Oleh: I Putu Sudibawa
Kupu-kupu Kuning Ngindang di Candidasa merupakan buku kumpulan cerpen Bali modern disusun oleh I Ketut Sandiyasa, dicetak oleh Pustaka Ekspresi, Cetakan Pertama Agustus 2018. Ada 14 cerpen, Suaran Gambang Seduri, Tamplakan Limane Intan Pandini, Kupu-kupu Kuning Ngindang di Candidasa, Nyoman Japa Siti Juleha, Bungan Ambengan Bada Budu, Sertifikasi, Jero Balian, Pamor, Punyan Bingin, Wayan Arya Ngalih Tunangan, Gede Penida, Impas, Mamadu Ngajak Leak, dan Mulih.
Buku terdiri dari 95 halaman lebih banyak mengambil tema fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar. Isi tulisan, lebih kentara mengisahkan kegundahan yang ada pada penulis, baik tentang profesi dan interaksi dalam kegiatan sosial. Terjebak juga dalam permintaan orang tua yang dianggap sebagai wasiat. Sebut saja pesan dalam bagian cerpen Suaran Gambang Seduri “Pangidih guru, apang Gede nongos jumah, nyalud dadi sekaa gambang” (halaman 8). Pesan moral yang disampaikan, warisan adiluhung harus dilestarikan, bagaimanapun caranya.
Penulis I Ketut Sandiyasa menawarkan pembaca untuk secara kritis melihat kompleksitas yang melatarbelakangi kehidupan sosial di sekitar penulis. Ditulis dengan teknik jurnalisme sastrawi karya ini menawarkan wacana tandingan untuk merefleksikan kembali wacana kenyataan hidup dengan regulasi yang muncul di masyarakat, yang selama ini konstruksikan secara parsial dan dikotomis oleh media demi kepentingan kelompok tertentu. Meskipun dibutuhkan banyak perjuangan lainnya untuk melakukan perubahan sosial-budaya, paling tidak sastra dapat menjadi salah satu media dan langkah awal untuk menggulirkan counter-discourse untuk melawan rezim kekuasaan yang sewenang-wenang.
Dalam kisah-kisah yang dimunculkan dalam setiap cerpen, saya menangkap makna dan pesan yang disampaikan penulis lebih kepada konversi nilai yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat di Bali. Saya menganalisis multikulutural yang ada pada masyarakat akan menumbuhkan kekuatan jika kesadaran yang dimunculkan dalam keindahan pluralitas mampu mereduksi semangat egosentris, etnosentris dan chauvisisme menjadi semangat toleransi.
Semangat yang mampu membahanakan kekuatan pluralitas menjadi kekuatan inti dari sari-sari kekuatan yang disebarkan oleh jiwa-jiwa pluralitas yang ada di masyarakat. Namun tidak menutup kemungkinan jiwa-jiwa pluralitas yang ada dimasyarakat dapat menjadi kerikil tajam dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang demokratis. Tindakan konversi yang terjadi di tengah-tengah pluralitas masyarakat acapkali terdengar, bahkan tidak sedikit tindakan konversi itu menimbulkan tragedi horinsontal yang cukup jauh dari makna demokratis. Rasionalitas yang mendasari tindakan konversi ini mempunyai makna yang juga pluralitas. Rasionalitas merupakan kemampuan melakukan tindakan sosial yang menggunakan pertimbangan pemikiran dalam memilih cara yang paling efektif, tepat, dan efisien untuk mencapai tujuan.
I Ketut Sandiyasa sebagai penulis buku ini (penerima hadiah Sastera Rancage Tahun 2019), lebih lugas mengungkap, di dalam rasionalitas terkandung alasan-alasan masyarakat dan situasi sosial yang mempengaruhi tindakan rasionalitas. Rasionalitas konversi merupakan kemampuan memilih cara yang paling tepat untuk mencapai sebuah tujuan dalam kehidupan, ketika melakukan tindakan konversi. Dalam tatanan ini, saya menggambarkan penulis bisa bercermin pada epos Ramayana, menunjuk pada cerita dan ketokohan Kumbakarna, ada rasionalitas konversi yang sangat kental terimplisit dalam ketokohan Kumbakarna. Kumbakarna adalah adik Rahwana, raja Alengkapura yang menculik Dewi Sita istri dari Sang Rama. Ketika Sang Rama menyerang kerajaan Alengkapura Kumbakarna berada dalam posisi yang serba sulit. Kumbakarna adalah seorang ksatria yang menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Membela Rahwana jelas sangat bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan nilai-nilai dharma yang selama ini selalu dia dengungkan. Tetapi di lain pihak, Kumbakarna adalah seorang warga negara Alengkapura. Sebagai warga negara yang baik dia harus berani berkorban membela negaranya dari serangan musuh. Apa yang Kumbakarna lakukan?. Disinilah akan tampak tergambar rasionalitas konversi dalam kehidupan.
Yang dilakukan Kumbakarna adalah mengkritik sang kakak, Rahwana, tetapi sebagai seorang ksatria dia tetap harus berperang membela negara Alengkapura dari serangan musuh. Walaupun akhirnya dia gugur dalam peperangan namanya harum sebagai seorang ksatria. Tokoh lain dalam Ramayana adalah Wibisana yang juga saudara dari Rahwana. Tetapi rasionalitas konversi yang dilakukan oleh Wibisana sangat berbeda dengan Kumbakarna, Wibisana berpihak pada Rama. Wibisana berani menentang dan melawan saudaranya sendiri karena memandang Rahwana telah melakukan tindakan yang adharma. Wibisana tidak hanya berkonversi berpihak kepada Rama dalam hal bersimpati, tetapi ikut berperang melawan Rahwana, bahkan dia ikut membantu Rama dengan menceritakan kelemahan-kelemahan yang ada pada Rahwana.
Memaknai langkah konversi yang tercermin dari cerita di atas, kedua tokoh di atas mempunyai rasionalisme konversi yang berbeda. Dengan merujuk bahwa suatu tindakan rasionalitas terjadi ketika seseorang sedang mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan melakukan seleksi pada cara-cara (means) yang dinilai tepat untuk mewujudkannya sesuai dengan situasi yang ada. Wibisana jelas-jelas memegang dengan teguh prinsip yang benar adalah benar dan salah adalah salah.
Kalau dihubungkan dengan rasionalitas konversi, konversi yang dilakukan oleh Wibisana digolongkan ke dalam tindakan rasionalisme-nilai (Wertrational), yaitu tindakan yang dipengaruhi oleh keyakinan dan keterikatan terhadap suatu tatanan nilai yang tinggi seperti kebenaran, keindahan, keadilan atau kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan Kumbakarna menganut prinsip benar atau salah Alengkapura adalah negara kelahiran yang patut dibela sampai darah penghabisan. Kumbakarna dapat digolongkan melakukan rasionalitas tindakan tradisonal, tindakan yang dilakukan karena kebiasaan yang telah melekat atau karena warga masyarakat harus selalu membela tanah kelahirannya, salah ataupun benar.
Tokoh lain yang dapat dijadikan cermin dalam mengkaji rasionalitas konversi adalah Adipati Karna dalam lakon perang Beratayudha. Dalam perang yang besar ini keluarga Kurawa berperang melawan keluarga Pandawa. Adipati Karna yang sebenarnya saudara tiri Pandawa yang dibesarkan di keluarga Kurawa, sadar betul bahwa keluarga Kurawa berada pada pihak yang salah, dan mereka akan dikalahkan dalam perang ini. Adipati Karna menginginkan persoalan benar atau salah dapat diselesaikan secara tuntas. Maka dia tetap berada pada keluarga Kurawa dan Adipati Karna gugur sebagai ksatria dalam peperangan ini.
Rasionalitas konversi yang dilakukan oleh Adipati Karna lebih kompleks jika dibadingkan yang dilakukan oleh Wibisana dan Kumbakarna. Adipati Karna dapat digolongkan melakukan rasionalitas konversi secara instrumental (Zweckrational), suatu tindakan dengan cara-cara yang digunakan oleh individu-individu yang bisa mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Dalam tatanan ini tergambar apa yang dilakukan oleh Adipati Karna, ingin membela kebenaran tetapi tetap berada pada pihak yang salah. Adipati Karna dapat juga digolongkan melakukan rasionalitas konversi secara afektual, yaitu tindakan yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan psikologis atau kondisikondisi emosional. Kondisi psikologis merasa berhutang budi kepada pihak Kurawa dan terjadi ikatan emosional yang kuat disebabkan rasa kebersamaan yang lama. Kembali kepada tatanan rasionalitas konversi yang terungkap di atas, rasionalitas konversi acapkali terdengar dalam kehidupan di masyarakat.
Rasionalitas konversi yang dilakukan pada saat ini lebih didasarkan kepada penilaian sistematik tentang berbagai cara dalam mencapai tujuan serta seleksi untuk memperoleh cara yang paling tepat. Rasionalitas konversi pada masyarakat sangat kentara pada keadaan menjelang pilkada seperti yang tergambar pada dewasa ini. Tentu konversi yang dilakukan berdasarkan rasionalitas masing-masing. Dalam memaknai konversi yang terjadi di masyarakat tentu pendekatan multikultural yang banyak diusulkan perlu dikedepankan. Pun, disadari gejolak yang muncul dari rasionalitas konversi yang terjadi perlu diselaraskan dengan imbalan yang mesti diterima akibat dari rasionalitas konversi yang dijalankan. Rasionalitas konversi yang muncul di masyarakat, kisarannya tidak jauh berbeda dengan jenis rasionalitas konversi yang disebutkan di atas. Ada yang dengan tegas memegang teguh prinsip benar adalah benar sedangkan yang salah adalah tetap salah. Tetapi tidak menutup kemungkinan, benar atau salah, akan tetap berpihak kepada sandaran tertentu demi suatu tujuan yang dinginkan.
