Pagi ini tiupan angin meliuk-liuk seperti orang mabuk. Matahari terasa naik ke langit timur dengan gerakan amat perlahan, mungkin masih pegal setelah semalaman dipeluk malam. Begitu juga aku. Tubuhku menggeliat pelan di tempat tidur, seakan tak sudi untuk bangkit. Tapi mau tak mau aku harus bangkit dari tempat tidur, meski kelopak mata amat susah dibuka, seperti direkat oleh lem yang amat kuat, lem dari sisa mimpi semalam.
Mungkinkah hari ini adalah hari yang tepat? Namun mengapa aku harus menunggu hari yang tepat jika aku dapat membuatnya terjadi kapan saja? Bukankah selama ini aku seakan bisa mengendalikan waktu? Seperti keinginan-keinginan yang sudah lewat, akulah yang membuatnya terjadi atau berlalu begitu saja.
Untuk menepati janjiku pada tubuh, aku sudah membuat waktu berlalu begitu saja. Ah, betapa tubuh ini telah begitu sabar menanti dirinya diabadikan.
Sudah sejak lima bulan lalu tubuh ini kujanjikan sebuah hadiah. Hadiah itu adalah lukisan. Lukisan tubuhku. Tapi janji itu seakan kuabaikan. Hari-hariku sebagai model membuat waktu seperti mengalir di antara gedung-gedung besar. Tapi di sisi lain, mataku selalu saja berbinar-binar setiap kali kulihat lukisan-lukisan indah buatan Lucas, dan tubuhku terasa seperti anjing liar dalam sangkar tiap kali kulihat lukisan-lukisan itu.
Maka hari inilah saat yang tepat. Tak boleh kulewatkan waktu senggangku ini. Akan sangat berdosa rasanya jika tak lekas kutuntaskan janji yang telah lama kutahan. Keinginan yang mustahil terjadi di masa hidupku yang lalu.
***
Setelah selesai membasuh tubuh dengan berbagai wewangian bunga merk-merk ternama, dan berdandan dengan gincu merah maroon, kulihat diriku sekilas nampak seperti Marilyn Monroe. Mengapa tidak? Nyatanya aku juga seorang model, sama seperti Monroe. Bagaimana bisa seorang model dengan tubuh seksi dan ideal sepertiku tak mendapat perhatian yang sama seperti kekaguman banyak orang terhadap Monroe?
Hal itu bahkan sudah terbukti. Ketika aku berjalan di depan pertokoan Avenue Montaigne misalnya, tak pernah ada satu pasang mata pun yang lepas dari jeratan tubuhku. Saat cahaya senja mengusap pundak telanjangku, semua orang yang berpapasan denganku akan memutar kepalanya 180 derajat. Bahkan pernah sekali waktu, ketika aku lewat, ada seorang pria berambut dan berjenggot pirang yang berbelanja di sebuah toko buah, malah membayar barang belanjaannya dengan sekantong sayur di tangan kiri, padahal seharusnya ia berikan uang yang ada di tangan kanannya. Aku tertawa saja melihat kejadian-kejadian itu, betapa tubuh ternyata dapat membutakan.
Maka tak salah bukan jika kukatakan diriku mirip Monroe? Tapi aku tak mau bernasib sama dengan Monroe, tubuh ini tak boleh berakhir sia-sia.
Saat kulihat cuaca dari jendela, angin ternyata masih berhembus kencang dan dingin. Segera kuambil duffle coat dan beanie hat, lalu pergi ke tempat Lucas. Sesampainya di sana, kulihat Lucas sedang duduk menggigit kuas. Pandangannya seperti sedang tenggelam dalam kanvas. Rumah itu sungguh penuh oleh berbagai macam lukisan. Di samping kiri-kanannya terlihat warna-warni cat dan kuas berserakan. Ini kali pertama aku datang langsung ke tempat Lucas. Biasanya, kami hanya sesekali bertemu di studio untuk beberapa proyek khusus yang memerlukan kemahiran tangannya dalam melukis.
Sejak pertama kali kulihat hasil goresan tangan Lucas, aku langsung membayangkan tubuhku akan terlukis dan terpajang indah di dinding-dinding rumah. Namun ada yang terasa aneh bagiku, mengapa saat kupencet belnya ia tak membukakan pintu? Ia hanya teriak dari dalam dan mempersilakanku masuk. Saat aku masuk ke dalam, ia masih terlihat fokus menyelami kanvasnya sambil memutar-mutar kuas yang terselip di antara jari telunjuk dan jempolnya.
Beberapa detik berlalu, Lucas akhirnya seperti tersadar dari dunia lain yang sangat jauh dan menyambutku hangat. Kami duduk berhadapan di sebuah kursi kayu yang disekat meja klasik, aku lalu memberi tahu maksud kedatanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah seperti seorang anak yang mendapat hadiah—setelah kuberi tahu keinginanku. Lucas menerimanya dengan senang hati ketika kukatakan tubuhku ingin diabadikan dengan tangan ajaibnya. Ia sangat yakin ini akan jadi hasil pertemuan seni yang akan menandingi lukisan Mona Lisa—model menawan dan pelukis menakjubkan—katanya sumringah.
Tak kusangka Lucas memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kami sepertinya memiliki kesamaan dalam hal mencintai diri. Di tengah percakapan kami saat berdiskusi tentang hari yang tepat untuk bertemu kembali dan mewujudkan keinginan besarku, tiba-tiba bel rumah Lucas berbunyi. Lucas beranjak membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Abelard—teman Lucas—seorang pekerja bangunan di Bordeaux.
Saat Abelard masuk dan melihatku, sorot matanya serasa langsung menerawang isi di balik pakaianku. Ia terlihat seperti pemburu yang ingin menguliti mangsa. Aku tersenyum sekadarnya, lalu Lucas memperkenalkan Abelard padaku.
Abelard bersemangat menjabat tanganku, dan terasa genggamannya seperti cengkraman elang. Aku merasa sangat terganggu dengan tatapannya yang bergerilya memandangi sekujur tubuhku, walau pakaianku sangat tebal, tapi tatapannya terasa menusuk ke dalam pakaian. Abelard mengatakan bahwa ia sedang memiliki proyek besar di sini sehingga ia datang ke Paris dan akan tinggal selama setahun.
Aku tak peduli dengan ceritanya soal beberapa bangunan terkenal di Paris yang konon berdiri dengan hasil seni tangannya—bahwa ia turut membangun beberapa bangunan tersebut. Aku lebih menaruh perhatian pada sepatu bootsnya yang terlihat seperti tak dicuci selama bertahun-tahun. Aku merasa makin tak nyaman. Ia bahkan mengajakku berkencan. Cepat-cepat aku pamit kepada Lucas untuk pulang, tetapi Abelard justru dengan sigap berkata ingin mengantar. Aku menolaknya, dan aku pergi dengan perasaan gelisah sebab sepasang mata terasa meneropong dari belakang.
Besok harinya saat aku sedang berjalan menuju studio, di tengah jalan Abelard tiba-tiba muncul di hadapanku membawa setangkai mawar. Ia berkata bahwa semalam ia tak dapat tidur karena terus mengingatku, bahkan aku tak bisa keluar dari mimpinya ketika ia berhasil memejamkan mata. Bagaimana bisa seorang asing—yang baru kukenal berbuat lancang seperti ini? Ia bahkan berani mencium tanganku begitu saja saat tiba-tiba ia menarik tangan kananku dan menyelipkan mawarnya. Dengan cepat kuhempas tanganku saat bibirnya mendarat cepat di kulitku. Aku marah padanya. Bergegas kupercepat langkahku dan masuk dalam kerumun orang untuk membuatnya sulit menemukanku.
Aku lega, ternyata ia sudah tak terlihat. Tapi ketika aku ingin pulang dan keluar dari pintu studio, kulihat Abelard telah berdiri di depan pintu dengan asap yang berhembus dari bibirnya. Tiba-tiba ribuan semut terasa meranggas naik dalam tubuhku. Aku mencoba menghadapinya dengan tenang, dan ia terlihat lebih sopan. Abelard bermaksud meminta maaf padaku soal kelancangannya. Ia mengaku merasa resah setelah tak sengaja membuatku marah.
Aku tentu tak bisa serta merta memaafkannya. Tapi jika tak kutawar perasaanku, aku yakin Abelard akan terus mengejar dan membuntutiku hingga aku berkata mau memaafkannya. Ia pun kegirangan setelah kukatakan bahwa aku memaafkan perilakunya tadi pagi. Tapi lagi-lagi ia meminta mengantarku pulang. Aku menolaknya, dan kukatakan aku memiliki urusan lain yang harus kuselesaikan. Di persimpangan jalan, kulihat ia belok ke kanan, dan aku belok ke kiri. Seharusnya kanan adalah jalanku pulang, arah yang sama dengannya, tetapi aku rasa lebih baik menghindar sesaat agar ia tak dapat tahu letak tempat tinggalku. Terpaksa aku pulang lebih malam, tapi jalanan ternyata belum sepi—justru sangat ramai. Kukira akan lebih aman rasanya jika aku berjalan di tengah keramaian.
