Oleh: Wulan Dewi Saraswati
Acap kali naskah drama hanya dimaknai sebagai bagian dari pementasan, bukan satu-kesatuan kesusastraan. Terlebih bila menyangkut naskah drama modern yang berbahasa Bali. Masih minim keterlibatan naskah drama Bali modern dijadikan sebuah alasan pentas. Cetusan skema baru naskah drama sangat perlu, terlebih pada iklim sastra Bali modern. Harapan bisa disematkan terhadap kemunculan kumpulan naskah drama Bali modern bertajuk Mamula karya I Dewa Gde Agung Windhu Darmaja, I Wayan Sumahardika, dan Gusti Made Aryana. Naskah yang terhimpun adalah karya para pemenang sayembara penulisan naskah drama Bali modern Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan diterbitkan pada tahun 2017. Tiga naskah tersebut mengandung corak mistik khas Bali yang dikreasikan secara estetis oleh penulis.
Kumpulan naskah drama Mamula penting untuk diangkat mengingat masih belum banyak apresiasi berupa ulasan juga kritikan terhadap naskah drama Bali modern. Nampaknya ragam apresiasi terhadap naskah drama Bali masih minim mengingat geliat aktif para penulis naskah Bali modern yang tidak begitu dinamis. Sejalan dengan ungkapan Benny Yohanes (2017) yang penting bukanlah menciptakan sesuatu, membuat sesuatu secara teknis, melainkan sesuatu harus dilahirkan.
Kelahiran estetika pemanggungan drama di Bali sudah mulai dinamis. Namun, riset keilmuan ulasan atau kritik naskah masih perlu digencarkan. Upaya pencatatan evolusi-evolusi kreatif penulis naskah drama perlu dilakukan sebagai pengarsipan terhadap produk kebudayaan dan estafet seniman Bali. Selain itu diperlukan daya kritis untuk memberi ruang tafsir baru terhadap geliat pertunjukan drama Bali modern, bukan hanya sebagai bentuk penilaian yang beroposisi.
Berkaca pada relasi-relasi tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas dengan antusias mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berkelidan mengenai (1) bagaimana estetika teknik dan gaya penulis dalam tema yang didominasi oleh mistik khas Bali? (2) bagaimana penulis mengangkat isu sosial masyarakat Bali sebagai upaya pencerahan rasional? (3) bagaimana penulis mampu menuliskan bahasa tuturan berbahasa Bali ke dalam naskah drama? Berikut akan diurai terkait ruang imajinatif dan interpretasi dalam kumpulan naskah Mamula.
Tebaran Kreasi Mistik
Tema-tema yang dihadirkan dalam kumpulan naskah drama Mamula dominan mengangkat ritual domestik yang mistik. Naskah Mamula berpijak pada isu sosial sampah plastik. I Dewa Gede Agung Windhu Darmaja menulis evolusi tumbuhan menjadi pohon plastik. Dikisahkan pohon plastik tersebut bermanfaat sehingga mengundang beberapa ‘orang sakti’ menelusuri bagaimana sejatinya hal mistik tersebut terjadi. Meski sedikit tanggung, naskah ini mampu menyerupai gaya realisme magis. Penulis berupaya membuat daya ungkap ekologi yang mistik. Hal tersebut bisa dilihat pada dialog berikut,
Artawa: (mekesiab bingung) me ne punyan apa ane mentik jani me? adi langsung mentik punyane?
Men Badra: Ih ne punyan plastik adane. Adi bisa saget mentik punyan plastik
Artawa: men punyan plastik ento kenken asane?
Men Badra: punyan plastik ento tusing dadi ajeng tu, plastik ento nyanan dadi adep (hal.14)
Dalam dialog terdapat kata ‘mentik’ yang berarti tumbuh. Frasa ‘plastik yang tumbuh’ adalah ungkap kreasi mistik yang coba ditawarkan penulis. Penulis mampu memompa bangunan metafisik rupa dan bayang menjadi bahasa yang surealis. Gaya penceritaan mistis lainnya terdapat pada naskah Kajumput Kala karya I Wayan Sumahardika.
Raja: Napi kone kirang nike, Jero?
