Dalem Dukut berhasil mengalahkan raja Dalem Sawang yang sakti mandraguna dengan sebilah keris bernama Pencok Sahang. Konon, keris pemberian Batara Tohlangkir ini sesungguhnya ialah taring Naga Basuki. Keris inilah yang sukses mengawali Dalem Dukut naik menjadi raja dan sekaligus mengakhiri kariernya sebagai raja di Nusa.
Sebelum berkuasa di Nusa Penida (NP), Dalem Dukut adalah utusan (ksatria) dari Batara Tohlangkir. Kelahirannya tergolong absurd. Ia lahir dari rumput kasna hasil yoga-semadi Batara Tohlangkir.
Selanjutnya, Dalem Dukut diutus ke Nusa. Misinya ialah untuk menghentikan sepak terjang raja Dalem Sawang yang zolim dan sekaligus mengambil alih kekuasaan di Nusa (menjadi raja). Namun, proses mengamankan dan mengambil alih kekuasaan ini tergolong penuh liku.
Dalem Dukut harus menjalani proses duel perang tanding yang sangat melelahkan. Keris Ratna Kencana yang ditusukkannya ke dada Dalem Sawang tak membuahkan hasil. Dalem Sawang yang kebal dari segala jenis senjata buatan Pande ini hanya tertawa terbahak-bahak. Keris Ratna Kencana itu tak mampu melukai tubuh Dalem Sawang. Justru patah menjadi dua bagian.
Kondisi tersebut membuat Dalem Dukut menjadi frustasi. Ia hampir bertekuk lutut di hadapan Dalem Sawang. Syukurnya, Batara Tohlangkir tetap mengontrol posisi Dalem Dukut dari kejauhan. Kemudian, Tohlangkir mengirim istri Dalem Dukut untuk membawa keris Pencok Sahang ke Nusa.
Menurut babad Nusa Penida yang ditulis Mangku Buda (2007), keris Pencok Sahang inilah yang membuat Dalem Sawang takut dan gemetar. Keris berbentuk paruh burung garuda ini akhirnya membuat Dalem Sawang bertekuk lutut kepada Dalem Dukut.
Keris Pencok Sahang mengakhiri kuasa sakti Dalem Sawang dan sekaligus kuasa pemerintahannya. Sebaliknya, mengantarkan Dalem Dukut keluar sebagai pemenang dan melenggang naik menjadi raja di NP.
Keris Pencok Sahang menyebabkan kekuasaan berpindah ke tangan Dalem Dukut. Ia berkuasa entah berapa lama. Dalam mitologi, tidak diceritakan usia pemerintahanya di Nusa. Mangku Buda hanya menulis bahwa Dalem Dukut diperkirakan moksa pada tahun Saka 260. Sementara itu, beberapa mitos menyinggung sedikit tentang pemerintahan Dalem Dukut yang membawa kenyaman, ketetraman dan kesejahteraan bagi masyarakat Nusa.
Sayangnya, pada masa pemerintahan Dalem Dukut muncul misi penyatuan antara Bali dengan Nusa oleh Dalem Klungkung. Gaguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem, milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem 21 Juni 2007 menyebutnya masa pemerintahan Dewa Enggong/Dalem Waturenggong. Tujuannya untuk membangun hubungan yang lebih produktif antara rakyat Bali dengan rakyat Nusa.
Untuk mewujudkan misi tersebut, Dalem Klungkung mengutus Ngurah Peminggir ke Nusa. Misi Dalem Klungkung gagal karena Paminggir menggunakan metode kekerasan. Pasukan Paminggir kocar-kacir. Selanjutnya, diutuslah I Gusti Ngurah Jelantik Bogol dengan strategi yang berbeda. Etis dan sesuai tata krama seorang utusan raja. Dari sinilah cerita keris Pencok Sahang terulang kembali.
Tiruan Cerita
Ketika menjalankan tugasnya, Ngurah Jelantik berangkat ke Nusa bersama sejumlah pasukan serta didampingi oleh istrinya yang bernama Ni Gusti Ayu Kaler. Kedatangan Ngurah Jelantik disambut baik oleh raja Dalem Dukut. Namun, bukan berarti Dalem Dukut tunduk dengan Ngurah Jelantik.