Namun perasaan aneh muncul ketika aku berhenti di suatu toko roti untuk membeli bagguete, dari dalam kaca toko kulihat ada seseorang yang seperti memata-mataiku. Tak salah lagi, itu pasti Abelard. Apa yang sebenarnya terjadi dengan laki-laki itu? Mengapa perilaku dan gerak-geriknya sangat aneh? Atau jangan-jangan ia memiliki kelainan?
Ia membuatku semakin ngeri. Aku merasa semakin tak aman, walaupun ketika berjalan pulang tak kulihat lagi sosok mencurigakan tadi. Besok paginya, aku menemukan sekeranjang bagguete di teras rumah, lengkap dengan secarik kertas yang berisi pujian-pujian Abelard terhadapku. Benarlah dugaanku bahwa sosok mencurigakan di toko roti kemarin adalah Abelard. Ia memang tak menemuiku lagi di tengah jalan, tetapi dengan sampainya surat ini, itu berarti ia telah mengetahui kediamanku.
Ah Tuhan, memang sejak dulu aku mendambakan kasih seorang lelaki. Tapi yang satu ini mengapa terasa mengerikan?
Tatapannya selalu terasa ingin menelanjangiku. Hidupku terasa terteror sejak kehadirannya. Bahkan hingga dua minggu berturut-turut, ia terus mengirimiku sekeranjang bagguete setiap pagi, terkadang juga sebuah buket mawar. Bagguete kirimannya itu bahkan sampai berjamur dan berubah menjadi sekeras besi karena memang tak pernah kumakan. Karena terlalu banyak, kadang juga kubagikan pada tetangga-tetangga atau rekan kerjaku yang kutemui setiap harinya di studio.
Hingga suatu pagi, saat aku datang ke rumah Lucas untuk memenuhi perjanjian lalu yang telah kami buat, aku mendengar tangisan dari dalam rumah Lucas. Aku yang saat itu ingin melewati jendela-jendela rumah Lucas sebelum menuju ke pintu rumahnya, mendapati Abelard sedang menangis sesenggukan di dalam. Aku segera menempelkan diri ke tembok dan menguping sambil terus menjinjit-jinjit sebab jendela rumah Lucas terlalu tinggi.
“Perempuan itu telah menolakku, Lucas. Tapi aku sangat mencintainya”. Suaranya terdengar hampir tak jelas karena bercampur dengan tangisannya.
“Abelard, kau harus menerimanya. Orang mengatakan cinta bekerja lewat pertemuan. Jika pertemuanmu dengan Selisia tak dapat berakhir baik, walau kau terus menemuinya, itu berarti kau harus menerima apa yang tak dikehendakkan padamu”
“Aku tau ia sebenarnya menyukaiku. Kau harus percaya itu, Lucas. Bagaimana ia tak menyukaiku jika ia terus menerima hadiah yang aku kirimkan? Bagaimana ia dapat menghabiskan berkeranjang-keranjang bagguete jika bukan karna cinta dan karena menghargai pemberianku?”
“Sudahlah, Abelard. Menghargai terkadang bukan berarti mencintai. Meski apa saja telah kau lakukan, seperti halnya terus menyirami pohon yang tak memiliki akar, sampai kapanpun pohon itu tak akan tumbuh. Akar itu harus merambat di dua hati untuk bisa sama-sama tumbuh dan jadi rimbun. Kau harus mengerti itu, Abelard!”
“Mengapa kau tak percaya aku, Lucas? Akan kubuktikan bahwa aku mampu memiliki perempuan semenawan bulan itu, tubuh indah itu! Lihat saja!”
Mendengar itu semua membuat irama jantungku tak beraturan. Abelard ternyata mencintaiku, seperti yang sudah aku duga. Tak akan ada orang yang rela melakukan hal-hal macam ini jika bukan karena gila, ia bahkan tak pernah kuberi balasan baik sekali pun. Ia salah paham soal hadiah yang ia beri setiap pagi itu. Aku menerimanya bukan karena menghargainya, tetapi karena aku tak ingin berurusan dengannya. Aku memilih menerima dan tak menolak, dan tak juga memberi respon apa pun agar aku tak perlu bertemu dengannya.
Laki-laki itu telah dibutakan oleh hasratnya. Ia tak waras soal cinta. Ia tak tahu, betapa tubuh yang ia ingin dapatkan ini adalah hal terbesar yang juga ingin kumiliki. Betapa kumuliakan tubuh ini—tubuh yang seharusnya kumiliki sejak dulu. Setiap jengkal tubuh ini kurawat dengan cinta. Tak akan kubiarkan orang lain merenggutnya, bahkan luka sekecil apapun.
***
Aku menunggu tiga puluh tahun lamanya untuk mendapat semua keindahan ini. Tiga puluh tahun aku terjebak dalam tubuh yang salah.
Ya, sebelum memasuki tubuh Selisia, aku adalah seorang perempuan. Aku adalah perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Seluruh perasaan dan pikiran di dalam tubuhku adalah perempuan. Semua organ, ya, semua organ dalam tubuhku, kecuali alat kelamin, adalah perempuan. Aku seorang perempuan.
Tiga puluh tahun aku harus menahan gejolak-gejolak yang terus menyiksaku ketika aku harus berpura-pura seperti laki-laki, berpenampilan seperti laki-laki, bersikap, berbicara, dan bergaul seperti laki-laki untuk menghindari cambukan ayahku.
Di masa lalu aku hidup dalam keluarga yang penuh hormat. Ayahku adalah seorang pimpinan salah satu lembaga masyhur di kota. Pernah sekali waktu ayah memergokiku sedang memakai gaun panjang milik kakak perempuanku. Aku memang sering mencuri pakaian-pakaian kakak perempuanku untuk kucoba secara diam-diam, dan membayangkan diriku keluar mengenakan gaun cantik itu. Itu adalah kesalahan fatal yang pernah kulakukan. Saat itu aku lupa mengunci pintu kamar, dan ayah masuk tiba-tiba. Ayah begitu marah. Ia tak dapat menerima kenyataan bahwa ia melihat anak laki-lakinya memakai gaun perempuan.
Ayah mencambukku dengan ikat pinggangnya, ia memperingatkanku soal kehormatan keluarga dan mengancam akan mengurungku jika aku melakukan hal-hal feminim lagi. Semua keluarga akhirnya tau bahwa aku memiliki sisi lain dalam diriku. Semua keluarga memberiku ceramah dan peringatan. Itulah sebabnya aku tak pernah berani keluar dari kebohongan yang terus aku sembunyikan. Aku hanya terus berpura-pura, dan terus menahan diri.
Hingga umur tiga puluh tahun aku tak menikah, aku tak bisa menikah dengan perempuan. Bagaimana bisa aku menikah dengan perempuan? Jika aku sendiri juga seorang perempuan.
Akhirnya, seperti cerita yang dikarang para pengarang, aku mati karena tertabrak mobil, dan jiwaku pindah ke tubuh Selisia. Selisia saat itu juga sedang sekarat karena sakit.
Waktu itu, aku dan Selisia bertemu di sebuah ladang bunga baby breath yang tak berujung. Sebuah ladang sunyi dengan langit putih tanpa awan. Semuanya terlihat bercahaya—bunga, langit, pakaian kami, dan wajah kami. Itulah tempat yang menentukan jalan kami selanjutnya.
Saat itu aku takjub melihat kecantikan dan keindahan tubuh yang dimiliki oleh Selisia. Di sana hatiku merasa ringan. Aku bercerita padanya soal ketersiksaanku terjebak dalam sesuatu yang sama sekali bukan diriku. Selisia tersenyum dan memelukku. Dan tiba-tiba aku terbangun dengan tubuh Selisia di rumah sakit. Entah kekuatan apa yang membuat jiwaku bisa memasuki tubuh Selisia. Barangkali Selisia telah selesai, dan aku bahkan belum memulai.
Benarkah jika seseorang belum menyelesaikan keduniawiannya maka ia masih berada di bumi? Aku tak menemukan jawabannya hingga saat ini. Yang aku percayai adalah kenyataan bahwa akhirnya, kini, aku bertubuh perempuan. Tubuh yang selama ini aku dambakan, tiga puluh tahun aku impikan.
***
Sekarang aku mencintai tubuh ini lebih dari keinginanku untuk menjalin cinta dengan lelaki. Terlebih melihat perlakuan Abelard, keinginan dan kekagumanku pada laki-laki yang kusembunyikan sejak dahulu membuatku jadi ragu. Mendengar suara langkah makin dekat menuju pintu rumah Lucas, aku segera berlari menjauh.
Di pertengahan jalan sambil masih berlari karena takut tertangkap oleh Abelard, kudengar sebuah suara memanggil namaku. Selisia! Selisia! Aku menoleh ke belakang dan kutemukan Abelard sedang mengejarku. Aku berlari makin cepat. Ia terus mengejarku. Aku berlari masuk di antara banyak pejalan kaki. Ia terus mengejar. Aku belok kiri. Terus berlari. Abelard semakin dekat. Orang-orang ramai membuatku sulit berlari. Abelard tambah dekat. Ia memanggil-manggil namaku. Suaranya terasa seperti di samping telinga. Di depan buntu. Abelard berhasil menangkapku.
“Mengapa kau lari, Selisia?” Napasnya terengah-engah.
“Mengapa kau mengejarku?” Dadaku kembang dan kempis sambil menutupi tubuhku dengan tas yang kubawa.
“Dengar, Selisia. Aku tak akan menyakitimu. Kau tak usah takut padaku.”
“Jangan mendekat!”
“Baik, aku tak akan mendekat, tapi tolong dengarkan aku. Selisia, aku rasa aku tak benar-benar waras, kau lah yang membuatnya. Aku mencintaimu. Selama ini kau lihat sendiri bukan bagaimana aku membuktikan cintaku?” Ia melangkah makin dekat.
“Cinta tak dibuktikan dengan kiriman-kiriman tak berguna itu! Kau tak benar paham apa itu cinta. Dan aku rasa kau bahkan tak mencintai dirimu sendiri! Kau menyiksa dirimu sendiri dengan hasrat dan ambisi besarmu. Kau memelihara ketidakterimaan itu. Kau sakit, Abelard!”
Abelard menangis. Ia menangis dan bibirnya terbuka makin lebar. Tiba-tiba ia mendekapku. Ia mendekapku sangat erat hingga aku susah bernapas. Ia tertawa di depan wajahku. Lalu dengan lancang ia membuka mantelku dan ingin menciumku. Aku memberontak. Aku pukul perutnya dengan heelsku hingga ia jongkok kesakitan. Aku mendapat kesempatan untuk kabur. Aku berlari, berlari secepat yang aku bisa. Kulihat beberapa meter di belakang ia menyusulku sambil memegangi perutnya.
“Selisia! Selisia! Berhenti!” Ia berteriak dan lari terseok-seok. Aku berlari makin kencang. Aku bahkan sudah tak peduli bahwa aku tengah berlari tanpa alas kaki. Aku berlari ke rumah. Sampai di rumah cepat-cepat kukunci pintu dan semua jendela. Segera kuambil suntikan yang telah berisi minyak pohon cedar dan menyuntikkannya ke dalam anusku untuk mencegah cairan-cairan di tubuhku keluar.
Aku memang telah berencana soal ini, ketika surat kiriman terakhir Abelard membuatku benar-benar ketakutan dan tak bisa tidur semalaman, akhirnya aku membuat keputusan besar dan kurasa tepat bagi mimpiku selama ini. Surat itu berbunyi; “Baiklah, Selisia. Jika cara halus sekali pun tak dapat membuka pintu hatimu untukku, maka aku akan menempuh jalan lain yang mungkin tak kau inginkan. Kau akan menyesal tak membiarkan tubuhmu jatuh dalam pelukanku. Aku mencintaimu Selisia. Sungguh aku mencintaimu”. Usai membaca surat tersebut, tanpa pikir panjang, segera kubeli apa yang perlu kubeli saat itu juga.
Bel berbunyi. Suara ting nong ting nong memekik telingaku berkali-kali. Abelard telah di depan rumahku. Ia terus memencet-mencet bel dan menggedor-gedor pintu. Aku segera berlari ke kamar mandi, kubenamkan tubuhku dalam bathub yang penuh oleh natron—jenis larutan garam yang digunakan untuk pengawetan. Lamat-lamat bunyi bel tak lagi kudengar. Aku kini abadi sebagai perempuan yang memiliki utuh diriku sendiri.[T]
___