Air mendidih. Dua kata ini rasanya tepat menggambarkan nuansa pada novel Sublimasi Rasa karya Teddy C. Putra. Novel yang tidak tipis dan juga tidak terlalu tebal ini menyuguhkan sebuah cerita romansa antara sejoli bernama Nata dan Tya, tokoh utama dalam cerita.
Kisah dirajut berdasarkan alur hukum semesta yang berawal dari pertemuan, dan berakhir dengan perpisahan, begitulah cerita dalam novel ini berjalan. Membaca novel ini seperti masuk dalam sebuah kuali cinta yang membelenggu tokoh maupun pembaca. Tokoh Nata dan Tya yang menjalin hubungan jarak jauh membuat mereka seperti berada dalam suatu kubangan rasa yang mendidih dalam diri masing-masing.
Rasa berbunga-bunga, rindu, ragu, berapi-api, pasrah, cemas, takut, dan perasaan yang berlarut-larut, bergejolak sebagai emosi-emosi yang timbul dari tokoh, dan juga berhasil mendidihkan perasaan pembaca yang sesekali turut tenggelam dalam suasana cinta atau konflik yang penulis ciptakan.
Novel bertema romance berjumlah 142 halaman ini memiliki alur campuran. Garis besar cerita berawal dari pertemuan Nata dan Tya di suatu kota, kemudian mereka bertemu kembali di Bali dan saling menyatakan cinta sekaligus mengikrarkan hubungan.
Mereka kemudian menjalani hubungan jarak jauh, Nata di Bali dan Tya di Yogyakarta, lalu timbul konflik yang merenggangkan hubungan dan perasaan mereka masing-masing. Oleh sebab rasa kecewa dan patah hati Tya, akhirnya Tya memutuskan Nata dan cerita berakhir dengan sad ending yang tak terduga. Kisah yang berkelindan pada latar Bali dan Yogyakarta ini menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga, dan narator mengambil porsi cukup banyak.
Sebagai pembaca, saya merasa tempo cerita yang disuguhkan terasa lambat di awal namun sangat cepat di akhir. Menariknya, setiap bab dalam novel ini diawali dengan sajak-sajak yang menjembatani pembaca dengan cerita selanjutnya, sehingga pembaca lebih mendapat kesempatan untuk menerka-nerka dan menginterpretasi secara luas melalui kalimat-kalimat indah yang dirangkai sebagai pintu awal pada setiap bab cerita.
Sajak-Sajak Yang Berbicara
*Bait 3 terakhir pada bab Tatap Yang Memaksa Untuk Menetap
Luka perlahan mengering
Dendam lenyap bersamaan dengan hadirnya pagi
Kegundahan hati mencari obatnya
Walau telah lelah kaki ini melangkah
Akhirnya kutemukan obat itu
Dirimu…
Kalimat “Akhirnya kutemukan obat itu, Dirimu…”, menjadi kode inti cerita pada bab pertama bahwa akan ada pertemuan yang terjadi, yaitu pertemuan Nata dengan Tya.
*Bait 3 terakhir pada bab Merekah di Kala Senja
Harap kini terbentur sebuah tembok besar bernama
penantian,
penantian akan baik jalannya jika diikuti dengan kesabaran
kesabaran juga harus dibangun dengan ketulusan
Apakah kita sudah tunjukkan?
Bait terakhir pada sajak di bab kedua ini memberikan kode bahwa cerita selanjutnya akan menyoal tentang perasaan menanti, dan pertanyaan yang seolah menantang untuk mengungkap segala yang masih tertahan. Akhirnya pada bab kedua ini, cerita menyuguhkan romantisme Nata dan Tya yang kembali bertemu untuk kedua kalinya dan menumpah-ruahkan cinta masing-masing.
*Bait 3 terakhir pada bab Rasa dan Harapan
Percuma pula untuk disesali
Kopi tetap kuseruput meski tak enak lagi
Ada satu permintaanku kini,
Bisakah kita ulangi besok pagi?
