Ada satu hal yang Grudug hindari bila tinggal di kampung: terlibat dalam upacara adat. Bagi sebagian orang, upacara adalah tempat untuk bertemu saudara, berkumpul, dan bergibah—itu idealnya—tapi adalah suatu tekanan bagi Grudug yang pengetahuannya di bawah rata-rata tentang segala pernik upacara, sopan-santun yang harus dituruti, dan segala keperluannya; semua itu rumit, seperti benang kusut yang tiba-tiba muncul di kepala bila ruwet memikirkan sesuatu.
Upacara seperti sebuah kepastian, akan tiba dan tidak mungkin untuk menghindarinya. Grudug pun demikian. Suatu waktu, ia tidak bisa menghindar. Seperti ketika upacara digelar di rumahnya. Orang tuanya sibuk menyiapkan Banten dan keperluan lainnya. Ia sebagai anak tunggal, muda—dan sedikit tidak bisa diandalkan—mendapat tugas sederhana, layaknya anak muda yang tumben urun dalam kegiatan adat: mencari beberapa jenis tanaman sebagai pelengkap sarana upacara. Orang tua, paman, sepupu yang sibuk tidak memberinya rambu-rambu tentang tanaman yang mesti dicari untuk keperluan upacara.
“Pergi ke rumah Paman Anu, tanya jenis-jenis tanaman yang diperlukan di sana,” kata salah seorang saudara padanya.
Dengan berat hati, Grudug menghubungi teman untuk membantunya memburu keperluan. Salah satu hal yang menempel di kepalanya ialah babakan badung. Entah apa yang disebut “babakan”, entah apa yang disebut “badung”. Kata-kata itu begitu asing. Masa kecilnya rasa-rasanya tidak tersentuh oleh tanaman macam itu—pengetahuannya tentang tanaman dangkal betul, mungkin ia pernah melihat, hanya saja tidak tahu nama. Dan, setelah ia berkunjung dan berat hati bertanya pada orang yang ditunjuk oleh saudara, lagi-lagi ia dilempar ke rumah-rumah tetangga. Tampaknya telah menjadi pengetahuan umum, jika seseorang memiliki tanaman yang dibutuhkan untuk upacara, maka akan sering dikunjungi tetangga.
Sejak saat itulah, pengetahuan Grudug tentang tanaman mulai bertambah. Beberapa di antaranya sudah ia tahu karena masa kecil anak kampung seusianya pasti sempat bersentuhan dengan tanaman seperti itu, hanya saja ia belum tahu nama dan fungsinya dalam upacara. Ia berpikir sejenak. “Betul bila upacara adalah salah satu ritus untuk mempertahankan tanaman tertentu, betul bahwa upacara menjadi satu tempat penurunan pengetahuan tentang tanaman, tapi bagaimana jika suatu tanaman tidak masuk dalam daftar yang dibutuhkan? Bolehkan kita menambah kebutuhan tanaman dalam upacara agar lebih banyak tanaman yang bertahan?” bisik Grudug dalam hati.
Ia kagum. Kagum atas pertanyaannya sendiri. “Orang cerdas harus bertanya cerdas,” katanya. Padahal, jika diingat-ingat, beberapa tanaman yang ia butuhkan itu sesungguhnya pernah ada di rumahnya. Tapi, semua tanaman itu dianggap kuno, tak bernilai estetik—entah apa yang ia maksud estetik—tak mirip taman di hotel… tak mirip taman di hotel!
Bayangkan saja, Grudug bermimpi taman di rumahnya tertata dengan tumbuhan yang ia anggap enak dipandang seperti villa, bungalow, bahkan motel. Eh… Hotel!
Sebelum Grudug menjadi negara api yang menyerang tamannya sendiri, sesungguhnya di halaman rumahnya ditumbuhi tanaman yang semuanya berguna; katakan saja, tanaman bunga, tanaman dengan daun-daun yang akan selalu diperlukan, bahkan toga, alias tanaman obat keluarga. Meski berwarna, tanaman bunga yang ada di kebunnya tidak ada dalam daftar bagus menurut hotel, jadi harus dicabut. Lalu begitu seterusnya dengan tanaman-tanaman lain. Ia mencabut semua hingga halaman rumahnya mirip taman di hotel.
“Orang-orang dulu memang tak mengenal keindahan,” katanya. Padahal, jika diingat-ingat, dulu, halaman rumah tidak memerlukan perhatian khusus. Tanaman tumbuh dan dipotong seperlunya dan semua itu bisa bercampur: cabai, bunga, kencur, kunyit, dan sebagainya. Tapi, sekarang, taman di halaman rumahnya harus dirawat, sebab tak ada yang masuk dalam daftar tumbuhan yang digunakan dalam ucapara atau kebutuhan lainnya. Jadi, jika lewat beberapa bulan, rumahnya akan lebat, dan dia harus menata lagi, misal: beberapa bagian harus dicukur agar tetap simetris dan rapi, sebagian lagi agar bentuknya tetap bagus, sebagian lainnya agar berbunga dan subur.
Kebiasaan memang bukan suatu yang gampang diubah. Di taman yang rapi, dengan pot-pot tertata, tiba-tiba tumbuh segerombolan cabai, tomat, gemitir, dan sebangsanya itu. Grudug tahu siapa yang mempunyai perkerjaan itu: paman atau bibi atau orang tuanya. “Mereka memang tidak paham kerapian,” ungkapnya.
Kebiasaan lama itu sesungguhnya sangat memudahkan. Dulu, sebelum sebagian besar halaman dibeton, tanah yang agak luang belum diisi rumput berkelas yang tidak boleh dicampur tanaman lain, cabai bisa tumbuh di mana-mana. Jadi, cabai bukan suatu hal yang sulit dicari, jika bukan di dekat dapur, di halaman rumah, paling tidak bisa ada di belakang rumah. Maka, tak ada keluhan cabai mahal, sebab sebatang-dua batang cabai sudah cukup untuk beberapa waktu.
Mungkin, jawaban atas pertanyaan “bagaimana kita melestarikan tanaman?” tidak penting lagi, sebab, paling tidak, upacara telah membuat Grudug menjadi tahu bahwa tanaman yang semasa kecil hanya dia makan atau permainkan adalah tanaman penting yang mesti dijaga karena selalu dibutuhkan. Dan, lebih dari itu, halaman rumah adalah tempat untuk mendapatkan tanaman itu sebelum keinginan menjadikan halaman rumah seperti halaman villa yang perlu dirawat, yang harus selalu ditata, diperhatikan, yang sesungguhnya merepotkan.[T]