“Miiiiih full sajan panggungne nok!” kata saya saat memasuki Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, pukul 16.00 Wita, pementasan Teater Limas – Kota Denpasar.
Perhatikan kata miiiiih dan nok pada kalimat saya di atas. Kedua kata tersebut menegaskan kalimat tengahnya. Mungkin begitulah cara fikir saya dalam menikmati pementasan Kereta Kencana – Eugene Ionesco terjemahan W.S Rendra yang disutradarai oleh Muda Wijaya. Sebab dua aktor Kakek dan Nenek dibantu oleh 18 orang yang berpakaian serba putih, wajahnya pun diwarna putih dengan beberapa aksen hitam dibeberapa bagian.
18 orang itu ialah Miiiiih dan nok . hadir sebagai penegas, sepanjang pementasan yang berdurasi 50 menit itu.
Total 20 orang ada di panggung, dilengkapi dengan properti yang sama banyaknya. Sejumlah kain putih menjuntai dari atas ke bawah, tempat tidur dengan rangkaian bambu putih menjulang tinggi, kain putih menutupi lantai panggung serta rangkaian bilah bambu berwarna putih berbentuk jendela yang digantung di beberapa bagian atas pangggung. Dari jauh, saya melihat seperti lukisan abstrak yang bergerak secara bergantian. Dari beberapa pertunjukan yang saya tonton di Gedung Natya Mandala ISI – Denpasar, baru Teater Limas saja yang sangat terobsesi memenuhi area panggung.
Terus terang saja dari awal sampai akhir saya kurang memperhatikan dua tokoh utama bercakap, saya lebih tertarik memperhatikan tubuh-tubuh 18 orang itu. sebut saja mereka tubuh penegas ya. Tubuh penegas tersebut memiliki peran penting dalam mengajewantahkan dialog pemeran utama. Mereka menjadi nafas, angin, burung, benda statis, benda bergerak dan lain sebagainya.
Dialog – dialog itu seolah diterjemahkan ulang menjadi komposisi gerak komunal, kadang berada di dalam teks, kadang mereka di luar teks, kadang menjadi peran pendukung, kadang menjadi peran yang tidak mendukung. Secara garis besar bisa saya katakan tubuh penegas ini merupakan satu upaya Muda Wijaya dalam menjaga atensi penonton. Saya harus jujur, pementasan Teater Limas dipenuhi penonton lho, kursi full, bahkan beberapa penonton duduk keleleran di lantai.
Mungkin satu alasannya karena Teater Limas ini ialah teater sekolah. Hegemoninya teman sekolah mereka, teman sekelas, atau sanak keluarga. Tubuh penegas itu ialah laku populer yang mampu mengikat penonton, tidak bisa saya bayangkan jika naskah ini hanya dimainkan dua pemain saja seperti naskah aslinya. Mungkin akan tenggelam oleh ruang yang besar, tenaga mereka akan habis untuk menguasai penonton, paling buruk ditinggalkan penonton. Jikping….
Pada satu diskusi bersama Wayan Sumahardika, Sutradara Teater Kalangan kami membicarakan bagaimana kelompok teater, dengan berbagai konsentrasi isunya serta metode pilihan latihannya dapat berjalan karena ditemani aktor-aktor yang turut berkembang di lingkaran itu. Tubuh aktor ini berada pada jalur kereta, anggap saja teater itu gerbongnya. Nah tentu akan menjadi tidak maksimal jika pilihan aktor tidak sepadan dengan isu teater yang diusung, misalkan begini, isunya tentang sejarah demokrasi, namun tubuh aktornya masih SMP atau SD yang notabene pada taraf pemikiran belum menyentuh dan menyadari bagaimana demokrasi bekerja. Nah tubuh yang tidak padan ini bisa di sebut tubuh di luar jalur kereta.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah tubuh-tubuh anak teater Limas, disebut tubuh apa? yang setiap 3 tahun akan berganti dengan siswa baru, tubuh anyar lagi. dan memang begitulah adanya teater SMA atau SMP, peran organisasi menjadi lebih penting, dibandingkan nilau isu yang diusung. Oke. Saya beri nama tubuh mereka, tubuh-tubuh di halte bus. Mereka sedang menunggu bus, kemudian pergi saat bus tiba menjemput.
Namun apakah tubuh-tubuh tersebut tidak mapan, Nah disinilah kejelian Muda Wijaya sebagai sutradara, saya rasa ia berhasil menawar isu, menjadikannya gerak tubuh seharian sebagai modal dasarnya. Tanpa muluk-muluk untuk menjadikan tubuh mereka sebuah tarian mapan. Saya sendiri terus terang saja lebih tertarik bagaimana 18 orang itu bergerak, melihat mereka berinteraksi satu sama lain, menggerakkan tubuh dengan kesadaran anak SMA, kadang mereka tertawa saat saling bertemu wajah, kadang sangat serius – tapi sejurus kemudian menjadi riang.
Ulak-alik ini merupakan dasar utama untuk menyadari keberadaan tubuh mereka. Setelah kesadaran itu tumbuh, barulah mempelajari naskah dengan berbagai pirantinya. Tentu pilihan naskah juga menjadi penting ya, sebagaimana mereka mampu menopang naskah agar tampak secara utuh ketika dimainkan di atas panggung.
Teater Limas membawakan naskah Kereta Kencana, mengisahkan sepasang kekasih yang setia menjalani hidup, hingga hari tuanya. Nenek dan Kakek itu sedang menunggu Kereta Kencana datang, untuk menjemput mereka. Informasi ini samar-samar ia dapatkan lewat bisikan, mimpi dan keganjilan lainnya. Sambil menunggu kereta mereka bercengkrama, bermain layangan, merajuk, layaknya sepasang kekasih.
Dalam hemat saya, kereta kencana bisa kita maknai sebagai kematian. Kematian yang datang entah kapan, yang jelas kedatangannya selalu ditunggu. Ada manusia menunggu dengan gembira, ada dengan rasa bahagia, kecewa, takut, rapuh dan lain sebagainya. Kembali kita diingatkan pada pandemi yang berlangsung selama hampir 2 tahun ini, batas kematian dan nafas kehidupan hanya setipis benang sutra.
Namun jika kita menyelami kehidupan dengan penuh kebahagiaan,hal ini menjauhkan kita dari pikiran-pikiran yang kusut. Sehingga bagaimanapun masa depan, kita hadapi penuh syukur. Seperti tubuh-tubuh penegas yang saya bicarakan di atas, mereka ada untuk menjelaskan bahwa laku manusia berbagai macam arahnya, Laku ialah pikiran kita, yang kadang mendukung, kadang pula berselisih paham. [T]