Sejatinya, setiap entitas hidup di dunia ini dapat bertahan hingga detik ini karena memiliki insting untuk tetap bertahap hidup dan meneruskan keturunan. Banyak entitas hidup yang pada akhirnya tergerus waktu dan punah karena insting saja tidak cukup: perlu dilanjutkan dengan luaran nyata yang dapat melawan seleksi alam; perlu ada tindakan nyata yang sesuai dengan tuntutan tempat hidup–dan berujung pada pola adaptasi terhadap tekanan. Selanjutnya, pola bertahan hidup yang sukses dari individu pada akhirnya akan diturunkan kepada generasi penerus. Hasil akhirnya, suatu entitas dapat terhindar dari kepunahan.
Dari tuntutan untuk menyelamatkan entitas diri secara individu, tidak jarang pola tersebut membentuk sikap egois yang mendahulukan kepentingan sendiri: saling mengalahkan antara satu entitas dengan entitas lainnya–dari persaingan antar spesies yang berusaha mencapai posisi sebagai pemangsa puncak, persaingan antar entitas di dalam satu spesies, dan bahkan bahkan dalam satu kelompok. Pada titik ini, akan terbentuk rantai makanan yang secara alamiah terjadi. Pola saling mengalahkan pada rantai makanan tidak hanya terjadi antar spesies, tetapi juga dalam satu spesies dan kelompok: seperti terjadinya strata politik, budaya, dan ekonomi pada manusia.
Walaupun kepentingan diri “tampaknya” adalah hal yang utama, pada akhirnya keseimbangan harus tetap terjaga. Siklus rantai makanan hanya akan berjalan dengan harmonis jika “pemangsa” tetap mendapatkan “mangsa” dalam jumlah yang cukup. Jika pemangsa terlalu banyak atau jumlah mangsa terlalu sedikit, maka kelangsungan hidup pemangsa pun akan terancam.
Secara alami, keseimbangan jumlah “pemangsa” dan “mangsa” sejatinya telah diatur oleh alam. Saat terjadi ketimpangan, maka semesta yang misterius akan memberikan intervensi sehingga keseimbangan awal dapat terjadi kembali: populasi “pemangsa” akan terkontrol dengan sendirinya jika tidak mendapatkan makanan yang cukup.
Terkontrolnya populasi “pemangsa” akibat makanan yang kurang sering terlihat pada hewan dan tumbuhan yang tidak memiliki kecerdasan untuk memanipulasi sumber daya yang ada. Tetapi, bagaimana jika “pemangsa” tersebut memiliki kecerdasan untuk bertindak lebih jauh? Homo sapiens bisa jadi adalah contoh yang paling nyata.
Homo sapiens atau manusia dapat bertahan hingga saat ini karena kecerdasannya dalam memanipulasi sumber daya yang ada. Saat sumber makanan sudah mulai jarang ditemui di era berburu, manusia dengan cerdas mengolah tanah dan memanipulasi sumber protein hewani: bercocok tanam dan berternak. Pada fase ini, masalah akan kebutuhan makanan dapat teratasi. Fase ini juga merupakan awal mula konsep “kepemilikan” semakin menguat.
Di masa bercocok tanam, masalah akan kebutuhan makanan terhadap populasi manusia yang terus bertambah dapat teratasi untuk sementara waktu. Walaupun demikian, jumlah pertambahan populasi yang terus meningkat membuat lahan dan hewan ternak yang dipakai untuk bercocok tanam tidak cukup lagi untuk dikonsumsi.
Pada tahap ini, manusia mengakali masalah dengan memperluas wilayah bercocok tanam dan memperbanyak ternak yang dimiliki. Perluasan wilayah ini tentu berbenturan dengan manusia lain yang memiliki kepentingan yang sama. Saat kemampuan wilayah yang dimiliki tidak mampu memenuhi kebutuhan, manusia akan melakukan ekspansi ke area lain yang kosong, dan akhirnya melakukan perluasan ke wilayah manusia lainnya: dengan melakukan perebutan dan perang terhadap kepemilikan orang lain.
