Dia membangunkan Rai, adik laki-lakiku yang terjatuh. Hari-hari selanjutnya dia menjadi tetanggaku. Keluargaku tinggal di kost-kostan. Satu pekarangan dengan tempat kostnya. Aku memanggilnya “Mas”, meski dia lebih pantas jadi kakekku. Usiaku 3 tahun ketika pertama kali mengenalnya sedangkan Rai berumur 1,5 tahun. Rambut Mas sudah memutih, terikat memanjang menyentuh punggung. Tubuhnya sangat kurus. Tiap hari dia keluar bersepeda. Aku hanya mendengar dia pergi ke Ubud ketika dia berpamitan ke bapakku. Saat dia di rumah, aku sering melihatnya menggambar. Mas memberiku buku dan alat gambar seperti pensil warna dan oil pastel. Saat mulai sekolah, lebih sering aku mendapatkan fasilitas tersebut. Aku dan Rai juga sering mendapat jajan.
Mas lebih perhatian padaku daripada Rai. Barangkali karena Rai sangat nakal. Sering mengganggu ketika Mas sedang menggambar. Mas kerap memarahinya. Meski sangat nakal, aku sangat menyayanginya. Ia adikku satu-satunya. Mas juga pernah memarahiku karena aku mengintip ketika dia sedang mandi. Entah, mengapa aku ingin melihatnya di kala mandi. Mungkin karena kebiasaanku mandi bersama Rai dan Bapak. Sesungguhnya aku ingin tahu, apakah dia seperti aku dan Ibu atau seperti Bapak dan Rai. Rambut Mas panjang seperti milik Ibu. Mas bercerita, sewaktu kecil, aku pernah minta “cemen capi dan cate”. Dia bingung. Aku tak ingat rasa permen sapi dan sate tersebut. Mas cuma berjanji membelikan tapi hingga kini tak pernah ditepati.
“Sinta kangen sama Mamak?” tanya Mas suatu ketika sambil mengusap kepalaku. Aku biasa memanggil ibuku: Mamak. Sudah 2 tahun ia meninggalkanku. Ibu bekerja di Turki.
“Kangen,” jawabku. Aku ingin menangis tapi airmataku tak mau keluar. Mungkin karena ada perasaan marah pada ibuku.
“Mamak kerja mencari uang agar Sinta dan Rai bisa sekolah dan menjadi pintar,” kata Mas menghiburku. Aku sedih. Sangat kangen sama Mamak. Sejak Mamak pergi, Bapak jadi kerepotan mengasuhku dan Rai. Apalagi kalau ada yang minta dibuatkan sate. Bapakku menerima pesanan jika ada yang membutuhkan sate. Sebelumnya, Ibu berdagang pakaian di pasar. Ketika dagangan tidak laku, Ibu membantu Bapak. Situasi semakin sulit saat pemesan sate semakin berkurang. Akhirnya Ibu berangkat ke Turki, bekerja sebagai terapis di Spa Center. Di usiaku yang baru 3,5 tahun, aku membiasakan mandi sendiri. Mencuci gelas atau piring sehabis makan. Juga membantu menyapu lantai dengan tangkai sapu setinggi badanku. Meski awalnya jijik, cebok juga kulakukan sendiri. Hanya Rai yang masih perlu dibantu melakukan beberapa hal bahkan aku juga membantu menyuapinya. Dia masih terlalu kecil. Kenakalannya bisa jadi disebabkan oleh kepergian Ibu.
“Sinta!” Mas merentangkan kedua tangannya, memintaku menyambutnya. Aku menghampiri dan memeluknya erat. Kurasakan tulang-tulang tubuhnya menekanku. Dia amat kurus. Beda dengan tubuh ibuku yang mokoh, gemuk. Aku ingin menangis tapi kutahan. Airmataku mulai meleleh, dadaku tersengal. Mas mengusap punggungku, menyuruhku menangis.
“Menangislah! Sinta kangen Mamak, kan?”
