Kemajuan pengetahuan dan teknologi, menumbuhkan konsep pengembangan budaya dalam konsep industri wisata. Perkembangan seni pertunjukan yang ada juga menjadi simbol dari representasi cara menyajikan dan model pengemasan yang representatif untuk disajika dalam kemasan wisata. Oleh sebab itu, muncul pemikiran bagaimana suatu kemasan seni pertunjukan dapat disajikan dalam momen paket wisata yang dapat menjajinjikan.
Konsekuensi logis adalah bahwa paket wisata bentuk dan mode penyajiannya memiliki ciri yang berbeda dengan kemasan aslinya. Hal ini patut dipertimbangkan mengingat bahwa kemasan wisata bertujuan sebagai kemasan yang disajikan untuk kepentingan sesaat. Pada sisi lain, apabila wisatawan memerlukan kemasan tari tradisional asli sesuai bentuk dan mode penyajiannya disarankan untuk mendatangi tempat atau narasumber tari tradisional yang secara representatif menggali dan melestarikan tarian dimaksud.
Semakin ramainya industri pariwisata, seni tari tampil ke permukaan. Aktivitas seni tari membawa dampak semakin banyaknya frekuensi pentas tari untuk industri pariwisata. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan pasar seiring dengan kebutuhan penyangga sarana wisatawan membutuhkan hiburan. Maka muncullah kreativitas ide gagasan untuk mengkemas seni pertunjukan untuk lebih menarik yang nantinya akan dikonsumsi oleh wisatawan sebagai produk seni wisata.
Paradigma perkembangan wisata dengan keterkaitan seninya, seni tari untuk produk wisata menuntut adanya unitas yang mesti terjadi adanya penyesesuaian diri atas terwujudnya kesatuan sistem. Aspek kehidupan kemanusiaan, kedudukan tari sebagai pelengkap, kredibilitas kebutuhan sesaat, dan produk wisata lebih ditekankan menjadi pertimbangan bentuk dan mode tari dipentaskan.
Pemikiran mendalam, bahwa pertunjukan tari yang bertujuan untuk sesaat tidak memiliki konteks tujuan melepas begitu saja terhadap akar budaya yang dimiliki oleh masyarakat aslinya. Tidak mustahil bahwa kemasan seni tari untuk wisata tidak semena-mena demi kepentingan wisata saja kemudian membuat kemasan produk wisata seadanya. Pandangan ini keliru, ini menjadi salah satu alternatif strategi bagi studi lanjut tentang tari sebagai aset industri wisata ( Arief Eko: 2004, 50-59).
Kontek kepariwisataan dimengerti sebagai pemberdayaan nilai ekonomis melalui sejumlah komuditas. Penambahan penghasilan bangsa banyak digali melalui potensi ini. Pengembangan kepariwisataan secara eksplisit dirumuskan melalui kunjungan wisata dan bagaimana menyajikan kepariwisataannya. Modifikasi memperkenalkan dan medayagunakan potensi sumber wisata untuk peningkatan potensi sumber daya manusia (SDM), kondisi geografis, kondisi budaya menjadi pilihan dan alternatif munculnya industri pariwisata dalam bentuk komoditas kemasan seni tari untuk wisata.
Kemasan industri wisata dalam bentuk tari untuk seni pertunjukan wisata menempatkan tari sebagai obyek wisata. Pemanfaatan tari dikemas berdasarkan kemasan wisata berlatar belakang pada kondisi geografis, kondisi budaya akar budayanya menjadi kunci kemasan wisata tersebut dipentaskan. Alasan tari dipentaskan berdasarkan kondisi geografis dan akar budaya masyarakatnya dengan tujuan bahwa masyaraklat tetap masih memiliki kemasan wisata tari yang ada.
Tradisi yang dipegang sangat erat untuk komoditas kepariwisataan digenre untuk penyajian di depan wisatawan. Penciptaan karya budaya selalu merupakan penciptaan kembali apa yang telah dicapai dan diendapkan dalam tradisi kebudayaan yang bersangkutan. Dengan demikian masa depan bergantung kepada karya budaya yang dilakukan pada saat ini. Oleh sebab itu kita harus melakukan tindakan pada masa kini untuk menyongsong masa datang agar memiliki corak dan ragam budaya yang menjadi tidak punah.
Sebagai pewarisan tradisi, kesenian Kecak kerap kali kita jumpai pada pertunjukan wisata yang disajikan di depan wisatawan. Pada umumnya konsep penyajiannya masih menggunakan pola-pola tradisional, baik kostum, tema, maupun tata penyajiannya. Namun, berbeda halnya dengan apa yang ditampilkan oleh komunitas Sanggar Seni Kebo Iwa, Kwanji Sempidi, Badung.
Komunitas ini, mampu mengkemas kesenian kecak yang biasa menjadi sebuah pertunjukan Kecak dalam bingkai atau kemasan baru, dengan menggunakan beberapa jenis alat musik perkusi dan tata kostum berbeda dari pertunjukan Kecak pada umumnya. Sebagai bentuk perkembangan penyajian seni pertujukan dalam kemasan baru, kesenian Kecak diinovasi sesuai ide kreatif sang senimannya sebagai produk kreatif dari industri kreatif guna menarik wisatawan dalam bentuk Kecak Perkusi. Hal tersebut menarik untuk dikaji lebih jauh terkait dengan tarian Kecak Perkusi Sebagai Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata.
Wujud Industri Kreatif
Seni pertunjukan yang ditampilkan oleh masyarakat Bali merupakan wujud industri kreatif dalam mengembangkan kehidupan berkesenian yang sudah dilakukan secara berkelanjutan. Peranan seni pertunjukan dalam membangun industri kreatif, mengatakan seni pertunjukan pariwisata memiliki kesinambungan untuk pembangunan industri kreatif dalam bidang kesenian (Ruastiti 2005: 32).
Perkembangan seni petunjukan pariwisata di Bali, pada awalnya dipromosikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920. Pemerintah Belanda melihat kala itu Bali dianggap kurang memilii potensi ekonomi, namun Bali memiliki kebudayaan yang sangat unik untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata Bali. Semenjak Bali dibuka sebagai daerah wisata, kehidupan masyarakat Bali mulai mengalami perubahan, terlihat dari bidang pendidikan yang diperoleh masyarakat Bali melalui sekolah-sekolah yang dibuka oleh pemerintah Belanda ternyata mulai membuka wawasan masyarakat Bali tentang berbagai hal terkait dengan kehidupan.
Dikutip dari pendapat Piet, pada artikelnya Ruastiti menuliskan bahwa semenjak kedatangan wisatawan ke Bali, masyarakat Bali mulai berfikir waktu adalah uang, artinya semenjak mendapatkan pendidikan, masyarakat Bali mulai berfikir rasional. Ramainya wisatawan berkunjung ke Bali, membuat masyarakat Bali menciptakan sesuatu yang memiliki nilai tukar/komoditi. Komoditi mempunyai nilai ganda, yaitu nilai pakai (use value) dan nilai tukar (exchange value).
Keragaman etnik yang membawa kekayaan budaya tidak ternilai harganya. Hal ini juga ikut menjadi corak ragam budaya yang mempengaruhinya. Oleh sebab itu, dalam memberikan ciri dan bentuk kemasan wisata dari etnik budayanya juga terjadi keragaman yang tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian corak budaya dan ragam etnik yang ada menjadi bentuk kemasan wisata yang dapat digunakan sebagai bentuk seni pertunjukan yang dapat digunakan sebagai paket wisata. Industri kreatif adalah bagian dari ekonomi kreatif yang bertujuan untuk upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas (Ni Made Ruastiti: 2010: 45). Berkaitan dengan hal tesebut, pengkemasan tari kecak menjadi bentuk pertunjukan baru merupakan hasil kreativitas guna memberikan inovasi dalam penjajiannya.
Kecak adalah pertunjukan tarian seni khas Bali yang lebih utama menceritakan mengenai Ramayana dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan “cak” dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun, Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat. Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.
Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana. Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Komodivikasi Kecak Perkusi
Pendekatan teori yang digunakan menganalisis penelitian ini adalah teori komodifikasi, Fairclough (1995) yang mengasumsikan kapitalisme memiliki kemampuan mengubah objek, kualitas, dan tanda menjadi komoditas. Komodifikasi dapat melahirkan budaya massa, masyarakat konsumen, atau masyarakat komoditas. Marx dengan fitisisme mengatakan komoditas berasal dari hubungan eksploratif, sebagaimana dikatakan dalam petikan dibawah ini.
“Commodification is the process whereby social domainsand institutions, whose concern is not producing commodities in the narrower economic sence of goods for sale, come never theless to be organized and conceptualized in term of commodity production, distribution, and consumtion”
“Komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi” (Barker, 2004: 14 dalam Ruastiti, 2005: 517) .
Komodifikasi dapat melahirkan budaya massa. Masyarakat konsumen atau masyarakat komoditas, dan akibat konsumsi massa ini menyebabkan timbulnya budaya konsumen, dan dalam budaya konsumen objek-objek estetik, yaitu kekuasaan capital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa (Pilliang, 1998: 246).