Pan Bagler: dn)&!)_onw)&!**_!efwed!)()(*!w fwib
Putri: wefu *!)^@&()!bwefne (*^!&))@&))@&)wmo
Pan Bager: Ooohh.. Niki, Baang Ida Ratu Putri kone mekurenan ngajak Wayan Pasek, Tu. Wayan Pasek Nika boye je nak jaba blegeran nika. Wayan Pasek nika kone putran Raja Diraja Gamang. (hal.41)
Penggunaan elemen simbol-simbol sangat cerdas untuk menyatakan bahasa yang tak memiliki arti atau bahasa yang dibuat-buat oleh tokoh. Kreasi mistik dihadirkan humoris ketika Pan Bagler memberi taktik jitu kepada Putri agar bisa menikahi Wayan Pasek. Praktik ini juga didominasi belief system di masyarakat Bali yang melakukan budaya metuunan atau bertanya ke alam niskala tentang kekurangan-kekurangan. Maka demi kesembuhan, biasanya akan dilaksanakan sesuai titah dari alam niskala tersebut. Hal itu juga terlihat pada naskah Lawat Padidi karya Gusti Made Aryana.
Sinom
Sujatnnya ada nyamar, silib tan tangehang gummi, ento ane maguripang, sarwa ne ada di gumi, nanging keweh mamedasin, wireh sepi suwung samun, tanpa rawat tanpa matra, sulit saksat, mamedasin, lesing kangkung, kadi geni jroning sela (hal.51)
Mistifikasi yang terlihat pada kutipan di atas adalah lagu yang kadang digunakan sebagai mantra. Keyakinan yang dianut tokoh agar mencapai cita-citanya sebagai dalang. Corak mistik yang terlihat begitu sublim sehingga terlihat pengaruh ritual domestik yang kerap dilakukan masyarakat Bali. Mulai dari ritual metuunan, mitos,hingga menjadi lagu. Hal tersebut membuktikan bahwa konsep-konsep sakral nyatanya mampu secara kreatif dimanifestasikan ke dalam naskah drama modern Bali.
Pencerahan Rasional
Ketiga naskah drama ini adalah akselerasi literasi yang akan membuka sudut pencerahan. Ada tiga cakupan relasi sosial yang mempengaruhi rasionalitas yakni relasi manusia terhadap alam, relasi manusia terhadap manusia, serta relasi manusia terhadap pencipta. Pada naskah Lawat Padidi karya Gusti Made Aryana, manusia disadarkan dengan ritual bersyukur kepada pencipta.
Lelayungan raga kusuma
Sanghyang candra taranggana pinaka
dipa memadangi rikalaning wengi (hal.54)
Diksi bahasa Bali halus menandakan relasi antara manusia dengan sesuatu energi yang lebih besar dan lebih dihormati. Dalam naskah drama ini pembaca akan tercerahkan dengan kehadiran penghormatan terhadap energi yang lebih supra dibanding manusia. Seperti pernyataan Benny Yohanes (2017:218) bahwa penampakan semacam ini adalah saat penulis mencapai tahap transendensi, saat itulah penulis memperoleh dan mengalami taksunya.
Pada naskah Kajumput Kala karya I Wayan Sumahardika, relasi manusia dengan manusia terasa. Kesadaran mencintai diletakkan lebih tinggi daripada mempertahankan kasta. Putri dari seorang keturunan bangsawan ingin menikahi kekasihnya yang tidak memiliki jabatan apapun. Kesenjangan sosial ini tak jarang memicu konflik. Maka secara implisit dapat terlihat pada dialog berikut.
Putri: Ampurayang tiang, Bli. Tiang ten sanggup hidup yen beli ngalahin tiang. Ngadenang suba tiang ngalahin beli ke puri, Bli. (hal.29)
Pembangunan watak Putri juga terlihat sangat spesifik bahwa dengan tegas Putri menolak untuk meninggalkan kekasihnya. Relasinya dengan manusia lain lebih besar daripada relasinya dengan status sosialnya. Dialog tersebut mempunyai pertalian dengan naskah Mamula Kala karya I Dewa Gede Agung Windhu Darmaja yang mencerminkan relasi manusia dengan alam.
Artawa: niki sane mewasta karma phala Jro, Jro eling napi sane kabuat Jro duang dasa tiban sane lintang? Jero sampun loba nagih ngadep makejang tanah tegalan. Tanah punika jro tumbas mudah kal anggen jro mamula plastik. (hal.21)
Aksi relasi semacam ini adalah unsur dramatik yang akan memandu empati para pembaca. Hal itu terlihat saat tanah dan lingkungan berperan penting dalam hukum karma. Penyikapan relasi-relasi ini akan memberi pencerahan secara rasional bahwa manusia mempunyai efek dan peran penting dalam pembentukan realitas.
Corak Tuturan Tertulis
Dalam glorifikasi ide-ide, kematangan kontemplasi sangat diperlukan guna memicu kesadaran baru dalam ragam konteks tuturan. Meski beberapa konteks situasi memang perlu menggunakan bahasa Bali halus, ketiga naskah drama Bali modern ini didominasi proses tuturan dengan bahasa Bali madya. Gaya bahasa pergaulan itu membuat suasana dalam dialog-dialog menjadi lebih dekat dengan lingkup sosialnya. Contoh pada naskah drama Mamula karya I Dewa Gede Agung Windhu Darmaja,
Purnaya: apa tuni ngomong to?
Duaja: oh awake masih ningeh munyi to?
Purnaya: oh awake masih ningeh? Berarti ne bhatara ane ngeraos (hal.6)
Pada dialog ini kultur tuturan menjadi efisien karena meletakan unsur-unsur yang akrab didengar dalam percakapan sosial. Sehingga peran Purnaya dan Duaja sudah kentara bahwa mereka berelasi karib. Sedikit berbeda dengan I Wayan Sumahardika dalam naskah Kajumput Kala,
Prajurit 1: Aduh.. Ratu.. sampunang Ratu..
Prajurit 2: Aduh.. kena PHK be awake jani.. (hal.28)
…….
Pan Bagler: Ampurayang titiang, Ratu… Titiang niki balean saking timur tengah.. Wenten dingeh tiang Ida Ratu Putri sungkan.
Raja: Inggih jero.. nang jalanang jani…Kengken carane ngubadin panak tiange niki jero (hal.39)
Pilihan kata ‘PHK’ pada dialog ini sangat di luar konteks kerajaan pada saat itu. Terlebih belum ada padanan kata di bahasa Bali terhadap kata ‘PHK’. Kemunculan kata ini dapat menjadi jembatan antara tuturan bahasa Bali modern dengan konteks kebahasaan lampau zaman kerajaan. Dialog yang menghalus juga terdapat pada pemakaian kata ‘titiang’. Hal ini membuktikan bahwa penulis naskah drama Bali modern haruslah paham dengan konteks, sehingga posisi sosial lawan tutur bisa terlihat jelas.
Beberapa pilihan telah diupayakan penulis untuk memahami warna bahasa Bali yang akan mempengaruhi jalannya peristiwa. Namun, Gusti Made Aryana pada naskah Lawat Pedidi masih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada bagian naratif meski dialog-dialognya sudah mempergunakan bahasa Bali.
Narasi
Sesungguhnya bila jaman kali datang,
hanya kekayaan yang dihargai,
tidak perlu dikatakan lagi orang yang saleh (hal.44)
Pemilihan penggunaan bahasa masih menjadi kendala yang perlu dicermati oleh pegiat sastra Bali modern khususnya naskah drama. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Indonesia di bagian naratif tidak mempengaruhi terjadinya multikulturalisme. Justru berpotensi menjatuhkan struktur bangunan dramaturgi naskah.
Harapan Tetap Harus Disematkan
Berbagi pembahasan telah diurai sebagai bahan interpretasi kritis mengenai struktur bangunan naskah. Jarak sosial, esensi kebijakan tradisional, serta kontemplasi artistik juga berhasil dibangun. Kepekaan daya ungkap telah diupayakan oleh ketiga penulis ini. Corak relasi sosial, budaya, dan pembangunan watak menjadi skema karakter yang khas. Ikatan spiritual yang kuat serta nilai-nilai religius telah mampu dikreasikan.
Proses induksi dari peristiwa sosial ke dalam naskah membutuhkan kerja estetis yang tidak mudah. Hingga beberapa tantangan-tantangan perlu dijawab oleh para penulis utamanya mengenai sikap berbahasa. Penulis masih perlu mencermati lebih detail idiom Bali yang bisa dialihkan dalam bentuk teatrikal. Hal ini bisa dipandang sebagai cara yang produktif untuk mengurai elemen-elemen Bali. Harapan tetap disematkan, naskah-naskah yang muncul diharapkan dapat membuka lagi batas-batas kearifan lokal. Kelak naskah drama Bali modern tidak hanya dipandang sebagai aksesoris sebuah pementasan. Perlu ada kesadaran bahwa berakar pada naskah drama inilah akan mampu membuka alih wahana pertunjukan yang lebih dinamis. [T]