Membaca Hamsad Rangkuti adalah membaca cerita dan gelagat warga yang sesekali banyol dan sekali yang lain penuh kejutan. Hamsad mungkin sekarang cekikikan tertawa dalam kuburnya, ketika mengetahui kita pun tertawa membaca cerpen-cerpennya.
Cerpen-cerpennya seakan lebur dalam lelucon yang mengagetkan. Membacanya adalah membaca upaya kejutan yang dia bangun dengan kesadaran;yang dia dapat dari membubuhkan ulang apa yang dia lihat, dengar dan baca dari surat kabar. Seolah kita berpijak pada kegamangan yang dibangun—kegamangan fakta maupun fiksi.
Lingkar Studi Sastra Denpasar memilih Hamsad Rangkuti sebagai bahan diskusi Semenjana (Seri Membincang Jalan Ninja). Agenda diskusi tersebut adalah membicarakan cerpen-cerpennya sekaligus menilik proses kreatifnya yang dilakukan dengan membaca karya-karyanya maupun sumber lain yang dirasa mewakili.
Adapun cerpen-cerpennya yang didiskusikan yaitu; Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?, Pispot, Gelombang yang Berlabuh, Nyekar, serta Si Lugu dan Si Malin Kundang.
Tinja dalam Semesta Hamsad Rangkuti
Hamsad Rangkuti kerap mengatakan bahwa dirinya memiliki imajinasi liar untuk menuliskan cerita atau yang kerap ia sebut sebagai kebohongan. Imajinasi-imajinasi itu membawanya ke banyak tempat dan banyak hal, termasuk pembicaraan mengenai tinja atau feses pada manusia. Tinja menjadi salah satu tema yang dieksplorasi oleh Hamsad untuk melihat berbagai sudut pandangnya.
Dari lima cerpen yang didiskusikan di pertemuan pertama, Pispot adalah satu cerpennya yang mengeksplorasi tema tinja. Meskipun begitu, Pispot bukanlah satu-satunya cerpen Hamsad yang membicarakan tinja. Dalam Pispot, tinja tak dilihat sebagai sesuatu yang menjijikan—seperti halnya kita membicarakan tinja atau kotoran manusia pada umumnya. Tinja dalam Pispot seolah-olah adalah jari-jari yang menggelitik kita, membuat kita untuk sesekali nyengir atau tergelak menertawainya. Seperti pada kutipan-kutipan berikut ini:
“Semua keterangan itu sudah cukup meyakinkan! Ambil obat pencahar! Pisang dan papaya. Suruh dia mencret seperti burung. Lalu tampung kotorannya!”
Si penjambret meminta pispot baru. Kemudian orang yang membawa alat pengeras suara masuk kembali ke dalam ruangan berkaca dan menyambut pispot yang diulurkan dari balik papan penyekat. Lalu terdengar suara dari dalam pengeras suara: “Belum juga! Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini sumbu singkong rebus!”
Cerpen Gelombang yang Berlabuh, misalnya. Cerpen ini dimulai dengan lambat untuk menuju kisah tokoh. Tempo lambat tercipta dari deskripsi tentang tsunami yang begitu rinci. Dalam konteks ini, pembaca akan dibuat berada di antara: fiksi dan realita. Cara ini tampak memberi efek kenangan, seperti visual menonton film yang menyuguhkan suasana terlebih dahulu tapi dalam membaca cerita yang singkat, bukankah kita tidak punya banyak waktu yang luang untuk mengenang? Hamsad mencoba mengajak pembaca melakukannya. Pada cerpen ini Hamsad Rangkuti tampak lihai menghadirkan berbagai kejutan, baik di awal, tengah, dan akhir. Ia memberi patahan-patahan yang sulit untuk kita tebak. Ia meletakkan patahan di saat pembacanya sedang menikmati momen-momen tertentu.
“Sudah ingin ke jamban?” katanya
“Dia baru menelannya. Belum. Sebentar lagi, Pak.”
“Bagus! Kalau dia tidak suka papaya dalam negeri, kita bisa sediakan papaya Bangkok!” Dia tutup pintu kaca itu.
Petugas itu tampak memeriksa isi pispot dengan ranting. Terdengar dia melaporkan apa yang dia lihat di dalam pispot.
“Belum keluar! Baru biji-biji kedelai. Rupanya dia makan tempe!”
Dialog ini terdapat dalam cerpen Pispot, cerita diakhiri dengan cara yang menarik. Pembaca diajak pada pilihan yang tegang, antara kemurahan hati si Saksi untuk minta maaf karena menyesal dan menghentikan taksi agar pikirannya tidak berubah. Sebenarnya, situasi hati si Saksi sangat manusiawi. Sebagai manusia, tokoh itu sangat masuk akal, sebab manusia selalu memiliki pertentangan dalam diri.
Di satu sisi dia kita anggap baik, tapi di sisi lain dia tampak kehilangan empati. Selain itu, dialog satu kata yang diulang-ulang menjadi foreshadow dalam cerita ini. Namun, penanda ini belum bisa membuat pembaca memutuskan sesuatu. “Tidak,” kata si Pencuri, dan dengan kesaksian yang ragu, “tidak” itu pun bermakna ambigu: Saksi ragu, sementara si pelaku takut, takut yang dimiliki setiap orang yang menghadapi bahaya di depannya.
Ikhwal Lain di Kepala
Kemampuan Hamsad memilih diksi yang biasa-biasa saja–yang dekat dengan keseharian kita, membuat kita menikmati setiap ceritanya tanpa pernah dibuat pening memikirkan maksud dan tujuannya. Tak heran jika cerpen-cerpennya dinikmati bahkan hingga anak kelas lima SD[1].
Sapardi menyebut Hamsad seorang pengamat yang cermat. Menggunakan berbagai Teknik penulisan cerita dengan baik, terutama kejutan pada pengulangan dan penutup cerita, menimbulkan suasana mencekam sekaligus menggelikan. Dalam ketegangan, pembaca secara diam-diam dibuat merasakan bahwa peristiwa itu lucu, meski tetap menyiratkan amanat. Segala kenyataan, kebenaran, dan apa yang telah terjadi sungguh-sungguh tidak terduga, kecuali kejutan-kejutan menyegarkan yang tetap terjaga di dalam bingkai[2].
Sosok tokoh jalinan kisahan Hamsad Rangkuti jauh dari pretensi absurd atau surreal sehingga pembaca merasa dekat dengan setiap kejadian dalam karangannya. Mereka tidak terkesan diperalat sang empu cerita. Dengan kata lain, tokohnya dalam plot terlihat leluasa mengekspresikan sikapnya. Cerita dibuat dekat dan bernilai ironi maupun sarkasme. Hal ini mencirikan bacaan yang dihadirkan bersifat reflektif, meresepsi pembaca[3]. Hamsad mencoba mengajak pembacanya untuk melihat realitas sekitar, sedikit mencubit kesadaran pembaca bahwa permasalahan yang kompleks tidak hanya dihadirkan pada ranah-ranah elitis. Tetapi juga hadir di tengah-tengah kehidupan rakyat kecil yang tidak berdaya.
Hamsad kecil adalah seorang pelamun yang parah. Ia menyadari hal ini dan hal ini sempat dituliskannya pada artikel yang ia berikan pada Pamusuk Eneste. Hamsad kecil bisa menghabiskan berjam-jam untuk duduk di pohon dan melamun. Sesekali ia akan pergi menonton pementasan buruh-buruh Jawa untuk menonton ludruk, wayang orang serta wayang kulit. Sesekali ia pun ikut ayahnya yang bekerja sebagai penjaga toko malam. Ayahnya sering bercerita padanya dan ketika ayahnya sedang tidak bercerita, dia akan duduk sedikit menjauh dari ayahnya, berdiam di dalam gelap dan tentu saja—melamun.
Ketika ia beranjak lebih dewasa, sepulang sekolah ia tak langsung pulang. Ia kerap pergi ke kantor Wedana, membaca koran-koran yang terbit di Medan dan berdiri membacanya. Di sinilah ia bertemu dengan Mimbar Umum, sebuah koran yang setiap minggu memuat cerpen-cerpen terjemahan. Mimbar Umum tersebutlah yang menjembataninya sehingga bertemu dengan karya-karya Anton Chekov, Gorky, Hemingway, O. Henry dan lain sebagainya. Karya-karya dari penulis tersebut yang membuatnya tahu bahwa karya yang baik adalah karya yang bisa mengganggu batinnya meskipun setelah selesai membacanya. Karya-karya penulis itu pun yang ternyata memberinya semangat untuk juga menuliskan cerita, cerita yang dapat mengganggu batin pembacanya.
Karena hidup dalam cerita masa kecil yang dekat dengan rakyat kecil, menjadikan dia tumbuh sebagai penulis yang mengangkat apa-apa yang dekat dengannya. Tema-tema tulisan Hamsad Rangkuti berkelindan antara rakyat kecil yang menderita dan tentang nasib yang tidak kuasa mereka lawan. Seolah-olah ia menjadi bagian dari rakyat kecil tersebut, ia tidak menuliskan kesengsaraan dengan cara bersedih-sedih, namun sebaliknya.
Hamsad menjungkirbalikan penderitaan dengan cara-cara yang tak jarang mengagetkan kita, dengan penyampaian yang tidak bombastis. Seolah ia memiliki segudang cara mengajak kita menertawai kejadian-kejadian yang dialami karakternya. [T]
- Penulis: Juli Sastrawan
[1] Pamusuk, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang
[2] Sapardi, “Hamsad Mendongeng”, dalam Wanita Muda di Sebuah Hotel, op.cit., h. 16-17
[3] Satmoko Budi Sasonto, “Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhkan Menara Gading, Kompas, Minggu, 8 Juni 2003, j. 018.