Suatu hari saya bertemu dua anak, kakak-beradik, di wilayah Kabupaten Buleleng. Satu anak usianya 6 tahun, satu lagi 4 tahun. Mereka terinfeksi HIV. Dan betapa sedih saya melihatnya saat itu.
Di situ saya merasa begitu merasakan betapa si anak harus menerima status HIV dari perbuatan orang tuanya. Sungguh sangatlah tidak adil, apalagi usia mereka masih anak-anak, dan sedang ceria-cerianya menikmati permainan masa kecil.
Saya kerap mengajak dua anak itu bermain. Si anak tampak tanpa beban, tak paham apa yang sedang bersemayam di tubuh mereka. Itu membuat saya makin sedih. Dan yang lebih menyedihkan lagi, saat seharusnya si anak bisa menjalani harinya dengan ceria, justru hidupnya berakhir karena pada saat itu akses untuk melakukan pengobatan belum seperti saat ini, apalagi untuk seorang anak seusia mereka.
Itu adalah pengalaman pertama saya sejak menjadi aktivis pendampingan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) di Buleleng. Pengalaman itu sangat membekas. Tidak membuat saya kapok, justru membuat saya semakin yakin bahwa apa yang saya kerjakan selama ini bukanlah pekerjaan sia-sia. Ada orang tak mampu mengungkapkan betapa ia memerlukan bantuan, dan orang itu memang harus dibantu.
Awal Mula Jadi Aktivis HIV/AIDS
Agustus 1998, saya bergabung dengan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) setelah ikut melakukan kegiatan sosialisasi HIV/AIDS di Lovina. Saat itu saya merasa tertarik untuk ikut terlibat. Alasannya sederhana saat pelaksanaan kegiatan di lapangan saya bisa bertemu dengan teman-teman baru. Selain itu saya merasa tertantang saja untuk ikut mensosialisasikan bahaya HIV.
Pekerjaan saya saat itu membagikan kondom. Itu menyenangkan.
Setelah terlibat dalam kegiatan sosialisasi, saya kemudian mengikuti kegiatan pelatihan Relawan HIV di tahun yang sama. Dalam pelatihan itu saya diberikan pembekalan pemahaman dan keterampilan serta starategi untuk melakukan kegiatan penyebaran informasi di kalangan remaja yang memiliki resiko terhadap penularan HIV.
Setahun mendapatkan pelatihan sebagai relawan kemudian dilibatkan dalam program untuk melakukan kegiatan penjangkauan dan pendampingan pada kelompok-kelompok beresiko seperti kawan-kawan di komunitas gay/waria, para remaja beresiko yang sering berada di jalanan, warung-warung patokan dan kawan-kawan di lokasi prostitusi.
Di berjalannya program-program itu saya dipercaya sebagai Koordinator Pos atau Drop in Centre bernama POLENG (Pos Informasi AIDS Buleleng) yang berlokasi di Jalan Gajah Mada Singaraja.
Dalam pelaksanaan kegiatan sebagai koordinator pos informasi saya memiliki kewajiban untuk memberikan informasi di pos dengan tetap melakukan kegiatan penjangkauan ke lapangaan dan diberikan kebebasan untuk pengembangan-pengembangan program kegiatan sebagai penunjang kegiatan di pos.
Untuk melengkapi informasi di pos dan kegiatan lapangan saya kemudian melakukan kerjasama dengan dokter praktek swasta, beberapa perawat dan bidan, untuk menjadi mitra rujukan penanganan penyakit kelamin yang pada waktu itu banyak ditemukan di lapangan. Selain itu saya bersama teman di POLENG memohon dukungan pada pemangku kebijakan untuk kemudahan melakukan kegiatan di lokasi lokasi tertentu.
Saya juga bekerjasama dengan radio dan kawan-kawan wartawan untuk penyebarluasan informasi HIV ke masyarakat. Juga memanfaatkan event-event hiburan rakyat untuk membuka stand informasi dan melakukan kegiatan bersama di lokasi lokasi yang ramai pengunjung.
Selain itu kami juga melakukan advokasi pada pemerintaha daerah dan menginisiasi pembentukan klinik IMS (infeksi Penyakit Kelamin) dan Klinik VCT di Singraja.
Kasus HIV Pertama
Setelah setahun melakukan program sosialisasi, terjadilah kasus HIV pertama di Buleleng, tahun 1999. Kasus pertama itu membuat warga kaget. Beritanya di media massa terus dibicarakan.
Sebelumnya, saat melakukan sosialisai banyak sekali warga yang kurang percaya (meboye) akan kebenaran kasus HIV. Namun sejak terjadinya kasus pertama itu, warga lambat-laun menjadi percaya. Ini membuat kami sebagai penggiat semakin bersemangat untuk menyebarkan informasi di lapangan.
Pekerjaan kami pun bertambah. Bukan hanya sosialisasi, melainkan mulai belajar ketrampilan tambahan untuk bisa melakukan pendampingan pada orang orang dengan HIV. Untuk pendampingan saya diberikan pelatihan sebagai buddies yang berperan untuk bisa melakukan kegiatan pendampingan pada Odha.
Dengan semakin meningkatkan jumlah kasus yang ada di Buleleng, kami di Yayasan Citra Usadha Indonesia juga dibekali dengan pelatihan konselor yang diselengarakan oleh Kementerian Kesehatan untuk membantu kelompok kelompok resiko tinggi yang memiliki keinginan untuk melakukan pemeriksaan darah HIV.
