Sebelum matahari menyeringai, saat malam belum tanggal, Banaru menguji ketabahan istrinya. Pintu kamarnya terbuka. Dari celah pintu terlihat istrinya masih menggunakan pakaian tidur—tentu telat bila saat itu ia mendorong gagang pintu—perempuan itu mencuri pandang ke kamarnya. Banaru berpikir, sebentar lagi istrinya akan masuk. Dan benar, ketika mata Banaru berkijap-kijap, istrinya kesal bukan kepalang sehingga mendorong pintu kamarnya dengan tenaga kerbau.
Banaru merengkuk tubuhnya dalam selimut, mengintip perangai istrinya dari celah kecil. Cahaya laptop di atas meja menerangi wajah istrinya; wajah bengis yang membuat Banaru tak ingin keluar dari sana. Tak ada pilihan. Mareta akan tahu Banaru tidak minum obat tidur. Tapi, bagaimana ia menyadari bahwa itu bukan karena ia memang tak ingin tidur, atau apakah Mareta akan melakukan sesuatu untuk membujuknya minum obat itu? Kalau Mareta memaksa, “lebih baik aku tidur selamanya,” kata Banaru dalam hati. “Atau sebaiknya meloncat, lalu memelas pada kucing betina itu agar tak mengganggu pekerjaanku?” lanjutnya dengan perasaan bimbang.
“Mestinya kau bangun siang nanti,” kata Mareta.
Banaru diam saja, tetap sembunyi, tetapi tak lagi mengintip istrinya dari lubang kecil lipatan selimut. Perempuan itu menarik selimut yang menutupi Banaru, kemudian melempar selimut itu ke lantai dan menyalakan lampu. Barulah jelas wajah lelaki itu. Banaru tampak seperti manusia gua, rambutnya panjang saling lilit, kaos putih masih saja dipakai sejak beberapa hari lalu, dan celana jeans bulukan itu belum juga ia ganti. Dan, mata Banaru kini lebih menjengkelkan dari sebelumnya, seperti mata anjing ketakutan, dan tubuhnya yang kurus tetap meringkuk.
“Maafkan aku. Manusia gua punya bahasa yang berbeda,” lanjut Mareta, lalu duduk di depan meja kerja Banaru.
Lupa menutup pintu adalah kebodohan pertama laki-laki itu, semetara kebodohan keduanya: Banaru tak menyembunyikan obat tidur yang diletakkan istrinya di atas meja kerja.
“Apa kau mulai bicara dengan obat tidur ini?” kata perempuan itu.
“Tidak,” jawab Banaru.
“Jawaban ‘tidak’ hanya untuk anak-anak yang disodori obat.”
“Tentu.”
“Kuharap kau tak lupa cara bicara.”
Perempuan itu lalu pergi meninggalkan suaminya dalam keadaan seperti makhluk terkutuk yang dihukum dewa-dewa dalam kubang neraka.
Mereka pisah ranjang sejak tiga hari lalu; awalnya, perempuan itu meraba isi celana suaminya ketika ia pikir Banaru telah tidur. Jika Banaru telah tidur, biasanya perempuan itu akan memberi kejutan, dan pelahan mereka akan menjadi binatang malam seperti pengantin baru. Tapi Banaru tak menunjukkan perubahan, ia hanya menggulingkan tubuhnya ke arah istrinya, memperlihatkan wajah yang pucat dan matanya yang bengkak dengan urat yang merah.
Akhirnya, mereka memutuskan pisah ranjang. Pagi itu, Banaru seperti penderita tipes, tapi ia mengatakan dirinya baik-baik saja—tubuhnya tentu menunjukkan ihwal sebaliknya. Istrinya bertanya alasan mengapa matanya menjengkelkan, dan Banaru berkata entah, tapi istrinya tak menerima jawaban entah, lalu Banaru berkata: Tulisanku belum rampung.
Penerbit terus mengejar Banaru dan kontrak menjadi setan di kepalanya. Karena itu, Mareta berbaik hati, menyarankan Banaru tidur di kamar sebelah, kamar anak-anaknya yang tak lagi tinggal bersama mereka. Mareta membiarkan lelaki itu bekerja sendiri, dan berjanji tak akan mengganggu. Tapi, dalam waktu seminggu, Banaru harus menunaikan tugasnya sebagai kucing jantan.
Diam-diam, Mareta meletakkan obat tidur di meja kerja Banaru, entah kapan ia menyelinap—ia berbakat dalam hal itu. Tapi, Banaru tak meminum obat tidur itu. Tampaknya, Banaru menikmati pikirannya. Ia membayangkan tulisan-tulisan yang mesti selesai, dan tentunya kata-kata editor yang berputar-putar di kepalanya. Padahal, Banaru biasa mendengar ucapan semacam itu, tetapi begadang membuat pikirannya memanggil semua percakapan itu dan membuat jawaban yang lebih buruk muncul di sana.