Aku terisak. Kutumpahkan tangisku. Airmata dan ingusku membasahi punggungnya. Sudah lama aku tak merasakan pelukan. Bapakku tak pernah lagi memelukku. Barangkali aku dianggap sudah besar atau karena dia terlalu sibuk. Dia lebih sering membelai ayam-ayam jagonya. Meskipun begitu, Bapak tak pernah telat memasak makanan untukku dan Rai. Di waktu subuh dia sudah ke pasar, belanja untuk kebutuhan makan kami. Aku dan Rai sangat kangen Mamak.
~~~
Rai memang bengal. Tubuhnya dirajahi tato, hampir memenuhi setengah badannya. Tiap hari mulutnya bau alkohol. Sering teman-temannya main ke rumah. Berjudi ceki sambil menenggak arak oplosan. Kalau sudah mabuk berat, mereka tidur di sembarang tempat. Di bale, di lantai, teras, di halaman, bahkan tengkurap di atas motornya. Bangunnya siang pula. Suatu saat dia pernah berurusan dengan polisi terkait kasus penjambretan turis. Adikku juga tergabung di sebuah “ormas” yang disegani. Sejak masuk ke “geng’ tersebut, tingkahnya semakin ugal-ugalan dan sok jagoan.
Aku tinggal di rumah dengan Rai. Rumah ini dikontrak Mamak. Turki lebih memilih kost di tempat lain. Dia tak betah di rumah. Hubungannya dengan Rai tak harmonis. Turki sangat rupawan. Sosoknya tinggi, hidungnya mancung. Tidak seperti hidungku yang pesek. Kuduga itu yang menyebabkan Rai tak menyukainya. Wajah Rai jelek, hidungnya pesek, jidatnya menonjol. Mas menjulukinya “si Panjul”. Itu juga yang menyebabkan Mas sebal padanya. Sudah jelek, bengal pula. Tidak sepertiku. Meski aku pesek dan tidak cantik, tetapi aku lucu dan menggemaskan, begitu menurut pengakuan Mas kepadaku.
Alasan lain kebencian Rai pada Turki, dia dianggap pembawa bencana di keluarga kami. Kepulangan Mamak dari Turki belasan tahun silam hanya sesaat menebar kebahagiaan. Mamak tidak hanya membawa uang banyak tapi juga membawa janin di perutnya yang membesar. Di Turki, janin pernah dicoba digugurkan. Rupanya Tuhan berkehendak lain, tak ingin ibuku terjerumus di kubangan dosa yang lebih dalam. Janin itu selamat. Ibuku memberinya nama: Nyoman Turki, anak ketiga yang lahir dari rahimnya. Orangtuaku akhirnya bercerai. Bapak tinggal di Karangasem dengan istri barunya dan anak hasil perkawinan mereka. Jika kangen padanya, aku menyambanginya. Ibuku lebih sering kerja di luar negeri.
Suatu ketika aku bertemu kembali dengan Mas. Kami memang sudah tidak bertetangga lagi. Mas masih setia dengan sepeda bututnya yang diberi nama “si Putih” walau warna catnya bisa dibilang tidak putih lagi. Mas memang tergolong pemalas dalam urusan merawat sepeda dan membersihkan kamar. Ketika kami masih bertetangga, seingatku tak lebih dari tiga kali dia membersihkan sepeda dan kamarnya. Aku tak ingat, apakah dia pernah menjemur kasur dan bantal. Tiap hari aku ke studio Mas. Belajar melukis dan membantu membersihkan studio dan memasak. Terkadang lukisanku dijualkan olehnya. Entah dijual kepada siapa. Lumayan menambah bekal untuk memenuhi kebutuhanku.
Mas bukan pelukis terkenal atau pelukis yang karyanya jadi buruan para kolektor. Kondisi ekonominya tak stabil. Kalau tabungan menipis, kami hanya makan dengan lauk mie instant dan krupuk. Jika dia kehabisan uang, aku belanja menggunakan uangku untuk keperluan kami. Setelah dapat uang, Mas menggantinya. Tugasku juga membantu mendasari, memberi warna awal pada lukisannya. Istilah kerennya “artisan”. Tak ada yang bisa kubanggakan dari pekerjaan ini. Lain cerita jika sebagai artisan pelukis top. Meski kesejahteraan materi pas-pasan, aku bahagia kerja bersama Mas. Menjadi bagian dari proses berkeseniannya.
