Sebelum memulai tulisan ini, saya harus mengatakan bahwa saya ini hanya penikmat layangan, bukan pembuat. Menikmatinya pun ketika ada festival, atau melihat sekumpulan layang-layang mengindang, apalagi ditambah dengan suara guwang yang bising, saya semakin suka.
Tapi dalam pikiran, saya mengaitkan aktifitas layang-layang sangat erat dengan gairah struktural masyarakat Bali. Di beberapa pengarsipan saya membaca layang-layang dan rare angon berhubungan dengan panen raya, waktu sebagian besar penduduk Bali ini bekerja di bidang pertanian.
Logika pikir saya seperti ini, apapun kegiatan atau suatu produk jika ia memiliki nilai erat pada suatu kebudayaan atau aktifitas masyarakat pasti bersifat langgeng. Kemudian budaya agraris menghilang, setidaknya di Denpasar, sawah-sawah seiring waktu berkurang. Layang-layang bagaimana? Ia diselamatkan dengan adanya festival-festival layang-layang? Apakah itu saja ?
Berbekal pemikiran di atas, saya beranjak ke Wantilan Desa Adat Renon, pada Jumat, 18 Desember 2021, untuk mengikuti sesi berbagi mengenai layang-layang serangkaian Denpasar Festival (Denpest) 2021 . Narasumbernya undagi I Gede Agus Suprapta, atau biasa dipanggil Gusta, yang dimoderatori oleh Lanang Mr. Botax. Keduanya memang penggiat layang-layang, bahkan keduanya sempat berkolaborasi untuk membuat satu komunitas layangan.
Undagi Gusta banyak mengisahkan pengalamannya dalam pembuatan layangan, yang ia lakukan secara otodidak. Dari SD hingga sekarang. Pun sejumlah juara dalam beberapa festival pernah ia raih, dari pengalaman panjang tersebut Gusta mulai merumuskan gegulakan / sikut / ukuran layangan yang sesuai dengan seleranya sendiri. Tentu rumus ini tidak serta merta langsung jadi, melainkan melewati berbagai macam percobaan, ketidakseimbangan, ketidakcocokan, alhasil menemulah Gusta dengan ukuran yang pas.
“Tiang sering mencoba, mengganti-ganti ukuran dengan bagian tertentu, untuk ngecek kengken jadinya layangannya” Ujar Gusta pendiri kelompok Undagi Matre ini.
Dulu sebelum menjual layangan, ia menjual guwang sejak tahun 1992. Kemudian atas dorongan Mr. Botak kawan karibnya, sejak tahun 1997 ia mulai menjual layangan versi gegulakan Gusta. Ia yang dulunya bekerja sebagai dagang nasi jinggo selama 10 tahun, sekarang bekerja fulltime sebagai undagi layangan. Bahkan ketika pandemi sekalipun ia masih mendapatkan orderan dari sejumlah kawan-kawan pencinta layangan.
Saya sendiri tidak menyangka ada bentuk bisnis semacam ini di Denpasar, yang jika ditelisik lebih mendalam Gusta tengah mengembangkan satu bentuk layangan berdasarkan ukuran-ukurannya sendiri, sama seperti bagaimana orang Bali membangun rumah dan membuat perkakas pertaniannya. Orang Bali kerap menggunakan ukuran tubuhnya untuk menentukan ukuran, semisal jendela, tinggi pintu, lebar pintu, pegangan cangkul, pegangan arit dan lain sebagainya. Gusta juga sedang melakukan itu, dalam alam bawah sadarnya ia tengah menerjemahkan ukuran tubuhnya sendiri ke dimensi ukuran layang-layang buatannya.
Mengenai ukuran tubuh ini, ada satu tarian yang saya suka berjudul Sikut Awak garapan Krisna Satya di Helatari Salihara 2021, Krisna sebagai koreografer hendak menerjemahkan bangunan-bangunan ke dalam wilayah tubuhnya. Bangunan – sebut saja arsitektur yang ia gunakan kelindan dari ruang dulu dan sekarang, dalam tarian itu ia mencoba membaca tubuh orang Bali pada ruang aktifitasnya.
