Bayangkanlah anda menonton film, dimana aktornya adalah diri anda sendiri, yang terjebak sebagai karakter dan tak mampu keluar dari perjalanan yang mendalam, yang mengejutkan, yang penuh guncangan, lalu tiba-tiba anda merasa, diri anda yang dulu bukan lagi diri anda yang kini, dan diri anda yang kini, belum juga jadi, sehingga dalam proses restorasi itu, barangkali, anda tidak percaya diri melihat diri anda yang dulu dan kini, apalagi membayangkan nanti. Barangkali begitulah proses terbentuknya imagery dalam konteks membaca buku ini.
Begitu membuka buku Deep Inner Journey ini saya membaca beberapa rentetan ‘puisi panjang’ yang dalam imajinasi saya adalah percakapan spiritual antara yang masih ada dan yang ‘sudah tiada’ seperti ini
Pa, ijaa ya jani Bapa ngayah apang mekenyem uli kedituan
Ba mebukti tresnan Bapane kin panak mantu cucu kumpi merupa ani sing meadan apang ning Bapa manunggal. Sing taen icing ngaenang Bapa teh kupi batek alebengan sambel sing taen Bapa ngidiin icing men kengken abet icange yen sing sekancan munyin Bapane isinin icing apang nuduk tutur dadi payuk prumpung misi berem…
Pembuka ini menurut dugaan saya diniatkan sebagai sebuah penanda alam masuk ke dunia Jero Jemiwi. Dunia yang mana, dunia yang berakar pada bahasa, pada sebuah rasa, pada sebuah pengalaman puitika.
Saya sangat terharu membaca puisi ini. Sebab saya teringat Bapak saya yang sudah tiada. Terbayang percakapan ini seperti mewakili perasaan saya, meskipun tidak utuh. Bahasa, selalu membawa kita pada konteks, pada sebuah imaji, kepada sebuah representasi visual dari perasaan-perasaan. Itulah mengapa dalam konteks puisi dikenal salah sebuah gaya ungkap bernama imagery.
Dalam buku Sound and Sense: An Introduction to Poetry karya Laurence Perrine disebutkan bahwa imagery adalah perwujudan pengalaman panca indera melalui bahasa. Rasa yang dialami, rasa yang dimaknai, rasa yang dituangkan dalam bahasa, itulah imagery. Rasa itu muncul bisa melalui pengalaman visual, pengalaman sentuhan, pengalaman mendengar, pengalaman membaui, dan atau pengalaman mencicipi. Bagaimana kita menuangkannya, dan pilihan apa bahasa yang kita gunakan, kadang melahirkan bentuk-bentuk puisi yang indah.
Buku Deep Inner Journey ini sesungguhnya bukan buku puisi. Bukan pula semata prosa. Di bagian cover tertera bahwa buku ini adalah sebentuk biomini-biografi singkat-yang tidak terlalu singkat juga. Tapi bagi saya, buku ini seperti puisi yang panjang. Puisi membawa metafora-metafora, memiliki makna yang mewakili makna lain, membentuk simbol-simbol yang melahirkan lagi interpretasi-interpretasi. Bagaimana, mengapa, apa.
Demikianlah itu terjadi. Yang menggenapkan pertanyaan kita adalah bahwa pertanyaan lain tak akan selesai. Dan bahwa tidak ada kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran, yang hanya bisa diverifikasi setelah ada kebenaran tandingannya. Setidaknya menurut verification theory dalam filsafat bahasa, bahwa sebuah pengetahuan hanya dapat dikatakan benar sementara sebelum kebenaran lain dapat diverifikasi sebagai ‘benar versi terbaru’.
Kembali ke buku ini, saya merasakan pengaruh puisi yang sangat kuat, terutama unsur imagery yang dalam. Image bisa berupa visual, tapi bukan sekadar itu, visual yang punya jiwa. Seperti daya ungkap puisi pembuka di atas, bahasa yang dipakai membawa imajinasi kita pada sebuah tempat yang sangat spesifik, yang sangat unik, yang melahirkan bahasa itu sendiri. Bahasa sendiri tidak serta merta lahir, namun ada sebuah kesepakatan budaya yang melahirkannya. Di dalam buku ini, bahasa sangatlah spesifik, sangatlah otentik. Meskipun secara umum dapat dipahami bahwa ungkapan yang digunakan adalah bahasa Bali, tapi bahasa Bali daerah apa, itulah yang menyeret kita pada dunia Jero Jemiwi, dunia Batur dan ke’Batur’annya.
