Surya Gemilang, nama lengkapnya I Dewa Kadek Surya Gemilang Shivling. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi bertebaran di mana-mana, di media cetak dan media online, dan mungkin banyak orang sudah membacanya, terutama di kalangan sastrawan. Namun tak banyak kenal secara personal dengan orangnya.
Tentu saja. Ia termasuk penyendiri, dan jarang berada di tempat keramaian, semisal acara dan festival-festival sastra. Kalau pun ia datang pada sebuah festival, ia lebih suka sendiri, membaca atau sekadar melamun. Jarang ngumpul, ngobrol, apalagi ngakak-ngakak seperti banyak sastrawan lain.
Surya lahir di Denpasar. Anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan SD, SMP dan SMA ditempuh di Denpasar. (SDN 7 Pedungan, SMPN 3 Denpasar, SMAN 7 Denpasar). Setamat SMA ia ke mana-mana, dan karyanya muncul di mana-mana. Sebut saja sejumlah buku yang sudah diterbitkannya, seperti Mencari Kepala untuk Ibu (Kumpulan cerpen, 2019); Mencicipi Kematian (Kumpulan puisi, 2018), Cara Mencintai Monster (Kumpulan puisi, 2017); dan Mengejar Bintang Jatuh (Kumpulan cerpen, 2015).
Cerpennya, ”Memancing di Tubuh Ibu”, dinobatkan sebagai peraih Penghargaan Litera 2021. Penghargaan diserahkan oleh perwakilan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek RI, Dwi Pratiwi pada puncak acara penyerahan Penghargaan Litera 2021 di Ruang Merdeka 2, Swiss Bell Hotel Sepong, BSD, Tangerang Selatan, 14 Desember 2021.
Ternyata menjadi juara, atau menjadi yang terbaik dalam dunia sastra dan dunia tuis-menulis, bukanlah mimpi dia satu-satunya. “Saya ini kebanyakan mimpi, dan sampai sulit memangkasnya,” kata dia suatu kali dalam obrolan WA.
Saya sebenarnya ingin bertanya seperti seorang wartawan mewawancarai seorang tokoh melalui WA, namun, dasar penulis, Surya ternyata menjawab setiap pertanyaan seakan-akan dia menulis esai atau cerpen. Jadi, hanya dengan penyesuaian sedikit-sedikit, jawaban-jawaban Surya saya unggah di halaman ini seutuhnya.
TENTANG AWAL MENULIS
Dimulai dari hal klise yang dialami remaja SMA: patah hati.
Waktu itu saya sedang suka-sukanya dengan puisi “Aku” si Chairil Anwar—dan pengalaman pertama dalam menyukai—puisi ini juga klise sekali. Begitu mengetahui bahwa Chairil seorang playboy, saya jadi ingin bisa menulis puisi juga—barangkali saya bisa membalas kejombloan saya dengan menjadi playboy.
Ternyata saya gagal menjadi playboy; tapi setidaknya saya berhasil menyelesaikan beberapa puisi cinta-cintaan remaja yang menurut saya keren waktu itu—tapi sekarang tak ingin saya baca kembali.
Dan bermula dari menulis puisi, saya berpikir: Kenapa tidak sekalian cerpen? Maka mulailah saya menulis cerpen, tentang cinta-cintaan remaja juga. Menulis cerpen dan puisi mulai menjadi ritual yang saya lakukan hampir tiap hari.
Barangkali, selain sebab keadaan patah hati, saya menulis melulu soal cinta-cintaan karena bahan bacaan saya hanya sebatas itu.
Lalu, pada suatu hari yang membosankan di kelas matematika, waktu Pak Guru sedang menjelaskan tentang geometri yang membuat saya ingin hibernasi, saya iseng mengoperasikan ponsel di kolong meja.
Saya membuka Google dan mengetik, “Novel-novel terbaik Indonesia”. Tentu saja muncul beragam daftar di Google, dan saya tak tahu judul-judul yang muncul di sana dianggap terbaik atas dasar apa. Yang jelas, saya mengamati judul-judul tersebut, dan tertarik pada sebuah novel: “Kitab Omong Kosong” karya Seno Gumira Ajidarma. Judulnya lucu. Maka, sepulang sekolah, saya mampir ke Togamas dan membeli “Kitab Omong Kosong”.
Saya menyukai novel itu. Dan saya sadar: menulis bukan melulu alat untuk bermelankolia-ria. Saya pun bertekad, saya harus menulis hal lain selain tentang cinta-cintaan—meskipun tak melarang diri untuk kembali menulis dengan tema tersebut. Sejak saat itu saya mulai membiasakan diri mengembangkan bahan bacaan (prosa maupun puisi) dan topik tulisan.
Dan memasuki bangku kuliah, di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, saya baru sadar bahwa seni bisa dipelajari secara sistematis. Dari sana, saya mulai membaca tentang writer’s craft, teori-teori naratif, dan hal-hal sejenis.
TENTANG KELUARGA
Keluarga mendukung penuh hobi membaca-menulis saya. Saya pikir ada dua alasan:
Pertama, Aji (Papa) saya punya latar belakang kuliah seni, dan dengan latar belakang itu Aji bisa menghidupi keluarga. Mama pun tak meragukan kemampuan Aji dalam menghidupi keluarga. Maka, mereka semacam tak punya alasan untuk mencegah hobi saya.
Kedua, waktu SMA, sebelum mulai hobi membaca-menulis, saya pecandu berat game online. Saya lebih banyak bersosialisasi dengan manusia-virtual di game ketimbang dengan manusia nonvitual di sekeliling. Sejak mulai hobi membaca-menulis, saya mulai bisa mengurangi waktu di game online. Keluarga tentu menganggap itu hal baik.
Oh ya, sekadar tambahan, Aji dan Mama tak menganggap game online sebagai “ajaran sesat” atau semacamnya. Mereka yakin bahwa game mempunyai sisi positif–misalkan saya jadi lebih lancar berkomunikasi dengan bahasa Inggris, karena game online yang saya mainkan berserver internasional. Apa yang Aji dan Mama tak suka hanyalah saya yang kecanduan.
TENTANG PENGALAMAN MENGIRIM KARYA KE MEDIA
Pertama kali saya berani mengirim puisi–semasa SMA–adalah ke tabloid Wiyata Mandala (milik Kelompok Media Bali Post). Tabloid itu rutin dibagikan ke seisi kelas saya, kalau tak salah sebulan sekali. Biasanya kami (para siswa) menggulung-gulungnya sedemikian rupa hingga serupa tongkat bisbol, dan menggunakannya sebagai senjata perang jika guru tak hadir.
Sejak terpikir untuk mengirim puisi ke Wiyata Mandala, saya tak lagi menggulung-gulung tabloid itu dan memakainya untuk menggeplak kepala teman. Saya mulai membaca puisi-puisi di sana, membaca tata cara pengiriman puisi, dan mengirimkan sejumlah puisi. Bulan depannya, puisi pertama saya, puisi cinta-cintaan remaja, dimuat. Hari itu satu kelas menganggap saya seperti pahlawan, seolah puisi saya dapat menyelamatkan mereka dari pemanasan global.
Dari mengirim puisi-puisi ke Wiyata Mandala, saya mulai mengirim cerpen ke Bali Post. Begitu cerpen pertama dimuat di Bali Post, saya mulai nekat mengirim tulisan ke berbagai media massa, lokal maupun nasional. Ada beberapa yang dimuat, dan sebagian besar tidak dimuat.
Pengiriman tulisan saya lakukan setiap minggu. Saya menulis sangat cepat. Sungguh kebiasaan yang “brutal”, kalau saya pikir-pikir sekarang. Sekarang saya lebih jarang mengirim tulisan ke media massa.
Saya pun kini menulis dengan lebih lamban. Itu sengaja saya lakukan: selain karena kesibukan kerja, saya berusaha keras memastikan tulisan saya memang layak dibaca. Saya memeriksa setiap tulisan saya berkali-kali sebelum berani mengirimnya. Terlebih, saya sendiri belum seberapa yakin dengan kemampuan saya dalam menulis. Masih banyak PR yang harus saya telan.
Perihal juara dalam urusan tulis-menulis, yang terbaru, tahun ini, saya mendapatkan penghargaan “Cerpen Terbaik” dari situs Litera.co.id.
Sebelum-sebelumnya, saya belum pernah juara dalam bidang ini–paling tinggi masuk sebagai nominasi.
Saya pikir tak banyak yang bisa saya ceritakan perihal ajang-ajangan semacam ini.
TENTANG PENYENDIRI
Ini benar. Saya amat-sangat jarang berkumpul dengan sesama penulis, misalkan sewaktu di Bali. Selain kebanyakan menghabiskan waktu di luar kota—sejak kuliah hingga sekarang bekerja—saya memang kurang nyaman berada di keramaian. Hal begini saya pikir ada sebabnya: Waktu kecil, misalkan saat SD, saya beberapa kali pernah di-bully beramai-ramai. Akibatnya, sampai sekarang, jika berada di keramaian, saya selalu berpikir: sewaktu-waktu akan ada yang memukul kepala saya dari belakang.
Saya pikir itu ketakutan yang konyol. Sejak kuliah, saya berusaha keras melawan ketakutan itu—sampai sekarang. Dalam beberapa kesempatan, saya sengaja meletakkan diri di tengah keramaian: saya belum tentu ikut membaur dalam percakapan, tapi saya pasti mendengarkan setiap percakapan.
Terakhir kali saya datang ke acaranya para penulis, acara yang ramai, adalah beberapa bulan sebelum pandemic—saya lupa kapan tepatnya. Waktu itu para penulis diundang ke Bali, menginap gratis di Grand Bali Beach, dan mengikuti serangkaian acara di Art Centre.