Misi penyatuan harus dilalui dengan perang tanding (kesaktian) secara ksatria. Ngurah Jelantik dan Dalem Dukut harus bertanding secara jantan, tanpa melibatkan pasukan atau orang lain. Jelantik menggunakan keris Ganja Malela (pemberian kerajaan) untuk mengalahkan Dalem Dukut yang sakti mandraguna.
Namun, nasib keris Ganja Malela sama seperti keris Ratna Kencana. Bukannya dapat melukai tubuh Dalem Dukut, melainkan patah menjadi dua bagian. Kemudian berkatalah Dalem Dukut: “Pawuwusé Dalem Nusa sada banban, Jlantik Bogol kemo mulih, twara ñidayang, ngepét pati Dalem Nusa, gustin cahi tundén mahi, mañentokang, nira pacang mangarepin” (Pupuh Durma dalam Gaguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem, I milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem; 2007).
Dalem Dukut bersabda dengan halus: “Wahai, Jelantik Bogol, pulanglah! Kamu tidak akan mampu membunuh saya. Silakan suruh rajamu datang ke sini untuk mengadu kekuatan! Aku akan menghadapinya.”
Keadaan ini membuat Ngurah Jelantik frustasi. Ia merasa hina, rendah diri dan ingin mati. Hampir saja Jelantik menyerah kalah kepada Dalem Dukut. Ni Gusti Ayu Kaler (istrinya) sangat sedih melihat kondisi suaminya. Kemudian, ia memberikan senjata kepada suaminya.
“Gusti Ayu raris nyagjag, sampunang beli ajerih, titiang ngaturang pusaka, anggen beli nyaya satru, I Gusti Ngurah nanggapa, metu jati, bayu ageng tan pasesa.” (Prasasti Jeroan Sompang—Kerthayasa, I Gusti Made–Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut, Ped, Nusa Penida, 19 Februari 2003, dalam bentuk Pupuh Ginada). Artinya, Gusti Ayu lalu datang, kakanda jangan takut, saya memberikan kakanda pusaka, untuk digunakan membunuh musuh, I Gusti Ngurah menerima, benar-benar muncul kekuatan tenaga yang luar biasa.
Konon, keris itu diperoleh Ayu Kaler di Sungai Unda. Ketika sedang mandi, ada sepotong kayu (sahang) menabrak tubuh Ayu Kaler. Ia melempar kayu itu sebanyak tiga kali. Anehnya, kayu itu datang lagi dan mendekati Ayu Kaler.
Akhirnya, Ayu Kaler membawanya pulang. Setelah dibelah di rumah, ternyata di dalamnya ditemukan sebilah keris yang belum jadi, menyerupai taring yang tumpul. Keris inilah yang disebut keris Pencok Sahang.
Keris Pencok Sahang inilah yang menyebabkan Dalem Dukut menghentikan perang tanding dengan Jelantik. Dalem Dukut sangat mengenal pusaka itu. Ia tahu bahwa pusaka itu adalah taring Naga Basuki. Senjata yang akan mengantarkannya ke sunia loka (nirwana). Dalem Dukut mengaku kalah dan menyerahkan segala kekayaan Nusa beserta bala wong samarnya untuk mendukung Dalem Klungkung.
Keris Pencok Sahang, “Kekuatan Dharma” dan Pusaka Diplomasi
Kisah keris Pencok Sahang yang dialami oleh Dalem Sawang dan Dalem Dukut sangat mirip. Bahkan, dapat dikatakan seperti fotokofian. Dalem Dukut mengakhiri kekuasaan Dalem Sawang dengan keris Pencok Sahang. Begitu juga Dalem Dukut. Ia dilengserkan oleh Gusti Ngurah Jelantik Bogol oleh pusaka yang sama yakni keris Pencok Sahang.
Apakah kejadian ini termasuk kasus senjata makan tuan? Apakah Jelantik Bogol menggunakan keris Pencok Sahang yang digunakan Dalem Dukut ketika melengserkan Dalem Sawang?
