“MAMA sudah tua ya Pa?”
“Papa juga sudah tua, Ma. Semua orang akan menjadi tua, Sayang!”
“Mama sudah tidak cantik lagi, Pa.”
“Kata siapa? Mama tetap cantik seperti yang aku kenal 30 tahun yang lalu!”
“Rambut Mama sudah banyak yang memutih Pa!”
“Mama tampak begitu bijaksana dengan rambut putih itu.”
“Kulit Mama di beberapa bagian tubuh ini sudah mulai keriput.”
“Sayang, Papa tetap mengagumi kulit itu. Kulit itu masih seperti dulu, tiap disentuh selalu menyalurkan kehangatan ke dalam tubuh Papa.”
“Tulang-tulang Mama seperti sudah rapuh Papa. Sekarang Mama cepat sekali merasa lelah!”
“Papa tetap menyayangi Mama. Tak kan pernah berubah, Sayang.”
“Sungguh, Pa?”
“Sungguh, Sayang!”
“Sampai kapan Papa mencintai Mama?”
“Selamanya, Mama.”
“Tapi Mama sudah tua Pa. Mama sudah tidak cantik lagi!”
“Sayang, engkau tetap cantik. Papa begitu mencintaimu, Mama.”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu lebih sering diterima dari istrinya, Novi. Arif harus hati-hati tiap menanggapi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan istrinya. Novi belakangan begitu sensitif. Tak pernah dirasakan Arif seperti ini, selama membangun rumah tangga dengan Novi 30 tahun yang lalu. Salah menjawab pertanyaan Novi, keliru menanggapi kata-kata istrinya, bisa bermasalah. Bisa menyebabkan Novi sakit.
Novi belakangan memang mudah sekali sakit. Fisiknya mudah lelah. Jiwanya mudah rapuh. Novi mudah putus asa.
Usia Novi menginjak 45 tahun. Beda dua tahun dengan Arif yang sudah memasuki usia 47 tahun. Benar kata orang-orang pintar, dalam usia di atas 40 tahun, tubuh manusia sangat rentan diserang berbagai penyakit. Beragam penyakit mudah masuk. Kolesterol tinggi, asam urat, diabetes, darah tinggi, darah rendah, asam lambung, gangguan pernafasan hingga kanker merupakan penyakit-penyakit yang banyak ditemui pada orang-orang yang usianya di atas 40 tahun. Penyakit jantung, gagal ginjal hingga stroke adalah penyakit-penyakit yang sangat ditakuti mereka yang sudah melewati batas umur 40 tahun.
Novi selalu dihantui oleh penyakit-penyakit semacam itu. Jika pusing sedikit, ia sudah takut jangan-jangan kolesterolnya tinggi. Atau jangan-jangan tensi darahnya naik. Jika dadanya berdebar atau terasa nyeri sedikit, Novi merasa khawatir jangan-jangan sudah punya penyakit jantung. Jika kaki atau tangannya kesemutan, ia sudah takut jangan-jangan diserang asam urat. Jika mudah lelah, Novi menjadi takut jangan-jangan kadar gula dalam tubuhnya sudah tinggi. Jangan-jangan sudah terserang diabetes.
Kekhawatiran, ketakutan-ketakutan semacam itu terus-menerus bergelayut di pikiran Novi. Ia menjadi ekstra hati-hati terhadap berbagai macam makanan. Tiap menelan makanan, kekhawatiran muncul. Takut makanan tersebut memunculkan penyakit. Ia menghindari begitu banyak jenis makanan. Ia menjadi rajin searching di internet untuk mencari informasi makanan apa saja yang rentan menimbulkan penyakit yang harus ia hindari.
Novi menjauhi gula karena takut diabetes. Makan nasi dikurangi khawatir kegemukan yang bisa memicu berbagai penyakit. Ia jarang mengonsumsi makanan dan minuman instan karena khawatir menyebabkan kanker. Makanan berlemak ia jauhi karena takut kolesterolnya tinggi.
Ketakutan setiap menyantap makanan menyebabkan Novi tidak bisa menikmati makanan itu. Tiap mau menyantap makanan, bukannya ia bahagia, justru dihantui perasaan takut. Novi tidak pernah happy menyantap makanan dan minuman. Setiap melihat makanan, ia memandangnya sebagai sesuatu akan menggerogoti tubuhnya. Ia takut makanan itu justru merenggut organ-organ di dalam tubuhnya. Makanan dan minuman ditakuti sebagai awal dari pengeroposan kesehatannya.
Tiga tahun sudah Novi dihantui perasaan semacam itu. Tubuhnya semakin melemah, jiwanya semakin rapuh. Arif memendam kekhawatiran yang mendalam terhadap kesehatan istrinya. Novi tidak seperti ketika awal Arif mengenalnya. Novi muda adalah perempuan yang tangguh dan penuh semangat. Kini ia sering mengeluh. Dari Novilah sebenarnya Arif belajar memegang keteguhan hidup. Ia adalah perempuan yang selalu memberi motivasi kepada Arif. Novi selalu menekankan agar Arif sabar dan bangkit ketika suaminya itu jatuh sakit.
“Sakit itu alami, Pa. Tubuh butuh sakit agar bisa istirahat dan merestorasi dirinya,” kata-kata bijak Novi selalu meluncur ketika melihat Arif sakit.
“Sakit itu ujian kesabaran. Kata guru ngaji, sakit itu penebus dosa kalau kita sabar menjalani. Kalau kita ikhlas dengan ujian itu.”
“Sakit itu obat nurani, Pa. Dengan sakit kita lebih banyak punya waktu luang untuk mengenali diri kita. Memeriksa prilaku kita. Sakit menjadikan kita lebih banyak waktu bisa berdoa untuk merawat jiwa kita.”
Ah itulah yang membuat Arif selalu mengagumi Novi. Bukan hanya kecantikannya, tapi juga keteguhan hidup dan kata-kata bijaknya. Itu membuat Arif semakin mencintai Novi. Sepanjang ingatan Arif, istrinya itu memang jarang sakit. Kalaupun sakit, paling-paling flu atau sakit kepala ringan. Tapi Novi jarang bahkan boleh dikatakan tidak pernah minum obat. Kalau sakit kepala atau flu, Novi hanya istirahat, tidur secukupnya. Tanpa keluhan. Setelah itu bangkit lagi, bersemangat lagi.
Sebagai pengajar di sebuah SMA negeri di kota kecil, Novi bagai tak kenal lelah menjalani kehidupan kesehariannya. Ia harus melaksanakan tugas-tugas sebagai guru dan melakoni hidupnya sebagai ibu rumah tangga. Novi harus mengurus empat orang anak dengan segala kenakalannya. Berbagi antar-jemput anak-anaknya ke sekolah dengan Arif. Novi tampak seperti tak punya rasa lelah. Justru Arif sendiri yang kadang-kadang merasa capai melihat aktivitas keseharian istrinya. Keponakan-keponakan Novi sampai-sampai menjuluki tantenya sebagai perempuan tangguh bak batu karang. Selalu tegar dihempas ombak kehidupan.
Namun, kenapa ketangguhan Novi belakangan ini menyusut. Kenapa semangat hidupnya perlahan meredup. Kenapa Novi sering dilanda ketakutan diserang penyakit-penyakit itu. Kenapa dia begitu tercekam dengan ketakutan-ketakutan semacam itu.
Arif merasa sedih. Ke mana keteguhan Novi menghadapi kehidupan ini? Kenapa kini istrinya itu lebih sering gelisah, galau dan panik. Arif mencoba menggali-gali apa yang menyebabkan perubahan pada istrinya. Dulu Novi selalu bilang sakit itu ujian kesabaran, tapi kenapa kini dia takut menghadapinya. Dulu Novi selalu berkata, tubuh butuh sakit agar organ-organnya bisa istrirahat sejenak, tapi kenapa sekarang ia takut penyakit-penyakit itu menghinggapi tubuhnya. Dulu Novi selalu memberi nasihat-nasihat untuk tidak mengkhawatirkan tubuh yang sakit karena akan menjadi obat jiwa, tapi kenapa kini jiwanya terguncang karena takut terserang penyakit.
“Ada apa denganmu, Sayang??” Arif sering bergumam dalam hatinya.
Ingatan Arif kembali ke suatu malam di bulan Juni tiga tahun lalu. Malam yang sendu. Gelap menyelimuti bumi. Lampu remang-remang menyinari kamar Arif. Dini hari, Novi tiba-tiba membangunkan Arif. Nafasnya sesak. Dada Novi nyeri. Novi panik. Arif ikut panik. Ia berusaha menenangkan Novi. Diraihnya tangan istrinya. Ia teringat nasihat yang beredar di WA, jika sesak nafas, pijat bagian telapak tangan sekuat tenaga. Arif memijat telapak tangan Novi sekuat yang ia bisa. Mulut dan hatinya terus berdoa, memohon kepada Allah agar tidak terjadi apa-apa dengan istrinya.
