3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Memikirkan Kembali Tradisi, Adat Istiadat dan Budaya Bali dalam “Wanita Amerika Dibunuh di Ubud”

Teddy Chrisprimanata PutrabyTeddy Chrisprimanata Putra
November 30, 2021
inUlasan
Memikirkan Kembali Tradisi, Adat Istiadat dan Budaya Bali dalam “Wanita Amerika Dibunuh di Ubud”

Dalam kancah nasional hingga internasional, Bali selalu dikenal dan dielu-elukan karena tradisi, adat istiadat, dan budayanya yang begitu beragam dan otentik. Segala hal tersebut bisa dilihat dan dinikmati hanya di Bali, tidak di tempat lain. Mulai dari laku hidup masyarakat Bali yang sarat akan menyama braya (gotong royong), hingga pelaksanaan ritual dengan pakem yang sudah diwariskan. Fenomena-fenomena tersebutlah yang ingin diperlihatkan oleh Gde Aryantha Soethama dalam noveletnya yang berjudul Wanita Amerika Dibunuh di Ubud.

Wanita Amerika Dibunuh di Ubud pertama kali dicetak pada Oktober 2002, dan dicetak kembali pada Maret 2020 oleh Penerbit Prasasti. Mengambil lebih banyak seting tempat di Ubud, Wanita Amerika Dibunuh di Ubud menyuguhkan pelbagai kekayaan tradisi, adat istiadat, dan budaya yang dimiliki Bali. Dinamika yang terjadi di tubuh masyarakat Bali juga menjadi pijakan bagi pembaca untuk memikirkan kembali kontra narasi yang disuguhkan oleh penulis.

Saat penulis lain nampak sibuk menggambarkan wisatawan (turis) datang ke Bali untuk menikmati keindahan dan beragamnya budaya—atau bahkan hanya sekadar menjadi sampah masyarakat di Bali, dalam Wanita Amerika Dibunuh di Ubud Aryantha Soethama menyuguhkan cerita yang berbeda. Cerita penuh petualangan, tidak lupa dengan bumbu romantisme dan seksualitas ditampilkan dalam novelet setebal vi + 106 halaman ini. Tidak hanya menampilkan bagaimana kondisi tradisi, adat istiadat, dan budaya Bali, penulis juga menampilkan beberapa sketsa sejarah yang mampu dielaborasikan menjadi satu kesatuan cerita yang tidak dapat dipisahkan.

Memikirkan kembali adalah tawaran yang diberikan setelah membaca novelet ini. Narasi-narasi yang bersifat mempertanyakan hal-hal mapan dalam novelet ini patut direfleksikan bersama—tanpa meninggalkan esensi adiluhung yang telah diwariskan oleh leluhur kepada kita selaku generasi penerus.

Dilema Tradisi, Adat, dan Budaya di Tengah Pusaran Modernitas

Penguasaan Aryantha Soethama dalam menggambarkan jalannya sebuah tradisi secara detail memang selalu menghadirkan decak kagum pembaca, termasuk saya di dalamnya. Wanita Amerika Dibunuh di Ubud dimulai dengan bagian ‘See You Tomorrow Bram’. Bagian ini, menyuguhkan bagaimana pertemuan antara Bram (orang Bali asli yang ingin menguasai bahasa Inggris) dengan Susan (turis yang sedang menjalankan misi khusus di Bali) melalui perantara upacara Ngaben. Upacara ngaben adalah prosesi pembakaran jenazah umat Hindu di Bali. Prosesi ini dimaksudkan agar jenazah kembali kepada ke lima unsur mula kehidupan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya sebagai Panca Maha Bhuta.

Sejak mula, kontra narasi sudah kental terasa dalam cerita. Saya menduga kontra narasi ini hadir untuk mengajak pembaca kembali merefleksikan apa yang telah berlangsung sampai saat ini. Mempertanyakan apa yang telah mapan hari ini—apakah kemapanan tersebut masih relevan dilaksanakan atau tidak. Hal-hal tersebut dapat dilihat di beberapa bagian tersebut:

“Tak semua sanak saudara menyembah. Mereka yang merasa usianya lebih tua dibandingkan almarhum duduk tenang-tenang saja. Mereka tak mencakupkan tangan, tak ada kewangen di tangan. Mereka menganggap, orang yang lebih tua tak wajar menyembah orang yang lebih muda. Sebuah kebiasaan yang menjadi adat istiadat, tetapi sebenarnya keliru. Cakupan tangan di depan ulu hati itu sebenarnya cuma tabiat kita mengantar keberangkatan roh seseorang dengan doa ke alam sana.” (Hal. 8).

“Pamanku memang tak tergolong kaya, tapi toh ia cukup terpandang. Orang terhormat susah melakukan upacara kecil dan sederhana, karena bisa dinilai kikir. Tamu dan undangan, tanpa diundang pun banyak yang datang. Mereka harus dijamu. Itu semua banyak menghabiskan uang.” (Hal. 23-24).

Pitana dalam I Made Pasek Subawa dalam artikelnya yang berjudul “Bali dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan di Tengah Perkembangan Pariwisata” menyebutkan bahwa perubahan merupakan suatu hal yang hakiki dalam dinamika masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu yang tak terbantahkan, bahwa “perubahan” merupakan suatu fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Perubahan tersebut sudah dapat dirasakan. Kini sebagian besar umat Hindu di Bali menjadikan ‘gengsi’ sebagai landasan pelaksanaan sebuah ritual. Upacara bukan lagi bicara soal esensi, apalagi berpegang pada Tri Kerangka Dasar Agama Hindu (Tattwa/Filsafat, Etika/Susila, Upacara/Ritual)—gengsi yang utama.