Kehadiran pembuka ini tanpa disertai terjemahan, yang memang jika diterjemahkan, akan hilang rasa bahasanya. Jangankan menerjemahkan ke bahasa asing seperti bahasa Inggris, ke bahasa Indonesia saja sulit. Barangkali itu mengapa tidak disediakan terjemahannya. Karena rasanya tak akan pernah sama.
Pembuka puitis ini telah menjembatani dunia kita dengan dunia Jero Jemiwi. Lalu tibalah kita pada jendela lain, yaitu pengantar dari Coach Alkha soal restorasi diri. Bahwa lebih dari semua, perjalanan diri harus dimulai ketika kita mulai berdamai dengan semua kegelapan diri. Bahwa disanalah terbit restorasi diri. Disanalah terbit kesejatian diri. Sedangkan pembuka dari Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., mengatakan bahwa Jero Jemiwi telah berhasil mengatasi krisis ilmu pengetahuan abad dua puluh yang mengedepankan kemudahan materi namun merapuhkan jiwa. Sedang Jero Jemiwi telah mampu menarik energi semesta dan energi diri untuk menciptakan kasih. Bagaimana perjalanan diri itu terjadi?
Masuklah kita kemudian pada flashback kisah perjalanan Jero Jemiwi. Flashback itu dimulai di tahun 2007, di Bandara Ngurah Rai. Ketika Jero Jemiwi pulang ke Bali, setelah lama terbang dengan kekosongan hati. Imagery pun dimulai. Rasa yang dibawa muncul satu persatu dibawa oleh serpihan-serpihan visual. Lalu kisah dimulai perlahan. Kisah Jero Jemiwi sejak dilahirkan, tumbuh dalam budaya tata krama peradaban kuna di Batur. Ia lahir sebagai Luh Kamini, namun ia sering sakit-sakitan hingga suatu saat diperkirakan akan meninggal dunia, lalu Ibunya, Me Luh berkaul (berjanji) akan menjadi warga Desa Kawuh, desa suaminya. Lalu berangsur Kamini sadar dari tidur yang ganjil itu.
Untuk mencegah sakit-sakit yang terus beruntun, namanya juga diubah menjadi Jemiwi, lengkapnya Ni Wayan Jemiwi. Di usia 8 tahun, Jemiwi kecil telah terpilih menjadi Jero Mangku Istri melalui prosesi nyanjan di Pura Alas Arum. Nyanjan adalah prosesi sakral yang melibatkan para Perwalen atau Daratan, mereka yang terpilih untuk menerima pesan dan menyampaikan pesan suci dari kahyangan kepada manusia. Para Perwalen ini melakukan tugas penunjukan Jero Mangku secara spiritual. Jero Jemiwi pun terpilih. Dan hidupnya berubah sejak itu. Ia harus mengikuti serangkaian upacara-upacara, mulai dari pemadegan dimana rambutnya harus digundul habis hingga upawasa atau pengasingan diri selama 1 bulan 7 hari. Kesehatannya membaik dan ekonomi keluarga membaik.
Namun satu hal yang sangat memilukan terjadi ketika Jero Jemiwi berusia kira-kira 10 tahun, sebuah kenyataan bahwa ia menyaksikan ayahnya meninggal di depan matanya sendiri karena dikeroyok segerombolan orang yang belakangan diketahui masih hitungan keluarga. Ia tak mampu memahami benar mengapa semua itu terjadi. Trauma itu membekas dalam ingatannya. Sehingga ia bertekad ingin menjadi mandiri secara ekonomi, hingga bisa kuat dan memiliki pengaruh. Iapun bekerja dan menimba pengalaman sebagai pramugari, sebagai hotelier, sebagai pembaca acara, sebagai pengusaha properti dan sebagainya, namun ia merasa kosong. Ternyata ada hal-hal yang tak dapat digenapkan hanya dengan uang, melainkan oleh jiwa.