Novi masih terangah-engah, sambil menahan rasa sakit pijatan Arif dan nyeri di dadanya. Arif juga memberikan air hangat kepada Novi untuk diminum. Setelah itu, punggung dan dada Novi diolesi dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa menit, sesak Novi berangsur-angsur berkurang.
Namun, baik Arif maupun Novi merasa sulit memejamkan mata kembali. Pasangan suami-istri itu masing-masing dihinggapi rasa cemas. Jangan-jangan sesak nafas Novi itu merupakan gejala penyakit jantung. Penyakit yang selama ini ditakuti banyak orang.
“Mama takut Pa!!”
“Tenanglah, Ma.” Arif berusaha menasihati istrinya, meskipun ia sendiri merasa cemas. Sangat cemas.
Esoknya, Arif membawa istrinya ke rumah sakit. Novi diperiksa jantung. Dadanya ditempeli alat-alat yang dihubungkan dengan kabel-kabel ke sebuah alat. Setelah itu darahnya disedot, dimasukkan ke botol kecil. Darah itu dibawa laboratorium. Tak cukup itu, beberapa saat kemudian Novi harus di-CT Scan untuk memeriksa paru-parunya.
Ritual pendeteksian penyakit tersebut diawali dengan serangkaian pertanyaan dari dokter. Apa keluhannya? Apa saja aktivitas selama ini? Apa saja yang dimakan dan diminum? Sejak kapan muncul keluhan itu, dan seterusnya.
Arif dan Novi harus menunggu beberapa jam untuk mengetahui hasil pemeriksaan tersebut. Novi terus memandangi Arif dengan raut muka cemas. Arif selalu menenangkannya.
“Tidak apa-apa. Semua normal. Jantung normal. Paru-paru bagus. Hanya kolesterol dan asam urat sudah di ambang batas normal,” kata dokter menyerahkan hasil pemeriksaan kesehatan Novi.
“Mungkin Ibu terlalu capek. Atur waktu istirahat dan rajin-rajinlah olahraga,” kata dokter menjawab pertanyaan Arif soal sesak nafas yang dialami Novi semalam. Arif dan Novi lega. Mereka pulang dengan perasaan nyaman.
Namun, itu tak berlangsung lama. Minggu-minggu berikutnya, Novi lebih sering diserang sesak nafas. Novi kembali cemas. Ia kembali diliputi rasa takut. Serangan sesak nafas terus dialaminya. Novi semakin cemas. Ia semakin takut. Kecemasan dan ketakutan semakin menyiksa hidupnya.
Ia bolak-balik ke dokter. Sudah tiga dokter spesialis jantung didatangi. Dua dokter spesialis paru-paru diminta memeriksa paru-parunya. Semua dokter menyatakan Novi normal. Gejala penyakit jantung tidak ada. Asma juga tidak. Hanya kemampuan bernafas Novi berkurang 25 persen setelah dites dengan spirometer.
“Tapi kenapa saya sering sesak nafas, Dok?”
“Ibu stres saja. Coba jalani hidup lebih rileks.”
Novi merasa heran. Jika dokter bilang semua normal, kenapa justru ia sering sesak nafas? Obat-obatan yang diberikan dokter seakan tidak mempan. Inhaler yang diresepkan dokter hanya kadang-kadang saja berpengaruh. Malam-malam Novi lebih sering bergulat dengan sesak nafasnya. Penyakit lainpun turut menyertai. Novi juga mengidap insomnia. Tiap menjelang tidur Novi mulai gelisah. Rasa takut mendera. Bayangan-bayangan penyakit-penyakit itu berkelebat di matanya. Akhirnya sesak nafasnya muncul. Novi tidak bisa tidur lagi.
Berbulan-bulan, malam-malam semacam itu dialami Novi. Betapa tersiksanya dia. Tubuhnya semakin kurus. Wajahnya pucat dan cekung. Hidupnya benar-benar tiada gairah. Semangatnya bagai lumpuh. Ia merasa telah kehilangan kehidupannya.
“Mama sakit Pa. Mama takut!!”