Dalam setiap alur konversi nilai yang dimunculkan oleh I Ketut Sandiyasa dalam setiap alur konflik yang dimunculkan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada saat karya sastra tersebut muncul. Dengan kata lain, sastra adalah cermin masyarakat. Disamping itu, saya memandang sastra adalah cermin situasi sosial penulisnya. Penulis mengajak pembaca untuk ikut memahami gagasan kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bali modern tersebut, yang mencerminkan realitas masyarakat serta latar sosial pengarang dalam menulis karya sastra tersebut. Kajian saya ini menunjukkan bahwa buku kumpulan cerpen Kupu-kupu Kuning Ngindang di Candidasa mampu mencerminkan kondisi sosial masyarakat Bali (dengan berbagai kompleksitas adat dan badayanya) sekaligus menangkap berbagai masalah yang ada di sekitarnya.
Realitas yang terjadi di masyarakat menjadi sumber penciptaan buku kumpulan cerpen ini. Melalui karya ini, pengarang ingin menunjukkan kesenjangan antara harapan dan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Selain itu, pengarang juga peka terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya. Ia dengan tangkas mengangkat berbagai masalah masyarakat Bali melalui buku ini. Sebagai pengarang, ia memiliki pandangan bahwa sastra harus memberi hiburan sekaligus harapan bagi pembaca. Hal ini pula yang ia terapkan dalam menulis buku Kupu-kupu Kuning Ngindang di Candidasa. Kumpulan cerpen ini berusaha memotret realitas sekaligus melakukan kritik terhadap realitas yang tidak sesuai harapan. Cerpen-cerpen yang ada ini memuat kritik sosial terhadap berbagai permasalahan masyarakat Bali, antara lain masalah adat dan agama, diskriminasi ras, korupsi yang membudaya, dan penyimpangan gaya hidup anak muda. Cerpen-cerpen yang ditulis ini tidak hanya mengemukakan kritik sosial saja, melainkan memberi solusi terhadap berbagai masalah tersebut, tentu dengan sudut pandang pengarangnya.
Saya dapat menggambarkan, ada tiga kritik sosial yang terkandung dalam buku kumpulan cerpen Kupu-kupu Kuning Ngindang di Candidasa. Kritikan pertama adalah kritik terhadap kekuatan tirani yang menjadi penyebab kemiskinan dan kehancuran rumah tangga. Dalam buku ini, tokoh pemegang kekuasaan dan kekayaan tidak dapat menunjukan sikap bijaksana dan baik budi, bahkan sering kali berperilaku sewenang-wenang.
Kritikan kedua adalah kritik terhadap sikap otoriter kaum borjuis, kaum borjuis memang sudah lama dikenal karena gaya hidupnya yang mewah dan glamour, mereka selalu berlaku sewenang-wenang karena mereka merasa memiliki otoritas terhadap setiap individu yang berada disekitar mereka. Kritik ketiga adalah kritik terhadap masalah diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Dapat disaksikan keberadaan para orang dengan kecacatan masih menemui berbagai hambatan dalam banyak hal, antara lain disebabkan belum dipahami dan dimengerti oleh sebagian warga masyarakat tentang bagaimana kita berperilaku dan bergaul bersama orang dengan kecacatan. Dalam aspek pendidikan, pekerjaan dan aspek lainnya sering kali masih ditemui adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
I Ketut Sandiyasa mengajak kita untuk peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Penulis menuliskan berbagai cerita tentang pengalaman subjektif dan permasalahan yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, gambaran realitas yang dimaksudkan merupakan gambaran yang menjadi ilusi mengenai realitas. Berangkat dari pemahaman itu, sastra dapat kita maknai sebagai kristalisasi nilai-nilai yang dipraktikan oleh kelompok masyarakat tertentu dan sarat akan aspek sosial-budaya.
Menurut penulis ini, sastra bukanlah entitas mandiri, tetapi diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dihayati, dipahami, serta dimanfaatkan oleh pembaca. Dalam prosesnya penulis dalam menulis cerpen melibatkan pengarang, karya sastra, dan juga pembaca. Dalam konteks ini komponen pengarang dan pembaca adalah anggota masyarakat yang terikat oleh kelompok sosial tertentu beserta pendidikan, agama, adat istiadat dan lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ide pengarang yang dituangkan dalam buku ini meskipun berupa fiksi sangat sulit dilepaskan dari pengalaman subjektifnya sebagai mahluk sosial. Dengan kata lain melalui gagasan pengarang buku ini selalu merekam realitas yang ada di masyarakat.