Jika dari namanya, sama persis. Bentuk dan bahannya juga sama. Keris Pencok Sahang. Berbentuk paruh burung. Restu dari Tohlangkir. Hakikinya juga sama yakni taring Naga Basuki. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita utak-atik keris Pencok Sahang pemberian Tohlangkir kepada Dalem Dukut sebelumnya.
Kemana keris itu setelah Dalem Dukut mengalahkan Dalem Sawang? Di mana disimpan selama berkuasa menjadi raja di Nusa? Saya belum mendapatkan jejak kisah yang menghubungkan Dalem Dukut dengan Pencok Sahang pasca mengalahkan Dalem Sawang.
Tiba-tiba muncul Pencok Sahang pada zaman dan dengan tokoh yang berbeda. Namun, kisahnya hampir sama. Keris itu digunakan untuk menaklukkan raja Nusa lewat perang tanding (duel). Kemudian, raja Nusa disebutkan sangat sulit dikalahkan dengan segala jenis senjata. Buntutnya, baru dapat dikalahkan dengan keris Pencok Sahang.
Kesamaan lainnya, kedua cerita ini melibatkan “perempuan” (istri) dalam pertarungan. Dalem Dukut dibawakan keris oleh istrinya. Sedangkan, Jelantik memang sejak awal didampingi sang istri pergi ke Nusa.
Fenomena-fenomena yang menyertainya membuat kisah keris Pencok Sahang menarik untuk diperdebatkan. Apalagi, dua raja Nusa yang sakti mandraguna (yang anti senjata) tidak berdaya di hadapan pusaka ini. Keduanya harus takluk. Wah, bisa dibayangkan betapa hebatnya keris Pencok Sahang itu! Saktinya pasti setingkat dewa. Ya, karena keris itu konon adalah taring Naga Basuki, pemberian Dewa Tohlangkir.
Jangankan ditancapkan, melihat saja raja Nusa langsung membayangkan sunia loka (kematian, kekalahan). Kekuatan apa kiranya yang tersimpan pada keris Pencok Sahang? Di samping abstrak dan terlalu purba, pertanyaan ini juga terkesan mengada-ada. Apalagi ditanyakan dalam kondisi sekarang. Namun, menurut saya keris Pencok Sahang memiliki “kekuatan dharma” yang luar biasa.
Coba perhatikan cerita Dalem Sawang. Sangat kentara bau adharmanya, bukan? Dalem Sawang digambarkan sebagai raja yang mabuk diri. Ia merasa super power (berkuasa, sakti dan tak terkalahkan). Rasa inilah yang mungkin membuat ia kalap atau lupa diri. Ya, ujung-ujungnya berbuat semena-semana—melenceng dari jalur dharma.
Namun, sesakti-saktinya orang toh ada masa runtuhnya. Orang Bali percaya bahwa kebenaran pasti menang (satyam eva jayate). Spirit inilah yang mungkin hendak dirayakan dalam setiap perayaan Hari Raya Galungan itu—dengan simbol penjor yang konon melambangkan sosok Naga Basuki. Pada lengkung penjor itu mungkin tersembunyi spirit yang sublim bahwa setinggi-tingginya orang toh akhirnya akan menunggu jatuh ke bawah (menuai masa kalah).
Keris Pencok Sahang membuktikan kasus tersebut. Keris Pencok Sahang adalah simbol “kala runtuh”. Waktu jatuhnya arogansi adharma. Patahnya keris Ratna Kencana dan Ganja Malelo merupakan ujian ketinggian (kesaktian) raja Nusa. Betapa kedua raja Nusa tak terkalahkan. Akan tetapi, usia arogansi kesaktian ini akhirnya rontok juga oleh waktu.
Lalu, bagaimana dengan kasus Dalem Dukut? Bukankan beliau dikenal sebagai raja yang arif, bijaksana dan membawa kesejahteraan? Jika membaca Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut karya I Gusti Made Kerthayasa, 2003, terjadi penyelewengan pada masa pemerintahan Dalem Dukut. Hal ini yang menyebabkan Dalem Klungkung mengutus Ngurah Jelantik Bogol.