Ia pun memakai tubuh perempuan dan tubuh laki-laki untuk membandingkan ukuran-ukuran tersebut, sebab jika dilihat dari perkembangan tubuh, keduanya memiliki fase yang berbeda, seperti dalam pendistribusian lemak, serta ukuran tulang, sungguh sangat berbeda karena berkaitan dengan metabolisme tubuh keduanya.
Barangkali Gusta sedang melakukan autokritik terhadap tubuhnya sendiri, barang kali lo ya. Saya melihat saat ia berdiri, sangat ideal, dengan tinggi dan ukuran tubuhnya saya rasa ia memiliki ukuran kepangusan. Terus terang waktu diskusi, saya ingin mengukur tubuh Gusta, semisal jengkal, ukuran dari kepala ke kaki, lebar kaki, dan lain sebagainya, mungkin saja ada kaitan dengan gegulakan yang ia rumuskan.
Kemudian diskusi mengarah pada elokan layang ketika mengudara. Mr. Botak selalu menanyakan bagaimana mencapai bentuk elokan yang ideal. Sebelumnya Gusta menjelaskan bahwa elokan yang menurutnya paling ideal ialah ketika layangan bergerak diawali dengan kepala terlebih dahulu, badan, pinggul, barulah ekor. Yang ia jelaskan ialah anatomi layangan bebean sebagai contoh.
Ia pun membagi video dokumentasi tentang elokan ideal. Hal ini ternyata ada hubungan dengan gegulakan yang ia rumuskan, kaitannya terhadap panjang bambu, ketebalan bambu, serta kerangka tambahan yang berguna untuk menahan sekaligus mengeluarkan angin.
Teknik Gusta secara terang-terangan ia buka, untuk memberi stimulus kepada kawan-kawan pemuda yang hadir saat itu. Ia pun menjelaskan ukuran ini boleh jadi miliknya sendiri, namun tidak menutup kemungkinan bagi kawan-kawan untuk mengembangkan ukuran sendiri atau merumuskan hal yang dianggap penting dalam konteks wilayah selera masing-masing.
Mengenai ukuran wilayah masing-masing, ada layer perkembangan pengetahuan yang menarik bagi saya. Kata Mr. Botak pun diakui oleh Gusta, dulu sebelum ada gegulakan kekinian, setiap layangan memiliki ciri khasnya masing-masing. Jadi kalau festival atau perlombaan mereka biasa mengidentifikasi ukuran layangan berdasarkan wilayah. Setiap daerah memiliki ciri khasnya, betapa variatifnya.
“Tapi sekarang hampir semua layangan sama (memiliki ukuran sama) susah dibedakan, karena ada Gegulakan kekinian,” ujar Mr. Botak
Bagi Gusta sah-sah saja ukuran itu, tapi yang lebih penting adalah melakukan eksperimen sendiri dalam rangka menemukan mengembangkan kreatifitas untuk menciptakan ukuran sendiri. Awalnya mungkin saja melihat dulu yang ada, lalu dikembangkan lagi.
Saya setuju dengan statemen Gusta itu, dalam kesenian sering terjadi, untuk melihat kelompok lain berkembang atau melihat yang dianggap bagus. Jika sampai disitu, berbahaya. Harus dikritik, harus ditanyakan ulang, harus dimodifikasi baik secara pemikiran atau bentuk.
Diskusi hangat hari itu selesai, waktu yang disediakan oleh panitia mepet dengan pertunjukan berikutnya. Saya diam-diam menyapa Gusta, untuk berterimakasih atas ilmu yang telah dibaginya secara cuma-cuma.
“Kanggiang nggih, tiang tumben niki, pertama kali, jadi narasumber. Bukannya grogi, mungkin ada saya salah ucap atau salah kata, ampura nggih,” kata Gusta.
Sampai tulisan ini selesai, saya masih ingin mengukur tubuh Gusta. Mungkin di lain kesempatan. [T]
_____
BACA JUGA: