Dalam kancah nasional hingga internasional, Bali selalu dikenal dan dielu-elukan karena tradisi, adat istiadat, dan budayanya yang begitu beragam dan otentik. Segala hal tersebut bisa dilihat dan dinikmati hanya di Bali, tidak di tempat lain. Mulai dari laku hidup masyarakat Bali yang sarat akan menyama braya (gotong royong), hingga pelaksanaan ritual dengan pakem yang sudah diwariskan. Fenomena-fenomena tersebutlah yang ingin diperlihatkan oleh Gde Aryantha Soethama dalam noveletnya yang berjudul Wanita Amerika Dibunuh di Ubud.
Wanita Amerika Dibunuh di Ubud pertama kali dicetak pada Oktober 2002, dan dicetak kembali pada Maret 2020 oleh Penerbit Prasasti. Mengambil lebih banyak seting tempat di Ubud, Wanita Amerika Dibunuh di Ubud menyuguhkan pelbagai kekayaan tradisi, adat istiadat, dan budaya yang dimiliki Bali. Dinamika yang terjadi di tubuh masyarakat Bali juga menjadi pijakan bagi pembaca untuk memikirkan kembali kontra narasi yang disuguhkan oleh penulis.
Saat penulis lain nampak sibuk menggambarkan wisatawan (turis) datang ke Bali untuk menikmati keindahan dan beragamnya budaya—atau bahkan hanya sekadar menjadi sampah masyarakat di Bali, dalam Wanita Amerika Dibunuh di Ubud Aryantha Soethama menyuguhkan cerita yang berbeda. Cerita penuh petualangan, tidak lupa dengan bumbu romantisme dan seksualitas ditampilkan dalam novelet setebal vi + 106 halaman ini. Tidak hanya menampilkan bagaimana kondisi tradisi, adat istiadat, dan budaya Bali, penulis juga menampilkan beberapa sketsa sejarah yang mampu dielaborasikan menjadi satu kesatuan cerita yang tidak dapat dipisahkan.
Memikirkan kembali adalah tawaran yang diberikan setelah membaca novelet ini. Narasi-narasi yang bersifat mempertanyakan hal-hal mapan dalam novelet ini patut direfleksikan bersama—tanpa meninggalkan esensi adiluhung yang telah diwariskan oleh leluhur kepada kita selaku generasi penerus.
Dilema Tradisi, Adat, dan Budaya di Tengah Pusaran Modernitas
Penguasaan Aryantha Soethama dalam menggambarkan jalannya sebuah tradisi secara detail memang selalu menghadirkan decak kagum pembaca, termasuk saya di dalamnya. Wanita Amerika Dibunuh di Ubud dimulai dengan bagian ‘See You Tomorrow Bram’. Bagian ini, menyuguhkan bagaimana pertemuan antara Bram (orang Bali asli yang ingin menguasai bahasa Inggris) dengan Susan (turis yang sedang menjalankan misi khusus di Bali) melalui perantara upacara Ngaben. Upacara ngaben adalah prosesi pembakaran jenazah umat Hindu di Bali. Prosesi ini dimaksudkan agar jenazah kembali kepada ke lima unsur mula kehidupan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya sebagai Panca Maha Bhuta.
Sejak mula, kontra narasi sudah kental terasa dalam cerita. Saya menduga kontra narasi ini hadir untuk mengajak pembaca kembali merefleksikan apa yang telah berlangsung sampai saat ini. Mempertanyakan apa yang telah mapan hari ini—apakah kemapanan tersebut masih relevan dilaksanakan atau tidak. Hal-hal tersebut dapat dilihat di beberapa bagian tersebut:
“Tak semua sanak saudara menyembah. Mereka yang merasa usianya lebih tua dibandingkan almarhum duduk tenang-tenang saja. Mereka tak mencakupkan tangan, tak ada kewangen di tangan. Mereka menganggap, orang yang lebih tua tak wajar menyembah orang yang lebih muda. Sebuah kebiasaan yang menjadi adat istiadat, tetapi sebenarnya keliru. Cakupan tangan di depan ulu hati itu sebenarnya cuma tabiat kita mengantar keberangkatan roh seseorang dengan doa ke alam sana.” (Hal. 8).
“Pamanku memang tak tergolong kaya, tapi toh ia cukup terpandang. Orang terhormat susah melakukan upacara kecil dan sederhana, karena bisa dinilai kikir. Tamu dan undangan, tanpa diundang pun banyak yang datang. Mereka harus dijamu. Itu semua banyak menghabiskan uang.” (Hal. 23-24).