Jero Jemiwi pun mencoba belajar filsafat agama hingga jenjang doctoral. Namun itupun tak dapat menenangkan dirinya. Ia merasa semakin dalam semakin tak memahami diri sekaligus bertanya mengapa agama menjadi asing. Disanalah ia memutuskan kembali pulang, kembali pada dirinya.
Apa yang ada di dalam diri seorang Jero Jemiwi?
Ternyata yang tersisa dalam diri ketika semua pergi adalah ingatan rasa. Pada satu titik ketika ia menjadi pramugari di Dubai, Jero Jemiwi sempat mengalami pingsan yang aneh, ambang hidup dan mati. Ibunya di Batur seperti mendapat firasat, lalu naluri Ibu menuntunnya untuk memohon pengampunan di Pura Tirta Taman. Secara ajaib doa seorang Ibu didengar, Jero terkoneksi membayangkan tirta atau air suci yang bersumber dari Pura Tirta Taman hingga ia bisa sadar kembali, dapat selamat dari maut.
Kejadian berikutnya beberapa bulan kemudian, pesawatnya mengalami engine failure sesaat sebelum take-off, dimana pesawat hanya punya dua pilihan, tetap terbang meledak atau menabrakkan diri ke landasan, saat itu seisi pesawat telah pasrah, dan Jero Jemiwi mengingat lagi Pura Tirta Taman, lalu berjanji dalam hati jika selamat, akan pulang. Ajaib lagi, pesawat bisa terkendali dengan aman. Ia pun memutuskan kembali ke rumah. Kembali ke diri. Sejauh-jauhnya diri pergi, ia harus kembali pada diri yang sejati. Apakah diri yang sejati itu? Kita akan menyimak konsep self-culture secara bertahap.
Menurut John Cowper Powys, dalam tulisan Marian Popova (themarginalian.org) kebudayaan adalah sesuatu yang tertinggal ketika semua pengetahuan yang pernah dipelajari terpinggirkan. Ternyata dalam konteks self-culture, budaya yang tumbuh dalam diri, atau diri yang berbudaya, kita semua terbentuk dari rangkaian rasa atau budaya yang pernah terjadi dalam diri kita. Tubuh dan jiwa kita merespon budaya yang melahirkan kita, membuat ingatan rasa, dan menyimpannya lalu memproduksi respon balikan. Diri terbentuk dari ingatan soal semua rasa itu. Yang menjadi self-culture adalah penyikapan kita terhadap semua rasa itu. Disinilah kemudian tumbuh self-culture dalam imagery tradisi Batur kuna yang kental dalam tubuh dan jiwa Jero Jemiwi.
Dalam konsepsi Powys, disebutkan bahwa pada kenyatannya, pendidikan sejati adalah ketika dia mampu menjangkau sesuatu yang lebih luas dari pendidikan itu sendiri, sedangkan budaya disebut sebagai budaya nyata ketika ia telah menyatu dengan akarnya dan menjadi sebuah cara untuk bertahan hidup. Maka diri sebagai budaya atau self-culture adalah sebuah cara diri bertahan dengan akarnya, sebuah budaya yang membentuk diri sebagai insan rasional sekaligus spiritual. Diri adalah sebuah rumah budaya, yang dilengkapi rasa dan intuisi, rasio dan spirit.
Dalam buku ini, kita diajak menyelami Jero Jemiwi self-culture yang kental sebagai anak yang berakar pada peradaban kuna Batur, dan tak dapat lepas dari sana. Imagery Batur yang kental yang disentuh dengan panca indera dan digenapkan dengan rasio juga pengalaman akademis menumbuhkan Jero Jemiwi sebagai pelayan umat yang memiliki kelembutan hati.
Di tahap akhir, muncullah sebuah sikap mulat sarira, yang menjadi kekuatan dasar untuk mencintai diri sendiri tanpa batas untuk kemudian menumbuhkan empati dan mencintai orang lain tanpa syarat. Akhirnya dengan mulat sarira, kita kembali pada diri yang paling sejati, menemukan kekuatan diri yang paling matang, dan tak takut lagi pada apapun, karena bersumber pada kelembutan hati.