Karl Mark dan Georg Simmel menyatakan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan masyarakat diakibatkan oleh ekonomi uang yang didasarkan atas spirit (semangat) menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya (Turner, 1992: 155-138 dalam Ruastiti, 2005: 32). Seperti hadirnya seni pariwisata kemasan baru sebagai dampak dari kemajuan jaman dan industri kreatif, yang menuntut manusia untuk kreatif dalam berkreativitas maka penyajian tari Kecak dikomodivikasi sebagai sebuah seni sertunjukan Bali dalam kemasan pariwisata.
Kecak Perkusi adalah sebuah bentuk penyajian pertunjukan Kecak yang dikomodivikasi melalui sentuhan pola garap baru baik dari musikalnya, konstum, tata penjajia, dan inovasi dengan menggunakan ensambel musik perkusi seperti djembe, kendang Bali, ceng-ceng, maupun tektekan (alat musik kentongan dari bambu). Penyajian tari Kecak Perkusi sebagai inovasi mampu menarik wisatawan untuk ikut terlibat didalamnya. Penyajian Kecak Perkusi mampu menyedot atusias wisatawan.
Barker juga mengatakan bahwa komodifikasi merupakan konsep yang sangat luas dan sangat dinamis. Artinya, tidak hanya berhubungan dengan produksi komoditas tetapi juga berhubungan dengan distribusi dan konsumsi. Produksi dan komoditas merupakan produk daur ulang dari permainan simulasi sehingga terjadi perubahan menjadi produk baru yang semu. Perubahan bentuk baru hasil dari simulasi bersifat komersialisasi penuh dengan hitung-hitungan ekonomi dengan menonjolkan daya tawar untuk meningkatkan nilai jual. Berdasarkan hal tersebut, Kecak diproduksi kedalam bentuk baru dengan seperti yang nampak pada foto di atas. Pengkaburan bentuk dari aslinya mampu membentuk pola pertunjukan pariwisata dalam kemasan ekonomi yang mampu dikonsumsi untuk memenuhi kebutusan pasar.
Komodifikasi dari Bentuk Pertunjukan
Mulanya dalam pertunjukannya, tarian diawali dengan pembakaran dupa, lalu para rombongan pengiring memasuki panggung sambil mengumandangkan kata “cak..cak.. cak”. Kemudian mereka membentuk sebuah barisan melingkar, yang di tengah-tengahnya digunakan untuk menari. Dalam pertunjukan Tari Kecak ini penari memerankan lakon-lakon dalam cerita Ramayana, seperti Rama, Shinta, Rahwana, dan tokoh-tokoh lainnya. Gerakan dalam tarian ini tidak terlalu terpaku pada pakem, sehingga penari lebih luwes dalam bergerak dan fokus pada jalan cerita saja. Kadang-kadang ada juga beberapa adegan lucu yang diperagakan para penarinya. Selain itu beberapa adegan yang atraktif juga ditampilkan seperti permainan api dan atraksi lainnya. hal inilah yang membuat Tari Kecak memiliki kesan sakral namun juga menghibur.
Sebagai komodifikasi dari bentuk pertunjukannya tersebut, komposisi pemainya tidak saja duduk secara melingkar melainkan membuat pola komposisi dengan berpatokan pada jenis alunan melodi cak dan perpaduan yang ada pada bagian-bagian lagu atau komposisi musik yang dimainkan. Bentuk pertunjukannya sangat berbeda dengan bentuk pertunjukan kecak seperti diatas. Cerita tidak lagi berpatokan pada cerita Ramayana atau Sugriwa-Subali namun bisa tanpa lakon atau lebih menonjolkan kreativitas musik cak dan perkusi.
Komodifikasi dari Kostum
Perkembangan tari kecak dari awal terciptanya hingga kini memang bisa dikatakan cukup membanggakan. Selain antusias masyarakat Bali terhadap seni garapan Wayan Limbak ternyata para wisatawan yang berkunjung ke Bali juga sangat tertarik dalam menyaksikan sebuah pertunjukan gerak seni ini. Tak heran jika pemerintah daerah setempat menjadikan tari kecak sebagai salah satu icon kesenian dan kebudayaan daerah.