~~~
Terasa ada yang menindih tubuhku. Aku terjaga. Gus Arya dalam keadaan mabuk berat berada di atas tubuhku. Dia amat kuat menguasaiku. Aku ketakutan, tak mampu melawan. Dia anak orang kaya dan keluarganya sangat disegani di desanya. Dia juga anggota ormas sementara aku cuma anak rantau. Pertahananku runtuh. Malam itu hidupku serasa berakhir. Tidak! Bukan hanya malam itu. Malam yang lain, yang kemudian hari. Adikku sendiri menggagahiku. Rai berubah seperti setan. Rona mukanya merah padam. Entah apa yang dia minum malam itu. Perbuatan Rai sungguh dalam melukai hatiku. Adik yang kusayangi telah tega menistaku. Ingatanku pada Mas yang membuatku tegar.
Setelah kejadian-kejadian itu, aku bersikap biasa di hadapan Mas. Seolah tak terjadi sesuatu. Memang peristiwa itu bukan pengalaman pertama atau kedua persetubuhanku. Hubungan intim pertamaku kulakukan bersama Mas. Saat itu dia memintaku menjadi model setengah telanjang. Hanya bagian dada yang terbuka. Entah intuisi apa yang menggerakkannya saat menghampiriku dan yang kuingat aku pun hanya pasrah, seperti ketika dulu aku menghampiri saat dia merentangkan tangan. Hari-hari selanjutnya aku tinggal di studio Mas. Mengetahui aku tinggal di tempat Mas, Gus Arya sering berusaha menemuiku. Aku selalu menghindar tapi dia tetap bersikukuh mendatangiku. Suatu ketika Mas berkata padaku: “Aku tak melarangmu pacaran. Kau sudah dewasa. Sudah sewajarnya punya pasangan yang sama-sama muda.”
~~~
Gus Arya berkelit ketika kusampaikan bahwa sudah 2 bulan aku tak menstruasi. Dia malah menyuruhku untuk menguret janinku. Dia mengelak mengakui bahwa janinku adalah bakal anaknya. Dia menuding bakal anak yang kukandung adalah hasil persetubuhanku dengan Mas. Demi Tuhan, hanya sekali Mas menyetubuhiku. Selang kemudian hari, aku mendapat kabar bahwa Gus Arya ternyata sudah punya istri. Selingkuhannya bukan aku saja. Dia menggaet perempuan Jepang yang tengah membangun villa di pinggiran Ubud. Hubungan kami berakhir. Angan-angan masa depan yang sempat terajut di benakku pupus sudah. Anakku bakal lahir seperti Turki, anak haram Mamak. Lahir tanpa ayah.
“Anakmu mirip kamu. Aku jadi ingat pada waktu kau kecil. Hidungnya juga pesek. Mau cemen capi, nggak?” seloroh Mas terkekeh menimang putriku. Dia sangat menyayanginya. Kami bertiga hidup bahagia hingga Putu Melati berusia 4 tahun. Kebahagiaan itu tercabik pada suatu malam. Rai datang mencoba memeras Mas. Karena kemauannya ditolak, Rai menghunjamkan senjata tajam ke tubuh yang renta itu. Mas tumbang bersimbah darah dengan banyak luka belati. Jenazahnya dimakamkan di kampungnya di Jawa Tengah. Rai mendekam di penjara, menjalani hukuman 15 tahun. Peninggalan dari Mas yang kumiliki hanya 9 buah lukisan diriku sebagai model dengan berbagai pose. Cuma mimpi jika berharap lukisan-lukisan itu menjadi mahal setelah sang pelukis meninggal. Sudah lama ibuku tak berkirim kabar. Turki menyusul Ibu setahun lalu. Mamak pindah kerja ke Suriah. Perang berkecamuk hebat di sana. Kabar kematian senantiasa membayangiku.
“Sinta… Kerjaaa!” teriak Mami membuyarkan lamunanku. Pelangganku datang. Laki-laki renta berusia 80 tahunan. Rambut putihnya terikat memanjang menyentuh punggung. Di kamar, kami tidak bersetubuh. Dia hanya membuat sketsa-sketsa tubuh telanjangku. Dia pelukis. Aku tak peduli, terkenal atau tidak.
Bedulu, 11-1-2020