Pitana dalam I Made Pasek Subawa dalam artikelnya yang berjudul “Bali dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan di Tengah Perkembangan Pariwisata” menyebutkan bahwa perubahan merupakan suatu hal yang hakiki dalam dinamika masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu yang tak terbantahkan, bahwa “perubahan” merupakan suatu fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Perubahan tersebut sudah dapat dirasakan. Kini sebagian besar umat Hindu di Bali menjadikan ‘gengsi’ sebagai landasan pelaksanaan sebuah ritual. Upacara bukan lagi bicara soal esensi, apalagi berpegang pada Tri Kerangka Dasar Agama Hindu (Tattwa/Filsafat, Etika/Susila, Upacara/Ritual)—gengsi yang utama.
Aryantha Soethama terbilang cukup keras dan gamblang dalam menyampaikan keresahannya terhadap pelbagai perubahan yang terjadi pada tubuh tradisi, adat istiadat, dan budaya Bali. Alih-alih menjaga keluhuran tradisi, adat istiadat, dan budayanya, yang dilakukan oleh masyarakat Bali justru sebaliknya. Masyarakat Bali dengan penuh kesadaran menjual warisan leluhurnya demi menggerakkan roda perekonomian tanpa memikirkan lebih lanjut dampak yang timbul ke depannya. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa bagian tersebut:
“Hahaha Ras, jangan munafik. Tak usah sok! Sudah terlampau sering, kita sadari atau tidak, khilaf melakukan komersialisasi budaya. Tak peduli itu akibat pariwisata atau tidak. Penjor sekarang sudah dikomersialkan. Bambu menjulang berhias janur itu tak hanya ditancapkan jika hari raya atau hari suci, tapi juga dipasang meriah jika ada upacara yang tak berkaitan dengan agama. Penjor sekarang sudah sering melambai-lambai untuk menyambut bintang film.” (Hal. 92-93).
“Kupikir bagus juga gagasan mengabenkan turis. Itu bisa menambah devisa. Kalau saja banyak turis yang ingin diaben di Bali, bisa laris para penjual sesaji. Ini tambahan penghasilan. Wah, Bram, kita bisa kembangkan ide ini menjadi bisnis ngaben untuk turis. Kalau memang bisa jalan bagus, aku tak keberatan berhenti jadi polisi untuk mengurus perseoroan pengabenan turis. Hahaha…” (Hal. 93).
Komersialisasi budaya menurut Yoety dalam Adi Miarso merupakan aktivitas menyajikan suatu budaya seperti kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang biasa hidup dalam masyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli wisatawan yang menyaksikan. Berangkat dari definisi tersebut, bisa dikatakan masyarakat Bali secara sadar sudah melakukan praktik tersebut hampir setiap hari.
Konsep ‘Ajeg Bali’ yang diajukan oleh Satria Naradha sebagai konsep pelindung Bali pun kini tampak hanya sekadar slogan tanpa arti. Kata “ajeg” sendiri mengandung makna kuat, tegak, dan dalam arti tertentu, sebuah versi lebih kuat daripada paham “kebalian”. Degung Santikarma dalam Henk Schulte Nordholt di bukunya yang berjudul “Bali Benteng Terbuka” menyebutkan bahwa ‘Ajeg Bali’ dikembangkan oleh para birokrat dan didukung oleh kalangan kelas-menengah yang punya kepentingan di sektor pariwisata. Jadi tidak heran kita menemukan fakta bahwa komersialisasi budaya begitu marak dilakukan masyarakat Bali terhadap tradisi, adat istiadat, dan budayanya sendiri.
Tidak hanya menjadi sebuah produk budaya, karya sastra juga merupakan kumpulan gagasan atas pelbagai persoalan yang berkelindan di tubuh masyarakat. Alih-alih dapat menjaga keluhuran warisan leluhur, pariwisata yang kini mengambil peran sebagai ‘panglima perang’ dalam bidang ekonomi di Bali justru mengantarkan masyarakatnya untuk terus memutar otak—memanfaatkan dan menyiasati segala sumber daya yang ada guna mendatangkan rupiah.
Wanita Amerika Dibunuh di Ubud juga secara tersurat mempertanyakan serta mengajak pembacanya untuk merefleksikan diri. Apakah tradisi, adat istiadat, dan budaya yang masih dijalankan kini masih relevan dan mampu menjawab kemajuan zaman? Sudahkah kita (baca: umat Hindu di Bali) melaksanakan tradisi, adat istiadat, dan budaya dengan kesadaran penuh dan pemahaman yang utuh? Mari pikirkan bersama. [T]
DAFTAR PUSTAKA
- Adi Miarso. 2019. “Komersialisasi Budaya Dalam Konteks Kesenian Kuda Lumping (Studi Pada Paguyuban Krido Turonggo Mulyo) di Desa Tarai Bangun Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar”. JOM FISIP Vol. 6: Edisi 1 Januari-Juni 2019.
- Henk Schulte Nordholt. (2010). Bali Benteng Terbuka. Pustaka Larasan.
- Pasek Subawa, I Made. 2018. “Bali dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan di Tengah Perkembangan Pariwisata”. Pariwisata Budaya, Vol. 3, Nomor 1, Tahun 2018.