Bayangkan jika tak ada lagi orang Bali yang membuat gula juruh atau gula bali, tentu semua kue tradisional akan diberi pemanis dari gula pasir. Atau lebih buruk lagi kue-kue bisa dimaniskan dengan bahan pemanis buatan.
Jika itu terjadi, lambat-laun, kue tradisional pun akan punah juga. Karena sebagian besar kue tradisional bali, semacam laklak, klepon dan abug, memang lebih mantap dikucuri gula juruh. Gula juruh atau gula bali membuat citarasa jaja tradisional bali menjadi khas. Dan jika ci9tarasa hilang, maka hilang pulalah kue itu pelan-pelan.
Untung. Untung saja masih banyak petani bali yang setia membuat gula bali, baik dari tuak aren, tuak kelapa atau tuak lontar. Bayangkan jika mereka semuanya ngambul, misalnya karena tak mendapat perhatian, atau mereka memilih pekerjaan lain yang jauh lebih menguntungkan.
Di Desa Les, desa dengan bentang alam pesisir dan bukit ini masih banyak tumbuh pohon lontar. Terutama di daerah yang langsung berbatasan dengan bukit-bukit Kintamani. Salah satunya di Dusun Butiyang. Pohon lontar atau ental di daerah itu memang dianggap pohon luar biasa.
Dalam urusan umur, bisa dibilang ini pohon lintas beberapa generasi. Tidak hanya satu atau dua generasi, bahkan sampai empat generasi. Dan dari generasi ke generasi, pohon itu tetap terpelihara, karena warga masih setia membuat gula juruh.
Dari puluhan petani pohon lontar yang saya temui, tak ada satu pun yang mengetahui siapa yang menanam dan berapa tahun umur pohon lontar yang mereka miliki. Saya sempat iseng bertanya pada I Nyoman Rencana, laki-laki berumur 70 tahun dari Dusun Butiyang, Desa Les.
“Pohon lontar ini dari saya kecil memang sudah seperti ini termasuk dari kakek saya,” jawabnya.
Cerita tentang lontar yang merupakan pohon kehidupan memang sangat banyak manfaatnya. Dari daun untuk atap, daun untuk anyaman, sampai daun untuk buku (lontar yang berisi aksara bali). Di desa les buah lontar (kuud ental) digunakan dalam ritual atau upacara adat.. Kayu lontar dan batang bisa kita temukan di berbagai bangunan tua yang masih menggunakan kayu dari batang lontar.
Nah, kali ini saya berkunjung Dusun butiyang yang notabena di dusun itu petani lontar masih setia memproduksi gula bali. Beberapa orang menyebutnya gula juruh. Gula bali atau gula juruh adalah gula nectar dari proses pemanasan 3 -4 jam sebelum padat.
Uniknya, petani di daerah ini tidak ada yang membuat gula lontar padat. Ini terkait dengan selera dan kebiasaan masyarakat Desa Les yang gemar menggunakan gula bali dalam setiap pembuatan atau peneman jajanan tradisional seperti dodol, laklak, godoh dan lain-lain.
Salah satu dari petani gula bali itu adalah Ketut Kertiyasa atau yang lebih dikenal dengan nama panggilan Tut Nik.
Seperti kebanyakan prtani lontar, kesetiaan memanjat lontar tanpa henti adalah idealisme tersendiri bagi dia. Meski tuak manis (sari pati nira lontar) sangat diminati dan sangat laku dijual, tapi ia tetap bersikeras menyulap tuak manis itu menjadi gula bali.
Harga tuak manis Rp 5000 per 600 ml. Untuk membuat 600 ml gula bali sedikitnya dibutuhkan 2.400 ml tuak manis. Tapi tetap saja ia tak menjuual tuak manis. Ia tetap bekerja keras membuat gula bali melalui proses yang cukup menyita waktu.
Pemanasan tuak manis dilakukan tiga sampai empat jam secara tradisional menggunakan kayu bakar tertentu. Di sinilah memang idealisme dan kemelekatan agar selalu menghasilkan gula bali menjadi bagian yang tak terpisahkan dari laku keseharian para pembuat gula bali ini. Mereka tetap menunggu proses, agar bisa menghasilkan gula juruh atau gula bali berkualitas.
Gula juruh buata Tut Nik memang terkenal hingga keluar desa, bahkan sampai ke Denpasar. Gula juruh itu diambil oleh pengepul, lalu dijual ke Singaraja dan ke Denpasar. Karena memang banyak pembuat jaja bali yang masih fanatik menggunakan gula juruh yang terbuat dari tuak lontar di Butiyang.
Semoga saja kesetiaan mereka tentang anugerah manis lontar ini bisa memberi rasa manis bagi mereka pula. [T]