Kesimpulannya adalah buku ini bukan hanya sekadar bacaan ringan, tetapi sastra merekam segala kompleksitas dan dinamika sosial-budaya yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga hal ini juga dapat dijadikan alasan dasar mengapa cerpen-cerpen ini ditulis. Sebagai sebuah karya kreatif berupa fiksi yang realitas atau faktanya dibuat sedemikian rupa oleh penulis, cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini tidak hanya menampilkan keindahan dan mengandung pesan-pesan moral dan nasehat normatif, tapi cerpen-cerpen ini juga bisa menjadi ‘berbahaya’ jika sarat dengan kritik.
Sebut saja cerpen yang berjudul Tamplakan Limane Intan Pandini, yang secara lugas menggambarkan kehidupan remaja masa kini. Konflik yang dimunculkan mengajak pembaca sadar bahwa fenomena kehidupan remaja sudah bergeser dari nilai dan norma yang seharusnya dipegang secara kuat. Lebih lugas lagi, penulis dalam cerpen Punyan Bingin bagaimana menggambarkan angkuhnya seorang penguasa untuk menyalurkan niatnya dengan mengorbankan berbagai hal yang membodohi masyarakat.
Kritikan-kritikan yang dilontarkan, memberikan ruang pemikiran atas fenomena sosial bahwa tatanan sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola pikir dan gerak masyarakat. Secara estetika, I Ketut Sandiyasa melalui karyanya, mampu memberikan pendangan terhadap pembaca atas fenomena yang dihadapi saat-saat ini. Seperti, bagaimana mengatasi diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga, dikriminasi yang dilakuakn oleh lingkungan dan diskriminasi lainnya.
Saya sangat mengapresiasi kepekaan penulis dalam mengangkat tema pada setiap cerpennya. Saya sangat gembira ketika membaca cerpen-cerpen tersebut karena penulis mampu menggambarkan kekayaan tema, cerita, dan bahkan penggalian unsur etnografi dan sejarah berbagai daerah sebagai latar cerita. Hal ini menunjukkan betapa kaya ide dan cerita yang bisa terus digali penulis dari dunia sekitarnya. Berbagai genre juga muncul, yang membentang dari realisme, fantasi, hingga fiksi ilmiah. Penulis juga peka terhadap isu aktual seperti perkawinan beda agama, ilmu hitam, dan kesulitan ekonomi masyarakat miskin.
Namun, banyak di antara cerpen yang masih perlu mengasah lagi keterampilan berbahasanya. Msih banyak terdapat salah ketik, sehingga menimbulakn makna yang berbeda. Bahasa adalah kendaraan pengarang dalam menyampaikan gagasannya. Keterampilan berbahasa adalah senjata yang tak bisa tidak harus dikuasai pengarang cerita pendek.
Sayangnya, masih banyak cerpen yang belum dapat menampilkan tata bahasa Bali secara baik dan benar. Masalah berikutnya adalah pilihan tema. Ada beberapa cerpen (-seperti Bungan Ambengan Bada Budu, Sertifikasi, Jero Balian-) mengangkat tema yang kurang menarik karena sudah lazim muncul dalam keseharian pembaca atau sudah banyak diangkat pengarang sebelumnya. Pengarang perlu menggali berbagai tema yang keluar dari keumuman tersebut sehingga dapat menawarkan sesuatu yang baru bagi pembaca.
Masalah umum lain yang muncul adalah ada cerpen yang gagal dalam membangun plot yang baik, dari introduksi di bagian awal, konflik di tengah cerita, dan penyelesaian di akhir cerita. Ide yang dimunculkan sebenarnya menarik tetapi tidak dapat dieksekusi dengan baik. Semestinya penulis cukup sabar untuk menyusun ceritanya, mencari formula yang tepat, dan menyajikannya kepada pembaca semenarik mungkin. Namun secara umum, cerpen-cerpen ini mewakili keberhasilan pengarang dalam mengangkat tema yang keluar dari keumuman dan mengeksekusinya dengan baik.
Pengarang juga memanfaatkan bahasa secara maksimal untuk menyampaikan idenya, seperti memanfaatkan diksi, metafora, alegori, dan unsur-unsur kebahasaan lainnya. Dalam ruang terbatas sebuah cerita pendek, pengarang juga mampu membangun karakter tokoh cerita, menyusun dialog, dan mengembangkan plot dengan akhir yang kadangkala tak terduga.
Saya berharap mereka tak berhenti sampai di sini tapi terus mengasah kemampuannya untuk nanti melahirkan karya-karya sastra yang gemilang. [T]