The Monkey Dance juga diberikan sebagai sebutan tari tradisional Bali yang satu ini. Hal ini diberikan karena salah satu adegan dalam pertunjukan tari tersebut menggunakan properti api serta tokoh utama yang berperan sebagai kera/ Hanoman. Pada awalnya konstum kecak yang dipakai pada pertujukan kecak pada umumnya memakai kostum kecak lelintingan, menggunakan kain yang dilipat sampai atas lutut. Sebagai simbol busana Bali, digunakan kain hitam yang dipadukan dengan kain poleng (hitam-putih) sebagai saput kecak yang dibalut dengan selendang berwarna merah. Sebagai ornamentasi ditambahkan titik putih di bagian tengah kepala, sisi kiri kanan, dan di atas dada. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
Sebagai perkembangan dan dampak komodifikasi pada kostum yang digunakan oleh pemain kecak pada penyajiannya, kostum yang digunakan tidak lagi memakai kostum seperti gambar di atas. Komodifikasi dilakukan dengan merubah bagian kontum dengan cara menambahkan beberapa atribut sebagai penunjang estetika. Penggunaan ikat kepala atau udeng juga digunakan pada pemainnya. Mike up juga dikomodifikasikan berbeda dari yang umumnya digunakan. Kostum yang digunakan menyerupai kostum Hanoman. Seperti yang tampak pada gambar berikut.
Komodifikasi dari Penggunaan Alat Perkusi
Di dalam pertujukan kecak pada umumnya, hampir tidak ada alat musik pengiring tari kecak kecuali suara gemerincing serta suara dari para penari yang berbunyi “cak-cak-cak-cak”. Meskipun tidak ada alat musik khusus sebagaimana tarian lain namun justru disini letak keunikan tari tersebut. Musik pengiring dalam tari kecak memang tergolong sangat unik. Karena hampir tidak ada alat musik yang dimainkan guna mengiringi pertunjukan. Musik yang terdengar pada sajian tarian khas dari Bali yang satu ini hanya terdengar dari gemerincing gelang grincingan yang dikenakan oleh para penari.
Sementara suara lain hanya bersumber dari mulut para penari yang seolah saling bersahutan mengucapkan “cak-cak-cak-ke-cak-cak-cak”. Suara yang bersahut-sahutan dan kadang kala kompak membuat nada-nada unik yang sangat menarik utuk didengarkan seiring gerakan tarian yang dilakukan oleh para penari. Suara gemerincing terdengar dari properti tari yang dikenakan oleh para penari khusunya tokoh utama dalam seni pertunjukan khas Bali tersebut. Sebagai komodifikasi dari endambel musiknya, digunakan ensambel musik perkusi seperti djembe, kendang Bali, ceng-ceng, maupun tektekan (alat musik kentongan dari bambu). Penyajian tari Kecak Perkusi sebagai inovasi mampu menarik wisatawan untuk ikut terlibat didalamnya.
Simpulan
Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru, yang merupakan sebuah konsep “baru” dalam menyajikan seni pertunjukan pariwisata Bali. Konsep baru yang dimaksud dalam hal ini adalah menggabungkan berbagai komponen budaya Bali, antara lain berbagai jenis seni pertunjukan dan prosesi ritual (yang direkayasa) sebagai sebuah seni pertunjukan pariwisata berskala besar, ditinjau dari materi, ruang, maupun durasi penyajiannya. Seni pertunjukan yang melibatkan ratusan orang pelaku disetiap penyajian ini disajikan terkait dengan acara dinner yang ditampilkan secara berkelanjutan dari awal hingga akhir acara.
Karl Mark dan Georg Simmel menyatakan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan masyarakat diakibatkan oleh ekonomi uang yang didasarkan atas spirit (semangat) menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya (Turner, 1992: 155-138 dalam Ruastiti, 2005: 32). Seperti hadirnya seni pariwisata kemasan baru sebagai dampak dari kemajuan jaman dan industri kreatif, yang menuntut manusia untuk kreatif dalam berkreativitas maka penyajian tari Kecak dikomodivikasi sebagai sebuah seni sertunjukan Bali dalam kemasan pariwisata.
Kecak Perkusi adalah sebuah bentuk penyajian pertunjukan Kecak yang dikomodivikasi melalui sentuhan pola garap baru baik dari musikalnya, konstum, tata penjajia, dan inovasi dengan menggunakan ensambel musik perkusi seperti djembe, kendang Bali, ceng-ceng, maupun tektekan (alat musik kentongan dari bambu). Penyajian tari Kecak Perkusi sebagai inovasi mampu menarik wisatawan untuk ikut terlibat didalamnya. Penyajian Kecak Perkusi mampu menyedot atusias wisatawan. [T]
Daftar Sumber
- Mudana, I Wayan. Komodifikasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017.p 68 – 80
- Ruastiti, Ni Made. 2005. Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata. Bali Manggis Press
- ———.2010. Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Dalam Pesspektif Kajian Budaya. Kanisius
- http://repo.isi-dps.ac.id/1433/
- http://seputarsenibudaya.blogspot.com/2016/02/seni-pertunjukan-kemasan.htm