Setelah beberapa kali tertunda, akhirnya Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dibuka bagi turis asing. Tentu kebijakan ini disambut gembira bagi para pelaku wisata. Namun juga, tak jarang bagi kebanyakan, nafas legah ini bisa saja sewaktu waktu kembali terhenti, tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat di Jakarta.
Pemulihan pariwisata Bali pasca pandemi Covid 19 adalah momentum untuk memperbaiki tatanan Bali secara keseluruhan. Disatu sisi, Bali tidak bisa sepenuhnya menggantungkan pada sector pariwisata. Namun disaat yang sama, Bali tidak juga bisa dijauhkan dari Pariwisata. Hal ini menjadi rancu dan diperparah dengan menempatkan Bali hanya sebagai komoditas yang hasilnya dinikmati oleh orang orang pusat (baca Jakarta).
Program pemulihan pariwisata Bali dulunya pernah dilakukan, yakni pasca Bom Bali 19 tahun lalu. Bom yang meluluhlantakan jantung pariwisata Bali tersebut, membuat panik banyak pihak, karena yang terancam adalah keberlangsungan pariwisata.
Pemerintah Pusat akhirnya meluncurkan program recovery dengan tajuk “Bali For The World”, dimana program ini diluncurkan berbarengan dengan perayaan tahun baru 2003 di pantai legian, yang saat itu dihadiri langsung Presiden RI Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz.
Namun, program ini banyak menuai kritik dari rakyat Bali. Ngurah Suryawan (2010 : 249) mengutip catatan Darma Putra (2003) yang menggambarkan bahwa warga bali yang komplain soal ini melalui radio dan koran menyatakan ragu akan ketulusan para pendukung program Bali For The World. Dengan kata lain, Bali For The World itu dianggap proyek orang orang Jakarta mencari uang dari pemerintah dan swasta atas nama Bali, bukan sungguh-sungguh menyelamatkan Bali.
“Keluhan dari daerah juga diarahkan pada makna slogan Bali For The World itu sendiri. Bagi yang tidak setuju, makna slogan Bali For The World identik dengan “Bali untuk Dunia” atau Bali boleh dijual. Slogan seperti itu dianggap langkah mundur dalam promosi kepariwisataan Bali.
Alasannya, masyarakat Bali sudah sejak awal 1970-an tabu menggunakan ungkapan “Bali untuk Pariwisata”, sebaliknya memilih dengan sadar slogan “Pariwisata untuk Bali”. Slogan Bali For The World yang merupakan hasil otak atik “pusat” dianggap sama artinya dengan “Bali untuk Pariwisata” (Darma Putra,2003)
Belum lagi, masih menurut Darma Putra (2003), program ini justru lebih banyak mementaskan musik kolosal rock, yang dianggap bagi masyarkat bali tidak ada kaitannya dengan seni budaya Bali. Mereka yang tidak setuju dengan program dan isi Bali For The World itu berpendapat bahwa hanya orang Balilah yang paling bisa memperbaiki citra Bali.
Pernyataan ini lebih sebagai ungkapan politik identitas dari pada mencerminkan kenyataan karena ternyata setelah era Bali For The World, tidaklah ada program yang dirancang oleh masyarakat dan pemerintah Bali yang terencana dan strategi terfokus untuk memulihkan perekonomian dan pariwisata Bali.
Dalam catatan Sujaya (2004), kritik juga datang dari Bendesa Adat Kuta ketika itu, Made Wendra. “Kalau hanya pentas hiburan tak ada gunanya, buang buang duit saja. Lagi pula yang menikmati hanya artis ibu kota, sementara masyarakat Bali hanya mendapat hiburan sesaat, setelah itu pengeng (pusing) lagi memikirkan nasibnya sendiri. Ini jelas tidak mendidik, tidak mendorong masyarakat untuk berpikir kreatif,” kata Wendra (dalam Ngurah Suryawan, 2010 :251)
Belajar dari pemulihan pariwisata pasca Bom Bali tersebut, pemulihan kali ini harusnya masyarakat dan Pemerintah Bali tidak serta-merta menyerahkan arah pemulihan ke Pemerintah Pusat. Harus ada komunikasi dua arah, dimana keinginan masyarakat Bali bisa diakomodir dengan baik. Momen kali ini juga bukan hanya tentang pintu pariwisata dibuka, tapi juga tentang strategi agar perekonomian Bali bisa berkesinambungan dan tidak tersentralistik ke satu sektor saja.[T]