Sejak saat itu, saya belum pernah berkumpul dengan sesama penulis lagi dalam suatu acara khusus. Tapi yang kali ini sebabnya adalah urusan kuliah dan kerja. Jika suatu hari saya lowong dan ada acara-para-penulis, saya pasti menjebloskan diri di sana.
TENTANG PEKERJAAN
Semester ini saya melakoni tiga pekerjaan:
Pertama, menjadi asisten dosen di beberapa kelas penyutradaraan film, di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta;
Kedua, menjadi sutradara iklan freelance. Masih iklan-iklan kecil, dan sama sekali belum banyak. Karier ini baru dimulai tahun ini;
Ketiga, menjadi penulis skenario di salah satu rumah produksi di Batam. Skenario untuk konten-konten audio-visual di media sosial, dengan target penonton kelas C sampai B-. Bukan profesi yang besar bagi saya, tapi lumayan untuk menambah tabungan demi lanjut S2.
Jadi, saya bolak-balik Batam-Jakarta-Bali. Bali khusus untuk liburan.
TENTANG MIMPI
Saya pikir saya kebanyakan bermimpi. Saya berusaha memangkas mimpi-mimpi saya karena tak ingin kecewa pada diri sendiri, hahaha. Sejauh ini, berikut mimpi-mimpi yang tersisa:
Pertama, menjadi sutradara dan penulis film fiksi yang bagus. Saya suka sekali dengan film-filmnya Michael Haneke, Andrei Tarkovsky, Tsai Ming-liang, Akira Kurosawa, Quentin Tarantino, Edwin, Garin Nugroho, dll.
Kedua, menjadi penulis prosa. Saya sangat menyukai Kafka, Hemingway, Dostoevsky, Chekov, Murakami, dan lain-lain.
Yang ketiga ini agak ngeri untuk saya sebutkan: Menjadi Penyair. Puisi ini semacam produk yang menakutkan bagi saya. Saya masih sering gagal membedakan mana puisi bagus dan buruk; maka saya kesulitan menulis puisi yang benar-benar layak dibaca.
Pekerjaan yang saya lakoni sekarang bukan mimpi saya, sebenarnya. Tapi saya yakin betul: Ini akan membawa saya menuju mimpi-mimpi saya.
TENTANG CINTA, PACAR, RUMAH TANGGA, DAN LAIN-LAIN
Saya tidak punya pacar. Saya tidak ingin punya pacar. Saya tidak ingin menikah. Hehehe …
Sebetulnya saya benar-benar tidak terbayang pada konsep ini: hidup serumah dengan orang lain selama bertahun-tahun (kecuali orang itu Kakak, Aji, dan Mama). Entah kenapa, saya merasa itu hal absurd. Saya pernah menghabiskan seharian penuh dengan perempuan yang saya sukai—dan saya merasa itu hari yang sangat membosankan. Entah apa jadinya kalau saya harus menikah dengan dia dan bersama dia bertahun-tahun.
Atau entahlah. Saya bingung sekali soal yang begini.
Saya pernah jatuh cinta beberapa kali sebetulnya. Misalkan saat kuliah. Tapi saya memutuskan untuk diam saja; saya tidak punya bayangan tentang “apa yang harus dilakukan” jika cinta saya diterima.
Saya lebih tertarik pada konsep FWB, hahaha!
TENTANG DUNIA SASTRA, DUNIA FILM, MEDIA, PERIKLANAN, JUGA GAME
Ini sebetulnya pertanyaan sulit, mungkin jawaban saya tidak sesuai ekspektasi dan belum berani “seberapa banyak”, terutama pandangan yang bersifat umum.
Tentang game:
Saya percaya, game sangat bermanfaat untuk penulis dan sutradara—jika dimainkan dengan “teliti”. Teliti di sini berarti: bukan sekadar bersenang-senang di game, melainkan bersenang-senang sambil mempelajarinya. Banyak game yang memiliki struktur naratif sangat kuat, statement sangat kuat, pengadeganan sangat kuat, konsep audio-visual sangat kuat, dll. Beberapa judul game yang menurut saya sangat layak diamati, dan sangat saya sukai: series GTA, series Far Cry, series Mega Man Network Battle.
Tentang dunia film:
Banyak menonton dan mempelajari film membantu saya dalam menulis. Misalkan, kemampuan saya dalam mengamati cerita secara audio-visual, sangat membantu saya dalam menulis prosa dan puisi. Misalkan saat harus mempertimbangkan detail apa yang sebaiknya digunakan–juga sebaiknya dibuang–dalam bercerita.
Tentang media:
Saya belum berani berkomentar apa pun soal ini.
Tentang sastra:
Ini juga belum berani.
Tentang iklan:
Saya sendiri, sebagai pekerja iklan, sering menganggap iklan-produk sebagai benda yang jahat. Dalam membuat iklan, kami, para sutradara, memikirkan cara terbaik untuk “mencuci otak” penonton. Hehe… [T]