(1)
Saya menonton film Jepang yang berjudul Survival Family (2016). Film ini dibuat oleh Shinobu Yaguchi setelah melihat gempa bumi, tsunami serta kebocoran reaktor nuklir di Jepang pada 2011 lalu.
Survival Family menceritakan kisah keluarga Yoshiyuki Suzuki yang bertahan hidup dalam menghadapi bencana paling mengerikan bagi umat manusia abad-21: listrik padam; tak ada teknologi. Mereka hidup tanpa teknologi atau peralatan elektronik lain, seperti ponsel, laptop, komputer, ataupun televisi. Bahkan, transportasi umum seperti mobil, bus, ataupun pesawat pun tidak berfungsi.
Film Survival Family merupakan sebuah kritik terhadap peradaban manusia yang terlalu tergantung pada kecanggihan teknologi. Sebab ketergantungan pada teknologi dinilai telah melenyapkan banyak kemampuan dasar manusia untuk bertahan hidup. Pikiran ini mengingatkan saya pada sebuah pemahaman yang dikenal dengan istilah “Luddism”.
Luddism adalah filosofi hidup yang menentang teknologi modern. Pikiran ini berangkat dari gerakan anti-industrialisasi di Inggris pada awal abad-18 yang merespon dampak revolusi industri bagi buruh. Kelompok buruh menghancurkan alat produksi yang telah menggantikan manusia. Gerakan tersebut, salah satunya dimotori oleh Need Ludd, yang kemudian dari namanya lahir istilah Luddism.
Saya tidak hendak membicarakan paham Luddism lebih jauh. Dalam tulisan ini, saya hanya akan berbicara tentang “hegemoni manusia atas alat”—mencoba mempertanyakan kembali eksistensi manusia.
(2)
Pada saat ini, hidup manusia rata-rata seperti didominasi oleh segala sesuatu yang bersifat serba tahayul, maya, palsu, serba fatamorgana, khayalan, plastis, semu, dangkal, dan virtual. Kemudian dari fatamorgana itu manusia mencoba mengenali dan tidak sedikit yang malah menceburkan diri sekalian ke dalamnya.
Manusia di zaman ini tidak pernah lepas dari kemajuan teknologi, sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Teknologi pun hadir untuk mempermudah dan membantu pekerjaan manusia agar lebih efektif dan efisien hingga suatu titik masyarakat mulai terlena dengan teknologi. Mereka lebih memilih sesuatu yang instan, cepat, dan praktis. Dengan keadaan tersebut, sifat konsumerisme manusia mulai muncul juga akan menyebabkan sikap individualisme.
Rasa sosial mereka pudar dan akhirnya hilang. Manusia seakan-akan seperti diperalat teknologi dan kehilangan jati dirinya, eksistensinya. Kebergantungan pada teknologi memberikan dampak buruk bagi peradaban manusia.
Manusia merasa bahwa dengan teknologi semua bisa teratasi. Dengan mudahnya mereka bisa membalikkan keadaan, mengatur suasana bahkan berlomba-lomba menjadi yang terbaik, berusaha membangun citra di mata orang lain.
Padahal, esensinya, tanpa kita sadari, kita telah kehilangan kemampuan alamiah kita untuk bertahan hidup. Semakin ke sini banyak orang kehilangan fungsi kaki, tangan, dan bahkan fungsi pikiran—lebih banyak orang menyandarkan semuanya pada teknologi.
Zaman teknologi mampu membikin mental kita dalam keadaan yang terombang-ambing. Menjadi takut untuk hidup. Tidak siap dengan semua gejala. Tidak waspada, tidak awas, tidak tanggap, tidak visioner, dan jauh dari ke dalaman!
Di mana-mana tidak ada lagi tempat bagi ke dalaman; tidak ada lagi ruang untuk berpikir serius; tidak ada lagi orang-orang yang menghamba pada kesejatian. Sedangkan mereka yang mencoba menarik diri dari kekisruhan ini, akan terbuang, dianggap aneh, tersingkirkan dan sunyi.
Lantas, adakah jalan keluar?
(3)
Dalam sejarah kita diberitahu bahwa tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan. Tidak ada sengketa yang tidak mungkin didamaikan. Jalan pasti ada.
Sayangnya, jalan keluar untuk menghadapi zaman ini tak semudah yang dibayangkan. Dalam hal, kita harus belajar “berfilsafat”—untuk dapat mempertanyakan kembali eksistensi manusia.
Sedangkan, di tengah kehidupan yang serba cepat, penuh propaganda, apatis, dan pragmatis ini, rasanya belajar filsafat memang terkesan menambah beban hidup saja. Ketika dunia digerakkan oleh hiruk-pikuk pemburu kenikmatan, karier, popularitas, dan kekayaan—yang dalam bahasanya Sugi Lanus, itu semua hanya berkaitan dengan ‘social self’—filsafat memang tampak seperti verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya.
Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret di dunia ini dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.
Tetapi, proses abstraksi itu diperlukan untuk menerangi pengalaman dan melihat akar-akar dasar yang tersembunyi di balik segala persoalan konkret. Belajar filsafat juga bisa membantu melihat hal-hal yang lebih pokok; juga memungkinkan kita berpikir lebih arif dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang mungkin tak bisa langsung dirujuk ke kitab suci; bahkan akhirnya mungkin juga membantu menyingkap ilusi-ilusi yang tersembunyi di balik agama, yang jika dibiarkan justru akan merusak martabat agama itu sendiri.
Filsafat—atau mempertanyakan kembali eksistensi kita sebagai manusia—sepertinya dapat memberikan stimulus kepada kita bahwa di zaman ini, beberapa orang yang sadar, sebenarnya merasa tidak bahagia. Kita tidak tahu mengapa, dan apa yang membuat kita tidak bahagia. Tetapi secara instinktif kita merasa bahwa kita seperti telah kehilangan sesuatu. Kita ingin menemukannya kembali. Di tengah mobil-mobil mewah, komputer-komputer yang menakjubkan dan jaminan-jaminan sosial yang baik. Dan saya pikir, sesuatu yang hilang itu adalah, apa yang kita sebut sebagai jati diri manusia yang bisa memanusiakan manusia.
Bagaimana pun, sehebat apa pun alat, manusia adalah manusia—yang seharusnya memperalat alat; buka justru diperalat alat.[T]