra selalu berjalan beriringan untuk mencerahkan kehidupan umat manusia. Apa ada yang nggak setuju? Silakan tulis pendapatmu. [T]