Dalam geguritan itu ditulis sebagai berikut: “Sampun suwe ne kalintang, rajas tamase mamurti, momo kalawan angkara, matunggalan pada metu, akrodane ngewasayang, peteng jati, sang patut sampun ngulayang”. Artinya, setelah lama berlalu (memerintah), muncul sifat tamak (Dalem Dukut maksudnya), loba dan angkara, bersama-sama muncul, dikuasai amarah, gelap gulita, kebenaran itu sudah melayang.
Jika fakta geguritan ini benar, maka kasusnya tidak jauh berbeda dengan yang dialami Dalem Sawang. Keris Pencok Sahang hanya mengulang sejarah kezoliman raja Nusa dan sekaligus membuktikan kemenangan dharma melawan adharma.
Bagaimana jika Dalem Dukut memerintah dengan baik, tanpa penyelewengan? Apakah ketaklukkan raja Dalem Dukut kepada Jelantik Bogol dapat dimasukan ke dalam kasus dharma melawan adharma? Padahal, posisi keris Pencok Sahang berada pada posisi ekpansi (memaksa tunduk).
Dalam konteks inilah, konsep dharma (kebenaran) menjadi cukup bias. Sebagai raja, Dalem Dukut berkewajiban mempertahankan daerah kekuasaannya. Sementara, sebagai utusan raja, Jelantik berkewajiban menaklukkan Dalem Dukut. Keduanya sama-sama benar. Lalu, mengapa keris Pencok Sahang hanya ada di pihak Jelantik?
Pada kasus tersebut, pantas kita mempertanyakan kemurnian dharma yang direpresentasikan oleh keris Pencok Sahang. Jangan-jangan ia dipinjam sebagai alat monopoli untuk melegalisasikan dharma seperti yang menimpa Dalam Sawang. Semuanya masih misterius. Sama misteriusnya dengan eksistensi keris Pencok Sahang tersebut.
Selain sebagai representasi kekuatan dharma, saya mencurigai bahwa keris Pencok Sahang adalah “pusaka diplomasi”. Mungkin bukan berwujud senjata fisik, melainkan senjata lidah dan otak (pikiran). Dugaan ini dikuatkan oleh beberapa fakta peristiwa dalam cerita. Misalnya, perang tidak melibatkan pasukan, didahului dengan perang menggunakan senjata sungguhan, melibatkan perempuan (istri) dan muncul keris Pencok Sahang.
Peristiwa tersebut dapat ditafsirkan begini. Perang diplomasi memang tidak membutuhkan prajurit atau pasukan. Ia membutuhkan seorang diplomat yang andal. Kemudian, seringkali metode diplomasi muncul belakangan ketika cara kekerasan menuai jalan buntu. Peristiwa patahnya keris Ratna Kencana dan Ganja Malelo merupakan simbol bahwa terjadi perang fisik (kekerasan) terlebih dahulu.
Lalu, apa hubungan diplomasi dengan peran seorang perempuan (istri) pada cerita? Perempuan mungkin identik dengan karakter lemah lembut, cinta kasih dan tidak suka kekerasan. Bukankah diplomasi adalah jalan perdamaian yang penuh kelembutan? Karena itulah, ketika Dalem Dukut dan Ngurah Jelantik (sebagai utusan) hampir takluk di depan raja Nusa, muncullah seorang perempuan (istri) membawakan/ memberikan keris Pencok Sahang. Keris itu tidak tajam. Kecil. Digambarkan seperti paruh burung dan ditemukan di dalam sebatang kayu bakar.
Selanjutnya, pada keris Pencok Sahang inilah raja Nusa dikatakan membayangkan sunia loka (nirwana). Bisa jadi sunia loka ini maksudnya jalan perdamaian. Artinya, senjata Pencok Sahang sesungguhnya “pusaka diplomasi”. Di dalamnya ada taktik halus, penuh cinta kasih, humanis dan mendamaikan—tetapi meruntuhkan.[T]