Sudah amat sering kita mendengar pernyataan normatif bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, dimana Pancasila sebagai dasar negara dan way of life, mencantumkan pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Adanya Departemen Agama menunjukkan kehadiran negara dalam perannya meningkatkan kualitas beragama masyarakatnya.
Pernyataan ini sering diterima apa adanya, take it for granted, tetapi kemudian melahirkan pertanyaan kritis reflektif berupa: kenapa dalam masyarakat yang mengklaim diri religius, faktanya, fakta sosialnya, begitu banyak terjadi pelanggaran: etika, moralitas yang nyata-nyata tidak sejalan dengan ajaran agama yang dianut?
Bahkan ada sebagian masyarakat merasa “biasa” dan “nyaman” dengan pelanggaran ini, melalui berbagai rupa dalih pembenaran, dan juga “rasionalisasi”.
Kesemarakan kehidupan keagamaan berlangsung, tetapi nyaris tidak berkorelasi dengan kualitas spiritualitas dari insan-insan pemeluknya. Terjadi semacam ambivalensi, kemenduaan, dan bahkan kemunafikan pada sebagian masyarakat antara wacana dan ritual keagamaan dengan kualitas prilakunya.
Dalam konteks ini, menjadi menarik disimak pendapat yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Musdah Mulia pada saat membawakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Lecture 2021, pada hari Kamis 21/10/2021 di Jakarta, sebagaimana ditulis Kompas, 22 Oktober 2021. Di situ disebutkan, “Ada paradoks antara kesemarakan beragama, atau dia menyebutnya kehebohan beragama dengan kebangkrutan moralitas masyarakat dan pemerintah.Ironisnya, seharusnya dengan penduduk yang religius, negara lebih maju karena masyarakat diselimuti spiritualitas dan ada integritas moral untuk membangun peradaban maju. Namun, realitas sosial masyarakat Indonesia masih bertolak belakang “.
Pernyataan yang menghentak, tetapi begitulah realitas sosialnya.
Timbul pertanyaan: bagaimana agama Hindu Sanatana Dharma dapat memberikan penjelasan sederhana terhadap paradoks ini, keberagamaaan yang semarak berbarengan dengan kebangkrutan moralitas?
Pertama, kesemarakan ritual, kesemarakan di luar, di “kulit”, tidak mampu menjadi instrumen transformasi diri, menuju Diri yang Inti, Jiwa dan kemudian Atman. Ritual dan prosesnya yang “jalan” di tempat, tanpa makna pendakian rokhani. Padahal proses pendakian rokhani membuat insan-insan manusia semakin peka hatinya yang kemudian terpancarkan dalam laku: ketaatan etika, integritas, simpati dan empati kepada sesama dan prilaku mulya lainnya. Kedua, kesemarakan beragama cenderung menjadi identitas keluar diri, “ornamen” dari identitas sosial, sehingga menjadi luput terhadap upaya penting pembersihan diri terhadap musuh besar dalam diri: Sad Ripu dan Sapta Timira.
Ketiga, dalam fenomena begitu banyak orang mewacanakan agama dan bahkan spiritualitas, tetapi di bawah sadarnya menyadari tidak akan mampu melaksanakannya, tetapi begitu banyak orang percaya dan bahkan punya pengikut, sehingga jalan “keagamaan” sebagai pelarian dan penghiburan, sehingga kesemarakan wacana ini nyaris tidak berhubungan dengan upaya pemantapan etika dan pendalaman moralitas. [T]
KLIK JUGA: