Arahmaiani menampilkan karya performance art terbaru dalam acara ICAD XI : Publik. Sabtu 6 Nopember 2021 dan akan berlangsung sampai tanggal 28 November 2021 di Hotel Grand Kemang Jakarta, Kemang Jakarta Selatan.
Arahmaiani adalah seniman performance art, lukis, dan penulis , yang sudah memamerkan karyanya di berbagai negara di dunia, pada event-event seni Internasional yang bergengsi, salah satunya event seni tingkat dunia di Venice Biennale ke-50 pada tahun 2003.
ICAD adalah platform yang dimaksudkan untuk menjembatani seni dan desain, dengan disiplin ilmu lain mulai dari dari fashion, film, perhotelan, teknologi, F&B dan banyak lagi lainnya, sejak tahun 2009 di bawah Yayasan Design+Art Indonesia.
ICAD juga telah bermitra dengan platform internasional bergengsi seperti Milan SuperDesign Show, La Biennale di Venice, dan London Design Biennale, dalam mengkurasi dan memamerkan seni dan desain Indonesia kepada dunia.
Karya performance art Arahmaiani kali ini diberi judul “Furious Mother Earth” dengan menggunakan media tanah liat, yang dikepal seperti bola dan dijejer di atas meja, mirip bola, yang jumlahnya mencapai ratusan biji.
Suasana senyap ketika awal Arahmaiani memulai performance tersebut, ketika Arahmaiani mulai menggoreskan kuas dengan lumpur tanah dengan kata alam dan nature, di bidang putih yang besar layaknya tembok bangunan.
Arahmaiani menggunakan pakaian serba hitam, di dalam kepercayaan tertentu, simbul hitam tersebut melambangkan penguasa air dan sumber kehidupan. Kuas besar yang digoresakan laksana tarian kosmik menari di atas lumpur yang membekas dalam bidang putih.
Sambil dilantunkannya musik Darah Juang John Tobing dan dilanjutkan musik dengan judul Jaman Edan karya Jogja Hip Hop Foundation, penonton masih tertegun bertanya tanya, entah apa maksud tulisan itu. Apalagi di samping kanan tulisan tersebut digambar bentuk hati, seperti graffiti karya seniman jalanan yang dicorat-coret di tembok sudut kota, untuk menuangkan pesan seniman kepada publik
Seketika itu Arahmaiani seperti marah laksana kemurkaan Ibu Pertiwi, melempari tembok putih dengan gumpalan tanah liat, dan penonton syok dibuatnya. Sambil mengepalkan tangannya Arahmaiani memberikan penonton kesempatan untuk ikut terlibat melempari tembok buatan tersebut. Sontak semua penonton yang menyaksikan performance art Arahmaiani itu ikut dalam aksi pelemparan gumpalan tanah, seperti perayaan dan luapan emosi penonton tersalurkan ikut melempari tembok itu.
Bahkan salah satu penonton dalam aksinya merasakan therapy baginya setelah hampir dua tahun berada dalam kondisi yang dibatasi akibat pandemi. Kesal dan stress-nya seakan diobati dengan melempar gumpalan tanah dan lebih merasa dekat dengan alam, dengan aroma dan tekstur tanah yang menyejukkan telapak tangan, seperti dekapan Ibu Pertiwi, yang selalu setia untuk kehidupan di dunia ini.
Performance art ini bukan sekadar aksi melempar tanah liat ke dinding tembok putih. Aksi itu punya makna penting untuk mengingatkan banyak orang pada kondisi alam saat ini. Di dinding putih itu ada warna Ibu Pertiwi yang bisa dimaknai sebagai sebuah peringatan sekaligus penghormatan pada tanah yang biasa kita injak tanpa pernah merasa memiliki.
“Tembok tersebut merupakan simbol dari cara pikir modern yang melihat alam itu sebagai objek, dan tembok itu seperti membatas hubungan kita dengan alam,” kata Arahmaiani.
Ide performance art Arahmaiani muncul pada saat dirinya mempertanyakan mengenai modernisasi. Pikiran modern ini didorong dengan sistem kapitalis dan individualis, yang di dalam praktek membuat manusia terputus dari alam atau menganggap diri sebagai penguasa alam, sehingga dia merasa boleh mengeksploitasi alam. Itulah yang terjadi sekarang dengan adanya eksploitasi alam seperti pembabatan hutan, minyak bumi yang di sedot belum lagi mineral lainya.