“Mama bisa sehat, Sayang.”
“Bagaimana caranya Pa. Apa lagi yang harus Mama lakukan?”
“Kuatkan dirimu, Ma. Singkirkan pikiran-pikiran negatif dari diri Mama!” Arif selalu berusaha memberi nasihat di tengah kecemasan akan kesehatan istrinya.
“Mama sudah tidak memikirkan penyakit-penyakit itu, Pa. Tapi kenapa sesak ini selalu datang?”
“Dokter-dokter yang kita datangi semuanya bilang Mama normal. Mama cuma stres. Pikiran Mama yang sakit. Ayo lepaskan penyakit itu dari pikiran Mama. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Pasrahkan kehidupan kita ini kepada Sang Maha Pengatur. Ia akan menjaga kita, Sayang.”
Novi menarik nafas panjang. Ia berusaha merenungi kata-kata suaminya. Arif memandangi Novi, sambil memijat tangan istrinya dengan lembut. Novi terus memandangi suaminya. Hatinya diliputi rasa takut.
Ketakutan Novi memuncak. Badannya lemas. Tensi darahnya menurun drastis. Ia ambruk. Sesaat menjelang pergantian hari, di malam itu, Novi dilarikan ke UGD. Dokter langsung melakukan pemeriksaan dan tindakan. Novi harus dirawat inap di rumah sakit. Esok siangnya, kondisi baru agak membaik. Anak-anaknya menungguinya dengan cemas. Kerabat dan teman-temannya mengunjungi Novi dengan rasa prihatin. Arif lebih cemas lagi. Ia berusaha selalu dekat istrinya. Sebab, Novi bukan sekadar sakit secara fisik, tetapi depresi.
“Mama takut, Pa.”
“Apa lagi yang Mama takutkan?”
“Mama sudah tua, Pa.”
“Kita semua akan menjadi tua, Ma. Itu tidak bisa ditolak. Tapi itu tidak perlu ditakuti.”
“Tapi Mama sakit, Pa. Bagaimana kalau Mama mati?”
“Kita semua pasti menuju ke sana, Sayang. Allah yang punya hak menentukan itu. Allah yang menentukan waktunya, tidak bisa lebih atau kurang. Tak bisa diundur atau dimajukan. Kenapa harus ditakutkan?”
“Mama takut kehilangan cinta Papa.”
“Cinta Papa takkan pernah hilang, Sayang. Tidak akan!!”
“Sungguh, Pa?”
“Sungguh, Sayang. Cinta Papa tidak seperti tubuh ini, yang bisa menua. Cinta Papa pada Mama tak akan pernah menua. Tubuh boleh saja tiada, tapi cinta Papa akan selalu ada untuk Mama.”
“Cinta kita tak akan terhapus oleh sebuah kematian, Sayang. Cinta itu abadi, Ma. Tidak seperti kehidupan ini, yang fana, yang serba sementara.”
“Papa tidak takut kehilangan Mama?”
“Engkau tidak akan pernah hilang, Sayang. Kita akan terus bersama-sama.”
“Papa tidak sedih melihat Mama sakit?”
“Sedih tentu, Sayang. Tapi apakah Papa harus sedih ketika melihat orang yang Papa cintai sedang disayang-sayang Sang Pemilik Kehidupan?”
“Memang Allah sedang menyayangi Mama, ya Pa?”
“Allah menyayangi kita ketika kita diberi sakit. Allah ingin kita lebih banyak mengingat-Nya. Adakah yang lebih kita rindukan selain disayangi Allah?”
Novi menatap mata Arif. Hatinya teduh.
“Sakit yang kita derita adalah tanda cinta Allah kepada kita agar kita tidak melupakan-Nya. Adakah yang lebih kita inginkan selain dicintai-Nya?”
“Sakit itu cara Allah menyayangi orang-orang kesayangan-Nya. Allah memberi sakit kepada Mama, karena Allah menyayangi Mama.”
Novi tersenyum. Hatinya terharu dan lega. Matanya basah oleh butir-butir kristal bening. Dadanya longgar. Sesak nafasnya berangsur berkurang. Sesaat kemudian ia tertidur dengan nyaman di zal rumah sakit itu. [T]
Catatan:
- Cerpen ini dimuat pada buku kumpulan cerpen “Foto Bupati di Kamar Pelacur” (Mahima Instituite Indonesia, 2020)
_____