“Sejak kapan kau membuat adegan picisan?” kata editor penerbitan setelah membaca naskahnya.
“Aku bisa menyelesaikan novel dalam seminggu dengan adegan picisan. Tapi, perlu waktu dua tahun untuk menyelesaikan naskah yang kau pegang.”
“Tak ada bedanya.”
“Dugaan seseorang kadang keliru. Kau perlu membaca lebih jeli.”
Tetapi tiba-tiba, penerbit yang sama menghubunginya, memberi masukan terhadap novelnya, dan berjanji akan menerbitkan naskah itu. Banaru paham, tak ada penulis yang mau menerima proyek dua minggu untuk sebuah novel. Pertama, waktu singkat itu hanya akan menghasilkan tulisan buruk, kedua hibah pemerintah telah tumpah, dan selalu begitu di akhir tahun. Meski beberapa penulis telah menyimpan naskah, mereka pasti enggan berurusan dengan pemerintah, dan mereka pasti menghindar bila di belakang atau di sampul depan bukunya harus ditempeli logo norak itu. Tapi di umurnya yang semakin miring, Banaru tak punya pilihan lain.
Tinggal beberapa hari lagi, tapi naskah belum seperti yang diminta editor. Banaru memang lugu dalam hal itu. Mareta nampaknya lebih paham masalah-masalah itu. Malam itu, konsentrasi Banaru tak lebih kekar dari roti bakar. Istrinya menyelinap dan Banaru tetap melamun dan istrinya mengambil obat tidur, tapi Banaru diam saja. Lalu, jari Mareta dengan cekatan menyumpal hidung Banaru. Ketika itu, barulah lelaki itu berontak, kepalanya ia tarik dari cengkraman tangan Mareta. Sialnya, ketika kepala lelaki itu berhasil lepas, obat tidur telah masuk ke mulutnya.
“Tak ada cara halus bagi istri yang baik,” kata Mareta.
Untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama lagi. Tetapi, dalam hitungan detik, Banaru tidur dengan suara seperti babi disembelih. Dengkurannya membuat telinga siapa saja di sampingnya akan berdesing beberapa lama. Tapi mata Mareta ikut layu. Saatnya tidur. Tetapi, suara Banaru harus dihentikan lebih dulu. Sebab, ketika hendak masuk dalam mimpi, lagi-lagi dengkuran itu membangunkan Mareta dan begitu berulang-ulang.
Dengan kasar, perempuan itu mengais-ngais tisu yang ada di atas meja. Rupanya, Banaru melenguh mendengar keributan kecil itu, lalu ia berguling, dan kini liurnya mengalir lagi ke arah lain. Dengkuran itu mereda. Mareta tetap bertindak, dibuatnya bola sekepal tangan dari tisu. Lalu, ia menggulingkan tubuh Banaru agar tengadah. Mareta melihat gigi suaminya yang beberapa telah hilang, dan liurnya telah mengering dan menempel pada sebagian pipi kiri.
Mareta duduk termenung. “Tak perlu lagi menunda,” pikirnya. Ia memang mesti tidur kembali, sementara telinga perempuan itu terlalu cekatan menangkap dengkuran. Pandangan perempuan itu jatuh pada kantong plastik di samping tisu. Perempuan itu beranjak lagi mengambil plastik. “Tepat sekali,” pikirnya. Jika tisu dimasukkan dalam kantong kresek, maka akan aman: bila tertelan, setidaknya tidak akan menyulitkan dokter untuk mencari benda sebesar itu dalam perut kurusnya. Tapi, meski mulutnya lebar, tak akan sanggup ia menelan benda ini.
“Bila bangun, mungkin ia akan menecekikku…. Akan kukatakan ia bangun seperti mumi, dan aku mengigil di balik selimut, dan aku mengintipnya memasukkan tisu pada kresek, lalu memakannya sambil tidur.” Bahagia betul Mareta bisa memikirkan itu. Cerita yang masuk akal. Gemilang! Dalam sekejap saja ia bisa mencari solusi untuk tidurnya malam itu. Bahkan tidur untuk dua orang sekaligus. Banaru tentu saja tak punya otak secair istrinya. Lelaki itu pasti percaya pada cerita Mareta.
Hanya saja, bagaimana cara Mareta mengarang cerita tentang naskah Banaru? Naskah novel telah dikirim Mareta ke penerbit. Pesan itu tak bisa ditarik lagi. Dan, barangkali cerita buruk itu tak akan dipermasalahkan. Banaru akan punya buku, tapi semua orang akan tahu isi kepala lelaki itu, dan cerita-ceritanya yang tak pernah lebih baik sejak semula ia menulis. Sementara itu, Mareta tentu telah bahagia. Besok pagi, bilapun lelaki itu marah-marah, setidaknya ia telah memiliki tenaga yang cukup untuk menjadi kucing jantan. [T]
_____