Nama POLENG pun mulai dikenal sebagai sumber informasi HIV di Kabupaten Bulelen. Untuk mendekatkan layanan informasi Pos POLENG dipindahkan ke lokasi prostitusi di Bungkulan. Di lokasi prostitusi ini, selain memberikan informasi pada pengunjung lokasi dan kawan kawan pekerja prostitusi POLENG juga rutin melakukan kegiatan pemeriksaan penyakit kelamin dan test HIV di lokasi, bekerjasama dengan Puskesmas Sawan I sebegai pemegang wilayah.
Selain sebagai petugas lapangan dan koordinator POLENG, setelah mendapatkan pelatihan konselor saya juga terlibat sebagai konselor tetap di Klinik VCT RSUD Singaraja, rumah sakit swasta yang ada di Singaraja, serta laboratorium swasta yang ada di Singaraja. Dan saya pun ditunjuk sebagai koordinator program Yayasan Citra Usadha Indonesia di wilayah program Buleleng.
Sampai saat ini saya sendiri masih terlibat dalam pelaksanaan kegiatan program Pencegahan dan Penanggulanagn HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng sebagai petugas lapangan di YCUI dan KPA Kabupaten Buleleng untuk melakukan penjangkauan dan peningkatan pemahaman pada kawan-kawan pekerja perempuan di warung tuak dan café. Saya terus memotivasi mereka untuk melakukan pemeriksaan darah HIV.
Selain itu saya juga melakukan konseling dan pendampingan pada kelompok-kelompok resiko dan masyarakat umum, memberikan pendampingan pada Odha, baik rujukan dari rumah sakit swasta, rujukan atau informasi dari teman serta melakukan koordinasi dengan kawan-kawan penggiat sosial lainnya untuk membantu pelaksanaan kegiatan bersama.
Wilayah Sedih dan Haru, Kadang Lucu
Pengalaman mengharukan saat bertemu dua anak sebagaimana cerita saya di awal tulisan adalah pengalaman pertama. Artinya, selama sekitar 23 tahun saya bergelut menjadi aktivis HIV/AIDS saya kemudian menmukan banyak cerita sejenis yang bahkan lebih mengharukan. Misalnya ada satu keluarga putung, akibat semua anggota keluarga terkena HIV/AIDS.
Namun begitu, terdapat juga pengalaman menarik, kadang lucu, dalam menjalankan rutinitas sebagai penggiat HIV. Saat keluar masuk lokasi prostitusi dan tempat hiburan malam terkadang kita digoda oleh kawan-kawan pekerja malam yang belum mengenal aktivitas kita. Kita dikira pelanggan.
Kawan kawan dari kalangan gay/waria yang baru terlibat di komunitasnya juga terkadang menganggap kita sebagai calon pelanggan mereka. Ketika diberitahu oleh temannya yang sudah tahu siapa saya dan untuk apa datang ke lokasi mereka mangkal, barulah kawan-kawan gay/waria itu mengerti.
Beberapa teman yang tidak mengetahui kegiatan kita juga selalu menganggap kalau kita bagian dari kelompok yang berisiko dan teman yang sudah mengenal kita sering meminta dicarikan pekerja seks perempuan karena mereka menganggap kita seperti mucikari. Lucunya saat bertemu dengan teman di lokasi prostisusi banyak diantara mereka yang menghindar dan kalaupun terpaksa harus menyapa terkadang mereka menanyakan seakan-akan tak tahu apa-apa. “Tempat apa ini, Cko?” katanya seperti linglung.
Yang lucu lagi, saat melakukan sosialisasi ke desa maupun kelurahan yang ada di Kabupaten Buleleng beberapa orang malah mengira bukan kami yang akan memberikan sosialisai karena tampilan kami yang kurang meyakinkan. Maklum, penampilan saya sendiri memang apa adanya, karena memang tak ada apa-apa.
Ini sungguh menggelikan. Karena sering masuk ke layanan kesehatan, banyak teman yang saya ajak sebagai sesame penggiat dikira juga penderita HIV.
Satelit ARV di Puskesma
Ini info terbaru. Sejak tidak ditanggungnya jaminan kesehatan BPJS (untuk rujukan dan administrasi RS) untuk pengambilan obat ARV gratis di rumah sakit, beberapa ODHA mengeluh karena tidak memiliki biaya untuk datang ke RS.
Sehingga akhirnya kawan-kawan penggiat menginisiasi untuk membuat satelit ARV di Puskesmas sebagai perpanjangan tangan RS untuk mengakses obat ARV tanpa biaya. Sebelum mendapatkan akses pengambilan obat ARV di Puskesmas ada ketentuan yang diwajibkan, salah satunya Odha sudah adderen (patuh minum obat tidak pernah terlambat) selama 6 bulan, dan mendapatkan rujukan pindahan dari RS ke Puskesmas tujuan untuk memudahkan pencatatan administrasi dan amprahan obat.
Jadi puskesmas berperan untuk melakukan amprah obat, pelaporan obat dan mendekatkan akses ARV pada ODHA. Jika ada keluhan terhadap pengobatan Puskesmas berperan untuk memberikan rujukan ke RS untuk penangannya. [T]