Mulat sarira adalah menengok ke dalam jiwa yang terdalam, agar segala yang gelap menjadi terang dengan keikhlasan menerima segala kelemahan diri, bersahabat dengannya dan bertumbuh darinya. Lalu pertanyaannya kemudian, dimana saya, diri saya dalam proses pembacaan buku ini? Kehadiran saya dan diri saya, sebagai diri-budaya adalah ketika saya menemukan tautan kehadiran secara emosional pada beberapa peristiwa yang dialami atau dihadapi Jero Jemiwi.
Diri saya hadir sebagai diri yang penuh empati karena mampu merasakan apa yang tertulis dan hadir di buku ini. Barangkali pula karena saya juga kehilangan Bapak, sama dengan Jero Jemiwi, meskipun cara kehilangan kami berbeda, cara berdamai dengan kehilangan juga berbeda tetapi benang merah kami sama. Momen kehilangan itu membawa saya menelisik diri lebih dalam, mulat sarira, dan akhirnya tiba pada jejak-jejak mindfulness, sebuah jejak rasio dan spiritual yang secara natural tumbuh berbarengan dengan kerangka pikir akademis saya.
Mindfulness adalah sebuah jalan menuju diri yang belajar, dan terus tumbuh. Ada empat jejak mindfulness menurut Langer (2016) yang bertumbuh dalam diri saya, pertama melihat sesuatu dari perspektif berbeda, kedua menemukan hal yang baru, ketiga mengakar pada konteks, dan terakhir membentuk sebuah pengetahuan baru. Mindfulness adalah sebuah cara tunduk pada hal baru dengan menumbuhkan empati dari dalam.
Mulat sarira dan mindfulness dalam buku ini hadir sebagai bentuk empati pada kisah seseorang yang akhirnya dari empati itu akan muncul kasih, kelembutan hati yang dapat menaklukkan segala bentuk kekerasan. Dengan merasakan empati, jiwa kita berkomunikasi, sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada sebuah hubungan baru, komunikasi baru, impian baru, dan harapan baru.
Hal-hal menarik yang juga saya catat dari buku ini adalah perspektif perempuan yang bertutur secara teratur. Buku ini ditulis dengan hati-hati oleh Cok Sawitri, yang kita sadari kehadirannya bukan sekedar meminjam cerita namun mengambil sudut omniscient point of view, sebagai perspektif yang ‘maha tahu’ sebagai representasi karakter yang nyaris utuh sebagai ‘dalam’ dan ‘luar’. Tokoh lain yang sangat kuat adalah Me Ayan, atau Me Iluh, atau Me Kadan, yang berevolusi baik secara nama maupun secara psikologis dan spiritual, seorang Ibu dari Jero Jemiwi yang membersamai langkah Jero Jemiwi sejak lahir.
Lalu hal lain yang ingin disuarakan adalah pendekatan agama tradisi Batur kuna, yang sangat bernuansa eko-feminis, dimana air yang mengalir di Batur adalah manifestasi Btari Danu, yang menjaga semua spirit alam dan keseimbangan di Batur. Dan bukan secara kebetulan pula bahwa air yang mengalir adalah imagery simbol diri yang mengalir, menumbuhkan, melahirkan, dan memelihara sekaligus melepaskan pada saat yang tepat. Bahwa keseluruhan penceritaan dirangkai dari perspektif eko-feminisme dimana alam adalah kekuatan ibu yang mengasuh dan menumbuhkan sikap kelembutan dan kecerdasan spiritual.
Akhirnya dalam buku ini yang barangkali patut digenapi adalah catatan pada kehadiran banyaknya foto-foto dokumentasi peristiwa, dokumentasi upacara, dokumentasi rasa, dan dokumentasi ingatan, yang barangkali melahirkan pengetahuan baru lagi sebab semua foto idealnya mengandung penjelasan rinci secara bahasa dan rasa, juga penanda waktu.[T]