Di masa – masa kuna, ekspansi atas hak milik individu lain dilakukan dengan kekerasan dan perang. Saat kekerasan disepakati sebagai hal yang buruk, ekspansi tersebut ternyata tidak berhenti. Ekspansi tetap dilakukan dengan cara yang lebih halus dan terstruktur dengan teknologi bernama uang: benda semu yang tidak memiliki harga tetapi menjadi sangat mahal karena kesepakatan bersama.
Dalam perkembangannya, uang akhirnya dijadikan simbol kemapanan. Walaupun pada hakikatnya sumber daya ada batasnya, para kapital yang memiliki modal dan berkuasa atas uang terus memberikan delusi mengenai sumber daya yang tidak akan habis–dengan cara berinvestasi pada ilmu pengetahuan. Sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan, pada akhirnya “disulap” menjadi kebutuhan primer bagi para konsumen. Konsumen akan bekerja–dan memperkaya pemiliki modal–kemudian berlomba membeli barang dari pemilik modal tersebut walaupun barang dan jasa tersebut bukanlah kebutuhan primer. Simbol kemapanan akibat kepemilikan dari produk – produk berkelas dan bermerk terus dikampanyekan. Efek lanjutannya sangat mudah ditebak: perputaran uang yang semu terus bergerak.
Dengan dalih “penemuan baru akan membuat barang konsumsi menjadi tidak terbatas”, kondisi tersebut jelas akan menetramkan manusia yang berada pada pusaran roda penggerak perekonomian. Tetapi, benarkah demikian? Bagaimana jika hal tersebut dilihat secara lebih luas?
Bahan konsumsi manusia tentu saja akan terus tersedia akibat penemuan – penemuan baru. Tetapi, proses produksi barang konsumsi tentu tidak akan lepas dari pemanfaatan alam. Pemanfaatan sumber energi yang semakin marak, pembukaan lahan baru untuk mendirikan pabrik, dan polusi yang terus meningkat adalah contoh yang paling sering terjadi.
Penggalian tambang di darat dan penanaman sawit dalam jumlah besar memerlukan pembebaskan hutan. Belum lagi polusi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas tersebut. Pemakaian sumber energi juga akan menghasilkan polusi: mesin mengeluarkan karbon monoksida yang berbahaya bagi lingkungan. Walaupun pada perjalannya hal tersebut diakali dengan menggunakan sumber daya sinar matahari dengan panel surya, tetap saja diperlukan sumber daya bumi dalam proses pembuatan alat panel surya yang memiliki kemungkinan perusakan alam yang mirip dengan penggalian sumber energi lainnya: litium.
Manusia akan tetap menggeser entitas lainnya dalam bertahan hidup, baik itu secara individu atau kolektif. Pencarian sumber energi akan menggeser keberlangsungan hidup dari penyedia oksigen–hutan–dan semua makhluk hidup di dalamnya. Cepat atau lambat ketimpangan ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terjadi.
Disadari atau tidak, ketimpangan itu pada akhirnya akan membuat keberlangsungan hidup manusia itu sendiri terancam. Jelas, ketimpangan itu berawal pada keserakahan manusia. Keserakahan yang mengaburkan pandangan terhadap keseimbangan; keserakahan yang mengaburkan pandangan bahwa entitas lain pun perlu hidup agar keharmonisan bersama tetap terjadi.
Manusia pada akhirnya tidak bisa hidup sendiri dan perlu menghargai kepentingan entitas lain untuk bertahan hidup. Saat entitas lain tetap hidup dengan nyaman, manusia pun akan hidup dengan tenang. Keserakahan pada akhirnya akan membuat manusia sebagai predator puncak akan musnah bersamaan dengan hilangnya lingkungan tempatnya tinggal. [T]
_____
KLIK UNTUK BACA ARTIKEL DOKTER KRISNA YANG LAIN