- Judul Buku : Pemuda Bertas Selempang
- Penulis :Ni Luh Made Ratna Agustini, S.Pd.,M.Pd.
- Penerbit : PT Nyala Masadepan Indonesia
- Cetakan ke- : Pertama
- Tahun : 2021
- ISBN : 9786236160770
- Tebal : vi + 66 hal.
- Dimensi : 18,2 x 25,7 cm
Ni Luh Made Ratna Agustini, S.Pd.,M.Pd adalah nama lengkap penulis buku kumpulan puisi Pemuda Bertas Selempang ini. Ia lahir di Tabanan tahun 1968 dengan latar belakang pendidikan Fisika. Buku ini merupakan kumpulan puisinya yang pertama.
Pemuda Bertas Selempang menaburkan cukup banyak diksi yang diserap dari mata pelajaran Fisika—mata pelajaran yang diampu penulis sebagaimana terpampang pada kover belakang kumpulan puisi ini—seperti: ‘saklar’, ‘on-ff’’, ‘positif’, ‘negatif’, ‘besaran’, ‘satuan’, ‘batas ambang’, ‘energi’ dan beberapa diksi lainya.
Kehadiran diksi-diksi yang “dibaurkan” pada larik-larik puisi tersebut mampu “mengaburkan” sekat-sekat keilmuan yang identik dengan rumus-rumus tersebut sehingga terkesan mengalir begitu saja laiknya puisi-puisi pada umumnya. Hal ini menjadi keunikan tersendiri buku dengan kover depan lukisan pemuda-pemudi yang sedang mengangkat tangan ini.
Di antara tema-tema yang dihadirkan, saya lebih tertarik untuk mengulik puisi-puisi yang bertemakan cinta yang terlihat cukup mendominasi. Tema-tema tersebut mengingatkan kita sebagai manusia akan pentingnya memiliki rasa cinta. Kondisi cinta yang menyala akan membuat kita bahagia, senang, gembira atau sebutan sejenisnya. Mari simak larik-larik pada puisi berjudul “Saklar Cinta”. //Dimensi dunia kian merebak/Merambah pada cinta yang membara/Ibarat saklar/On-off-nya berdampingan/Jika on…rasakan sensasinya di dada/Meletup-letup tiada tara/Bergairah sungguh terasa//. (Hal.44).
Sebaliknya, cinta yang padam akan membuat kita merasa menderita, sedih, terluka, sakit maupun sejenisnya. Padamnya cinta tersebut bisa kita simak pada puisi dengan judul yang sama. //Cinta yang off/Sakitnya tak terperi/Suram berimbas pada luka/Terkoyak dalam bias cinta yang kandas/Berujung luka nanar/Sakit…sungguh sakit/Senyumnya tak lagi menginspirasi//. (Hal. 44).
Melalui tema-tema cinta pada Pemuda Bertas Selempang saya melihat Ratna Agustini mengajak kita untuk mampu memposisikan ‘on’ pada saklar cinta baik pada diri sendiri, orang lain, lingkungan—termasuk tempat tinggal, alam, serta budaya manusia yang mendiaminya, termasuk Tuhan—sehingga tercipta Tri Hita Karana yakni jalinan yang harmonis antar sesama manusia, lingkungan, maupun dengan Sang Pencipta.
Cinta pada diri sendiri itu perlu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengelola waktu dengan baik sehingga tubuh memiliki waktu istirahat yang cukup sehingga tidak sampai kelelahan. Mari simak penggalan puisi “Dirimu, Ruangmu”. //Butuh rehat/Jeda/Tubuhmu, butuh istirahat/Beri waktu, beri hadiah/Tubuh ini adalah kuil kita/Tubuh ini adalah teman kita/Seumur hidup//…//Cinta harus selalu untuknya/Tubuh ini/Jiwa ini/Cinta yang paling pertama/Haruslah diri ini//. (Hal. 16).
Selain untuk diri sendiri, cinta juga mesti dipancarkan untuk orang di luar diri sendiri. Melalui puisi-puisinya Ratna Agustini juga secara eksplisit mengungkapkan bahwa sebagai seorang istri, cinta mesti dicurahkan untuk sang suami. Sebagaimana pasangan suami-istri pada umumnya, kehidupan berumah tangga tentu tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan.
Menghadapi kondisi seperti ini, kehadiran cinta-lah yang mampu saling menguatkan. Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan melalui puisi “Cinta Tanpa Ujung”. //Perjalanan panjang telah kita lalui/Melodi langkah kita seirama/Mengarungi lautan kehidupan/Ombak dan angin selalu kita hadapi/Selalu saling menguatkan/Memperkokoh bahtera kehidupan//. (Hal. 53). Tentu kehadiran frasa ‘kita’ pada penggalan puisi ini bisa dimaknai sebagai cinta yang dua arah yakni cinta istri pada suami maupun sebaliknya cinta suami pada istri.
Meski sudah menjadi “milik” keluarga suami—yang notabene tinggal bersama di rumah keluarga suami—pada puisi lainnya Ratna Agustini mengajak para perempuan yang sudah menikah untuk tidak melupakan keluarga tempat mereka berasal. Ia mencurahkan rasa cinta sekaligus terima kasihnya kepada ibu yang telah melahirkannya, ayah yang telah menempanya sehingga menjadi “orang” seperti sekarang, ibu mertua yang dihormatinya, maupun orang-orang di sekitar tempat ia bertinggal sekarang maupun tempatnya bekerja.
Puisi cinta terhadap ibu bisa disimak pada puisi “Hari Ibu Istimewa” yang bertitimangsa tepat pada Hari Ibu tahun 2020. //Ibu/Mohon ampun atas dosaku/Semangatmu menjadi semangatku/Kokoh jiwamu…kokoh batinmu/Terngiang di tetesan darahku/Kasihmu kumuliakan sepanjang napasku//. (Hal. 5).
Selain ibu kandung, melalui puisi “Mertua Kekinian” Ratna Agustini tidak luput menyampaikan rasa cintanya pada ibu mertuanya. Mari simak penggalan puisinya. //Ibu/Kusebut kau ibu/Ibu dari suamiku/Ibu mertuaku/…//Kita bukanlah jarak/Kita bukanlah musuh/Bermodal santun/Beralaskan tutur//. (Hal. 20).
Sementara itu, puisi terkait cinta kepada ayah serta ungkapan terima kasih atas kebaikan-kebaikan yang pernah ia lakukan dapat dijumpai pada puisi “Ayah”. //Terpana dengan senyummu/Terpaut kasih yang tak lekang oleh waktu/Tubuhmu kian kurus/Dikikis oleh sang fajar//…//Terima kasih ayah/Pendekar tanpa tanda jasa//. (Hal. 40-41). Melalui penggalan puisi ini Ratna Agustini hendak mengingatkan di mana pun kita sekarang, bagaimanapun keadaan kita sekarang, jangan pernah lupa kepada ayah.
Cinta pada anak-anak diungkapkan lewat bahasa pujian serta harapan. Cinta tersebut terlihat pada puisi “Pemuda Bertas Selempang” yang juga sekaligus judul kumpulan puisi ini. Rasa cinta terekspresi dalam bentuk kobaran semangat serta harapan di pundak anak-anak untuk berjuang menuntut ilmu pengetahuan. Untuk menjadi anak-anak yang sukses di kemudian hari, tentu tidak sedikit ujian serta tantangan yang kerap dihadapi.
Mari kita simak puisinya. //Kering melanda tiada henti/Harapan kami terselip di pundakmu/ Berdetak riuh penuh harap//…//Hingga hujan datang berkicau/Semua bersorak riang/Kau pemuda/Diarak keliling kota//. (Hal. 64). Penggalan ini sarat dengan pesan moral bahwa untuk bisa “hidup” itu tidak mudah sebab kesuksesan tidak datang tiba-tiba. Perlu proses. Begitu mungkin pesan yang hendak Ratna Agustini utarakan.
Pada kumpulan Pemuda Bertas Selempang ini Ratna Agustini tidak melulu mengungkapkan rasa cintanya pada diri dan keluarga. Melalui puisi-puisinya ia juga mengekspresikan cinta terhadap orang-orang di sekitarnya.
Pada puisi berjudul “Sahabat”, misalnya, secara hiperbolik ia mengungkapkan bahwa cinta dalam bentuk persahabatan melebihi ambang batas energi di bumi. Mari kita simak penggalan puisinya. //Satu kata yang ingin kukenang/Diterpa badai tak kan goyah/Melampaui batas ambang energi di bumi//…//Roda terus berputar/Kita terus berkawan/Sahabat/Senyummu adalah harapan dan keberanianku/Hadirmu bagaikan lilin yang menaungi setiap gelapku//.
Cinta pada sesama juga terdapat dalam bentuk empati terhadap penderitaan yang tengah dialami orang-orang di sekitar sebagaimana diungkapkan pada puisi “Pasar Bunga Desa Baha”. //Kujajakan daganganku/Teriakanku terhempas dalam penat/Tak ada peminat/Bungaku tak tersentuh pembeli//. (Hal.32). Penggalan puisi ini memperlihatkan rasa ikut merasakan kesedihan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya yang tengah mengalami kesulitan perekonomian di masa darurat Covid-19 ini.
Selanjutnya, puisi-puisi terkait kecintaan terhadap alam tertuang dalam bentuk kata-kata pujian pada puisi “Sepanjang Jalan Kenangan”. //Kutapaki laju jalanmu/Berhias kerikil berbalut pasir/kesejukan tercurah di wajah ayumu/Sepanjang jalan yang kulalui/Musim tanam berganti musim panen//. (Hal. 51).
Kecintaan penulis pada ciptaan Tuhan lainnya seperti binatang maupun tumbuhan juga bisa disimak pada puisi-puisi lainnya. Kecintaan terhadap binatang, misalnya, bisa disimak pada puisi “Nyanyian Harga Diri”. //Barisan irama di akhir Desember/Rintikmu bermelodi/Sirami hati yang gundah/Mengiringi lirik kesayanganku//…//…/Teruslah bernyanyi punglor merahku/Junjunglah harga dirimu setinggi langit//. (Hal. 60).
Melengkapi kecintaan terhadap binatang, Ratna Agustini juga tidak melupakan tumbuh-tumbuhan. Rasa cinta ini terlihat pada puisi “Bonsai Kelapa”. //Bonsai kelapaku/Cetakan Tuhan yang tak ternilai/Kupinang dalam sekali kedipan/Kupelihara dengan penuh kesabaran//…//Pesonamu mengalahkan riakku/Tiap helai tubuhmu/Sungguh sebuah mukjizat bagiku//. (Hal. 48).
“Rumahku Istanaku”. Itulah puisi di mana Ratna Agustini menyampaikan kecintaannya pada rumah tempat ia tinggal bersama keluarga. Mari simak puisinya. //Walau kecil/Membuatku nyaman/Menghangatkan jiwaku/Kedamaian dan kehangatan cinta/menyelimuti tempatku terlelap berpeluk melodi mimpi//. (Hal. 3). Jika dikupas lebih mendalam sepertinya kita diajak “pulang” untuk melihat diri lebih ke dalam sekaligus mencintai “rumah”—tubuh yang membingkai jiwa serta hati kita.
Manusia hidup tidak terlepas dari budaya. Salah satu budaya yang masih bertahan hingga kini adalah tarian. Pada puisi “Penari” Ratna Agustini seperti mengungkapkan rasa cinta pada warisan leluhur ini sekaligus mengingatkan nilai-nilai kebaikan yang dapat dipetik dari seorang penari. Mari simak puisinya. //Ujung kaki dan tangan/Senada dan seirama/Hentakan kakimu/Secepat kijang dalam lompatan/Estetik dan sungguh nyentrik//…//Torehkan riuh dalam senyap/Dunia bangga/Dunia bersabda/Kau penari/Penari tak sekadar halusinasi//. Hal (29). Pesan cinta yang hendak ditonjolkan penggalan puisi ini adalah nilai cinta akan budaya negeri sendiri, persahabatan, kebersamaan, serta nilai-nilai keindahan.
Tidak lengkap rasanya penari tanpa pengiringnya, gamelan. Pada puisi “Gamelan” ini Ratna Agustini sepertinya mengingatkan kita untuk tidak lupa dengan warisan leluhur ini. Mari kita simak puisinya. //Riuh membahana/membobol cakrawala/Alunan melodi selaras ritme/Bunyi terlantun dalam ego//…//Lestarikan budaya dalam jiwa/tak kan punah termakan waktu/Beradu di metropolitan/Tak gentar digerogoti zaman//. (Hal.2). Pada penggalan puisi ini kita diingatkan untuk mencintai sekaligus menjaga keberlangsungan kehidupan warisan yang sangat bernilai ini di tengah-tengah bombardir berbagai jenis hiburan di era digital ini.
Selain cinta pada sesama manusia serta lingkungan, Pemuda Bertas Selempang ini mempersembahkan cinta kepada Sang Pencipta. Pada puisi “Jangan Menyerah” Ratna Agustini menyampaikan rasa cinta kepada Tuhan berdoa, meminta ampunan sekaligus memohon kekuatan dalam menghadapi lika-liku kehidupan. //Tuhan/Kami bersimpuh di hadapanmu/Ampuni serakah kami dan dosa hambamu/Kuatkan kami menerima cobaan/Bakarlah semangat kami/Tuhan/Pulihkan kami//. (Hal. 18-19). Penggalan puisi ini mengingatkan kita untuk selalu ingat kepada Hyang Maha Kuasa yang sekaligus mengajak kita melaksanakan pengamalan sila pertama Pancasila—Ketuhanan yang Maha Esa.
Terlepas dari “borosnya” penggunaan tanda titik-titik di belakang sejumlah larik puisinya, kehadiran diksi serta majas yang sudah lazim, tema-tema yang tidak jauh dari sekitar diri kita ini menyebabkan kumpulan puisi ini tidak sulit dipahami. Karena itu, saya merekomendasikan kumpulan puisi Pemuda Bertas Selempang ini sebab bisa menjadi alternatif bacaan baik sebagai referensi untuk mengenalkan istilah-istilah bidang Fisika ke dalam larik-larik puisi, menginterpretasi makna-makna puisi di dalamnya, serta mengembangan rasa cinta baik terhadap diri sendiri, sesama, warisan leluhur, lingkungan alam, termasuk yang tidak kalah pentingnya adalah cinta terhadap Tuhan. Selanjutnya, saya ucapkan selamat menikmati. [T]