Aryantha Soethama terbilang cukup keras dan gamblang dalam menyampaikan keresahannya terhadap pelbagai perubahan yang terjadi pada tubuh tradisi, adat istiadat, dan budaya Bali. Alih-alih menjaga keluhuran tradisi, adat istiadat, dan budayanya, yang dilakukan oleh masyarakat Bali justru sebaliknya. Masyarakat Bali dengan penuh kesadaran menjual warisan leluhurnya demi menggerakkan roda perekonomian tanpa memikirkan lebih lanjut dampak yang timbul ke depannya. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa bagian tersebut:

“Hahaha Ras, jangan munafik. Tak usah sok! Sudah terlampau sering, kita sadari atau tidak, khilaf melakukan komersialisasi budaya. Tak peduli itu akibat pariwisata atau tidak. Penjor sekarang sudah dikomersialkan. Bambu menjulang berhias janur itu tak hanya ditancapkan jika hari raya atau hari suci, tapi juga dipasang meriah jika ada upacara yang tak berkaitan dengan agama. Penjor sekarang sudah sering melambai-lambai untuk menyambut bintang film.” (Hal. 92-93).

“Kupikir bagus juga gagasan mengabenkan turis. Itu bisa menambah devisa. Kalau saja banyak turis yang ingin diaben di Bali, bisa laris para penjual sesaji. Ini tambahan penghasilan. Wah, Bram, kita bisa kembangkan ide ini menjadi bisnis ngaben untuk turis. Kalau memang bisa jalan bagus, aku tak keberatan berhenti jadi polisi untuk mengurus perseoroan pengabenan turis. Hahaha…” (Hal. 93).

Komersialisasi budaya menurut Yoety dalam Adi Miarso merupakan aktivitas menyajikan suatu budaya seperti kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang biasa hidup dalam masyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli wisatawan yang menyaksikan. Berangkat dari definisi tersebut, bisa dikatakan masyarakat Bali secara sadar sudah melakukan praktik tersebut hampir setiap hari.

Konsep ‘Ajeg Bali’ yang diajukan oleh Satria Naradha sebagai konsep pelindung Bali pun kini tampak hanya sekadar slogan tanpa arti. Kata “ajeg” sendiri mengandung makna kuat, tegak, dan dalam arti tertentu, sebuah versi lebih kuat daripada paham “kebalian”. Degung Santikarma dalam Henk Schulte Nordholt di bukunya yang berjudul “Bali Benteng Terbuka” menyebutkan bahwa ‘Ajeg Bali’ dikembangkan oleh para birokrat dan didukung oleh kalangan kelas-menengah yang punya kepentingan di sektor pariwisata. Jadi tidak heran kita menemukan fakta bahwa komersialisasi budaya begitu marak dilakukan masyarakat Bali terhadap tradisi, adat istiadat, dan budayanya sendiri.

Tidak hanya menjadi sebuah produk budaya, karya sastra juga merupakan kumpulan gagasan atas pelbagai persoalan yang berkelindan di tubuh masyarakat. Alih-alih dapat menjaga keluhuran warisan leluhur, pariwisata yang kini mengambil peran sebagai ‘panglima perang’ dalam bidang ekonomi di Bali justru mengantarkan masyarakatnya untuk terus memutar otak—memanfaatkan dan menyiasati segala sumber daya yang ada guna mendatangkan rupiah.

Wanita Amerika Dibunuh di Ubud juga secara tersurat mempertanyakan serta mengajak pembacanya untuk merefleksikan diri. Apakah tradisi, adat istiadat, dan budaya yang masih dijalankan kini masih relevan dan mampu menjawab kemajuan zaman? Sudahkah kita (baca: umat Hindu di Bali) melaksanakan tradisi, adat istiadat, dan budaya dengan kesadaran penuh dan pemahaman yang utuh? Mari pikirkan bersama. [T]

DAFTAR PUSTAKA

  • Adi Miarso. 2019. “Komersialisasi Budaya Dalam Konteks Kesenian Kuda Lumping (Studi Pada Paguyuban Krido Turonggo Mulyo) di Desa Tarai Bangun Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar”. JOM FISIP Vol. 6: Edisi 1 Januari-Juni 2019.
  • Henk Schulte Nordholt. (2010). Bali Benteng Terbuka. Pustaka Larasan.
  • Pasek Subawa, I Made. 2018. “Bali dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan di Tengah Perkembangan Pariwisata”. Pariwisata Budaya, Vol. 3, Nomor 1, Tahun 2018.
Tags: BukuGde Aryantha Soethamanovelresensi bukuUlasan Buku
Previous Post

Stop Sexual Violence | Semua Peduli, Semua Terlindungi

Next Post

Berjaga Terus Pada Kawasan Sedih dan Haru

Teddy Chrisprimanata Putra

Teddy Chrisprimanata Putra

Lulusan Teknik Mesin Unud, tapi lebih memiliki minat ke dunia literasi juga organisasi. “Sublimasi Rasa” adalah karya pertama untuk melanjutkan karya-karya selanjutnya.

Next Post
Berjaga Terus Pada Kawasan Sedih dan Haru

Berjaga Terus Pada Kawasan Sedih dan Haru

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co