Padahal dalam kenyataannya kita ini hidup dari alam, kita ini bagian dari alam itu. Tapi dengan sikap dan tingkah laku kita seperti menguasai alam, akhirnya merusak, lama-lama menghancurkanya, yang mengakibatkan petaka banjir, longsor, kekeringan, tsunami, kebakaran hutan dan yang paling nyata sekarang sangat kritis adalah wabah corona. Dampak dari kerusakan lingkungan hidup, jadi alam memberikan reaksi tingkah laku manusia egois dan serakah.
Dalam performance art ini Arahmaiani menyelipkan pesan, mengingatkan dirinya dan penonton untuk kita sebagai manusia untuk memahami kembali, dan menghubungkan dirinya kembali dengan alam. Tentu dengan keseriusan kita bersama, tembok pembatas yang di lempari dengan gumpalan tanah itu akan runtuh, dalam artian, semua pihak harus terlibat di dalam penyelamatan lingkungan, supaya tidak ada lagi pembatas alam dengan kehidupan manusia, dan berkurangnya eksploitasi alam yang secara massif dilakukan
Karya tersebut mengingatkan karya Arahmaiani sebelumnya yang pernah dipamerkan di Jerman, Australia, Singapura, Malaysia, Macau, dan Museum Macam yang judulnya “Breaking Words”. Karya itu dengan bahan piring yang dituliskan dengan kata kunci olehnya dan penonton. Karya konseptual mengenai apa yang kita yakini yang diungkapkan dengan kata apakah itu memang mutlak, seperti penulisan money, love, juga pemikiran dogmatis mengenai religiusitas, piring tersebut juga dilempar sedemikian rupa.
Melibatkan penonton merupakan cara Arahmaiani selama ini dalam berkarya. Seperti karya sebelumnya yang dipamerkan di Australia, Jerman, dan beberapa negara lainya melibatkan mahasiswa dan masyarakat umum, begitu juga karya benderanya yang menuliskan kata kunci penting yang dipamerkan di Festival Pasar Rakyat Denpasar pada tahun 2019 yang digagas Komunitas Enam, yang melibatkan buruh tukang jinjing di pasar untuk mengibarkan benderanya.
Selain Arahmaiani, seluruhnya ada 40 partisipant undangan di acara ICAD XI : Publik. Mereka adalah Aditya Fachrizal Hafiz, Adrianto Sinaga, Arahmaiani, Arum Tresnaningtyas, Astari Rasjid , Aung Myat Htay, Awan Simatupang, B.J. Habibie, Festival Relics – Bagus Pandega, Coune, Randy Danistha , Nara Anindyaguna, Bo Wang , Budi Pradono, Budi Santoso, Bujangan Urban, Cakradara Andiani, Charles Lim , Dea Widya, Eddi Prabandono, Eldwin Pradipta, Fluxcup, Forum Sudut Pandang, Goran Despotovski , Gubuak Kopi (2 orang), Handoko Hendroyono,Hestu Setu Legi, Irvan A. Noe’man, Irwan Ahmett, Jatiwangi Art Factory, Jumaldi Alfi, Komikazer/Reza Mustar, Lea Vidakovic , Mark Salvatus , Naomi Samara, Nina Nuradiati, Nindityo Adipurnomo, Panji Wisesa, Ridwan Kamil, Sheila Rooswitha Putri, Taba Sanchabakhtiar, Takashi Makino, Vendy Methodos.
Di acara tersebut juga peserta dari Open Submission seperti Angelita Nurhadi, Donna Angelina, Gusti Reynaldi Cakramurti, Nidiya Kusmaya, Sicovecas, Tommy Utomo.
Institusi yang ikut dalam acara tersebut adalah ACMI – Aku Cinta Makanan Indonesia, ADPII-Asosiasi Design Produk Industri Indonesia, ASPAC – Asia Students Pakage Design Competition-ADGI, HDII-Himpunan Design Interior Indonesia.
Juga penampilan kusus dari CASA x SAMSUNG, Institut Français d’Indonésie (IFI) – Artworks by Nicolas Champeaux & Gilles Porte, Patrick Hartono. [T]