Jangan lupa hadirkan kehangatanmu kembali
Dalam bait ini, sangat jelas terlihat bahwa ada suatu penyesalan dan harapan yang muncul bersamaan yang akan mewarnai kelanjutan cerita. Kalimat “Percuma pula untuk disesali” secara terang memberikan kode bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada bab ketiga ini, di mana alur kemudian maju pada momen yang tidak diinginkan Tya maupun Nata.
Nata tak bisa menepati janji kepada Tya untuk pergi ke Yogya, dan akhirnya kejadian ini menjadi titik tolak retaknya keutuhan cinta dan kepercayaan Tya. Kalimat “Bisakah kita ulangi besok pagi?” dan “Jangan lupa hadirkan kehangatanmu kembali”, jelas menunjukkan ada harapan-harapan yang turut mengikuti cerita, yang pada hal ini, Nata tetap tak menyerah dan berkeyakinan pada harapan yang mungkin masih bisa menyelamatkan hubungannya dengan Tya. Sedang di sisi lain, sosok Dika mulai masuk sebagai orang ketiga.
*Sajak terakhir pada bab Merajam Sang Rasa
Lentera itu tepat ada di genggamanmu
Sesaat menyala dengan benderang
Tangan lembutmu menjaga
Seakan memberikanku waktu untuk bernafas
Namun, itu hanyalah sesaat
Dengan hembusan angin yang keluar tepat dari bibir
manismu
Nyala itu seketika redup
Menyisakan kegelapan, kesedihann serta kerinduan
Bertemu dengan cahaya yang sempat kau jaga
Sajak yang mengantarkan bab terakhir pada novel ini memberikan gambaran bahwa ada suatu hal baik yang sempat terjadi namun kemudian berakhir pada ujung perjalanan yang tak lagi memiliki cabang. Pada bab terakhir ini, tokoh mengakhiri hubungan dan menyisakan luka yang mendalam. Namun, kata “redup” pada kalimat “Nyala itu seketika redup” pada sajak di atas, saya rasa kurang tepat karena kalimat yang menyusul kemudian terdapat kata “kegelapan”.
Redup menggambarkan situasi remang yang masih ada sedikit cahaya, maka penggunaan kata “redup” mungkin akan lebih sesuai jika diganti dengan “padam”, sehingga sebab-akibat kalimat akan lebih sesuai. Hal ini sekaligus akan memperkuat kesan berhenti dan memperdalam kesuraman cerita.
Penggambaran Tokoh
Nata dan Tya adalah tokoh utama dalam novel ini. Nata adalah pemuda yang sudah bekerja, sedangkan Tya adalah mahasiswi tingkat akhir. Masing-masing tokoh memiliki pergolakan batin masing-masing sehingga karakter Nata dan Tya memang terasacukup berbeda. Nata memiliki karakter optimis, berpikir matang sebelum bertindak, pasrah, tidak berdaya, namun juga susah move on yang membuat ia berlarut-larut dalam kesedihan. Sedangkan Tya digambarkan sebagai karakter yang egois, manja, labil, dan protektif.
Namun seiring berjalannya cerita, tokoh Tya mengalami perkembangan karakter di mana pada akhir cerita, sosok Tya mengambil sikap bijaksana dalam surat yang menyatakan ketidaksanggupannya menjalani hubungan kembali dengan Nata, tetapi Tya justru membuka kembali kesempatan untuk bertemu dan bercengkrama sebagai teman kepada Nata. Selain Nata dan Tya, terdapat beberapa tokoh yang juga hadir dalam novel ini dan mengambil peran penting dalam menggerakkan cerita seperti Fitri, Dika, Ayah dan Ibu Nata, Nita dan Indri.
Kesesuaian Konteks dan Deskripsi Cerita
Novel ini memiliki tema sederhana soal kisah hubungan jarak jauh yang kemudian dibumbui dengan taburan-taburan konflik yang menggetarkan. Deskripsi-deskripsi cerita pada novel ini sangatlah detail, terutama pada bagian Nata dan Tya yang menghabiskan waktu bersama di Yogyakarta, di momen ini saya sebagai pembaca mampu turut merasakan suasana Yogyakarta yang hangat dari deskripsi yang diberikan.
Konteks suasana yang dibangun di awal cerita terasa sangat sejuk, namun deskripsi yang mengikuti setelahnya terasa kurang sesuai ketika pada bagian pembuka cerita, penulis menggambarkan situasi mendung dengan pendeskripsian detail seperti “Sepasang burung dara sibuk meniti angin seolah kebingungan mencari tempat untuk berlindung. Langit sore seketika gelap disergap awan pekat, suara gemuruh mulai saling bersahutan…”
Tetapi pada kalimat selanjutnya “Akhirnya langit menumpahkan kesalnya, bumi pun kembali basah karenanya” terdapat kata “kembali” yang tidak sesuai dengan pendeskripsian di awal yang ingin memberitahu suasana mendung yang baru akan turun hujan. Seolah-olah kata “kembali” menerangkan bahwa hujan telah terjadi sebelumnya, sedang pendeskripsian suasana di awal menggambarkan keadaan yang baru akan hujan seperti misalnya kehadiran kata “seketika” pada kalimat “Langit sore seketika gelap”, dan kata “mulai” pada kalimat “suara gemuruh mulai saling bersahutan”.
Momen Yang Menggetarkan
Cerita cinta selalu membuat siapa saja hanyut, terlebih ketika cerita yang disuguhkan mampu menggetarkan hati pembaca. Novel ini menyuguhkan banyak sekali adegan Nata dan Tya yag terkadang membuat senyum-senyum atau tertawa-tawa sendiri, kadang menegangkan, kadang juga membuat hati meleleh dan terasa tersedot masuk ke dalam kisah cinta mengharukan yang dalam.
Seperti salah satu bagian yang membuat saya tenggelam dan hanyut adalah ketika Nata dan Tya mengungkapkan perasaan cintanya di sebuah pantai berlatar senja pada halaman 68-69.
Selain itu, terdapat kalimat yang menarik perhatian saya di awal cerita dan saya pikir memiliki makna yang sangat dalam. “Jadi seperti ini rasanya membuka mata, namun hanya gelap yang nampak” (Baris 3, hal 5). Kalimat ini terasa sangat menyubit ketika penulis berhasil mengungkapkan perasaan kelam tanpa terang-terangan mengatakan kelam. Kalimat bermajas hiperbola ini seolah-olah berbicara bahwa saking terpuruknya tokoh Nata, ia bahkan tak mampu melihat apapun selain gelap dan hanya kegelapan.
Salah satu momen lain yang tak kalah menggetarkannya adalah adegan Nata dan Tya jatuh dan saling bertindihan (hal 49). Adegan yang biasa diharap-harapkan, membuat baper, dan membuat yang melihat merasa geregetan. Namun pada adegan ini, penulis tidak banyak mendeskripsikan bagaimana perasaan tokoh satu sama lain dan langsung dilanjutkan pada percakapan yang membangunkan mereka dari dekapan dan tatap yang saling bertautan.
Hal Lain Yang Berkelindan
Meskipun gagasan utama novel ini menyoal tentang cinta, namun dalam novel ini kita bisa menemukan hal-hal lain yang turut berkelindan mewarnai cerita yang juga menjadi perhatian penulis. Seperti misalnya soal politik di mana tokoh Nata fasih membicarakan mengenai politik di awal cerita kepada Tya.
Di samping itu, isu perempuan juga masuk ke dalam cerita pada pada halaman 54 saat Fitri menjelaskan kepada Tya bagaimana perempuan juga harus menentukan sikap yang tegas soal cinta. Pada suatu bagian, ilmu soal komunikasi juga turut mewarnai cerita yang dikemas dengan narasi cukup panjang tentang peran dan manfaat komunikasi yang terlihat jelas pada paragraf 2 halaman 18. Dan hal lainnya yang banyak berkelindan pada novel ini adalah keresahan penulis pada lingkungan. Seperti misalnya pada bagian,
“Bukan hanya padat karena kendaraan yang sibuk hilir mudik kesana-kemari, banyak juga pengguna jalan yang “tidak tahu diri” memarkirkan kendaraannya sembarang saja” (Paragraf 1, hal 10).
“Belum lagi pedagang kaki lima juga sering memanfaatkan badan jalan dan trotoar sebagai lahan berjualan, makin lengkap semrawut lalu lintas” (Paragraf 1, hal 10).
Pada bagian lain, di tengah percakapan Nata dan Tya, Nata menjelaskan soal bagaimana keresahannya terhadap Bali dibalik keeksotismeannya yang terkenal (Paragraf 4 hal 31 dan paragraf 2 hal 41). Hal-hal ini tentu tidak hadir secara tiba-tiba, isu-isu yang muncul menunjukkan bahwa penulis menaruh perhatian lebih pada beberapa hal tersebut.
Hal ini juga didukung oleh wawasan luas yang dimiliki penulis dan kekayaan bacaan yang dimiliki yang terlihat pada beberapa percakapan dan keterangan dalam paragraf; “Enggak baik buat kesehatan kalau tidur pakai earphone kalau aku baca-baca artikel”. “kalau menunggu, ia akan menghabiskan waktu bersama buku bacaannya. Ya seperti kali ini ia sedang ditemani oleh Ronggeng Dukuh Paruk setebal kurang lebih 400 halaman” (Paragraf 1, hal 12).
Penyaringan Hal-Hal Yang Muncul
Banyak hal selalu mungkin masuk ke dalam cerita, namun penulis biasanya akan membuat batasan atau memagari skema cerita yang dibuat melalui penyaringan atau filterisasi yang diperhitungkan dengan ketat. Pada bab pertama cerita, terdapat kalimat “Tetapi di sisi lain tumbuhan hijau menyambut gembira sinar matahari yang menghujaninya. Itu menandakan kalau proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik dan sempurna, sehingga mereka bisa mempertahankan kelangsungan jenisnya” (Paragraf 2, hal 13).
Pada bagian ini, penulis menaruh fokus pada cuaca yang sangat menyengat di bandara dan menjelaskan soal tumbuhan dan fotosintesis yang menyertainya. Mengapa kemudian penulis lebih penting menceritakan soal tumbuhan daripada situasi di bandara atau perasaan menunggu tokoh yang diminta bersabar oleh panitia untuk menunggu peserta lain? Sedang di sisi lain, tokoh telah berbekal perasaan bersemangat sejak sedari rumah. Tapi kenapa kemudian fotosintesis yang justru masuk dan mendapat perhatian?
Menciptakan Rasa Penasaran dan Humor-Humor Kecil
Menjaga rasa penasaran pembaca adalah salah satu hal penting yang pasti dipertimbangkan penulis. Pertemuan-pertemuan tak disengaja antara Nata dan Tya menjadi titik awal yang makin menguatkan hubungan mereka, sekaligus memberi rasa penasaran pada pembaca soal siapa dan bagaimana selanjutnya cerita akan berjalan. Misalnya pertemuan tak disengaja di mini market, lalu kembali bertemu di lift hotel secara tak disengaja pula, dan kemudian makan bersama.
Humor-humor kecil juga hadir melengkapi hubungan Nata dan Tya yang dihadirkan melalui percakapan. Hadirnya humor-humor kecil pemecah suasana dingin khas anak muda yang sedang PDKT menjadi hal yang tak luput tersisip pada kisah-kisah cinta yang baru bersemi seperti yang juga hadir dalam novel Sublimasi Rasa ini.
Misal pada percakapan Nata dan Tya di sebuah taman. 1). “Kalau sudah tidak enak kenapa dipaksakan?” tanya Tya penasaran. “Karena sudah dibayar kan. Makanya harus dimakan. Hahahaha.” Jawabannya sontak mengundang gelak tawa dari mereka berdua. 2). “Enak saja bilang aku bapak. Sejak kapan aku nikah sama ibumu!” sahut Nata dengan nada yang agak tinggi dan disusul dengan tawa mereka.
Secara keseluruhan, novel bergenre romance berkisah cinta Long Distance Relationship ini mampu relate bagi pembaca yang mengalami atau tidak mengalami hubungan cinta jarak jauh. Novel yang dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami ini sukses membuat saya sebagai pembaca turut tenggelam dalam kisah cinta Nata dan Tya. Cerita berjalan begitu seru dan asyik, sehingga pembaca akan hanyut membaca sampai akhir tanpa sekalipun ingin berhenti. [T]
_____
BACA JUGA:
_____