Saya yakin, ini pertanyaan dalam pikiran setiap orang saat ini. Atau mungkin lebih tepatnya harapan, bukan pertanyaan. Memang acap kali kita menyamarkan maksud untuk menjaga sikap kita agar tetap terlihat tenang, netral atau tabah. Segala harapan telah menempatkan diri kita pada sudut yang lemah dan segenap kekecewaan siap menumpahi hati, pikiran bahkan jiwa kita. Maka, ketimbang harapan, pertanyaan membuat pikiran kita tampak lebih ilmiah dan hati kita lebih kokoh.
Disadari atau tidak, penyamaran-penyamaran seperti ini sering menyelamatkan. Hal yang lumrah dipraktekkan para agen rahasia. Yang muncul sebagai wujud sosok-sosok yang tenang, adaptatif dan selalu optimis. Bahkan di saat nyawanya terancam. Mereka terlatih untuk berkamuflase, tersembunyi dari jati diri dan perasaan aslinya, sebuah bentuk lain dari “mutasi”. Lalu mereka selamat dan bertahan. Dan hal ini menyadarkan kita, persis, virus corona strain SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, lestari karena rangkaian mutasi yang terus dilakukannya sampai hari ini.
Mutasi telah mengganggu teori mengenai wabah akan usai ketika minimal 70% populasi kebal. Sebetulnya teori herd immunity ini sangat logis dan realistis. Dengan terbentuknya kekebalan pada sebagian besar populasi maka sisa populasi yang rentan akan terlindungi. Hanya dengan penyebaran alamiah saja pun, peluang ini dapat terwujud. Namun tentu dengan risiko jumlah kematian yang cukup banyak dari perhitungan kurang lebih 5% dikalikan jumlah populasi yang terpapar.
Swedia adalah salah satu negara yang nekat sejak awal ingin mewujudkan herd immunity yang membiarkan penularan dengan sengaja tanpa menerapkan prokes Covid-19. Hasilnya, baru satu semester wabah merebak, negeri dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta itu telah kehilangan setidaknya 7 ribu wargaanya yang meninggal akibat Covid-19. Itulah alasannya, sebagin besar negara kurang sepakat dengan skema demikian. Termasuk kita di Indonesia, pemerintah mengambil pilihan prokes (masker, cuci tangan dan PPKM) sambil menunggu pelaksanaan vaksinasi Covid-19 yang pada akhirnya terwujud sedemikian cepat.
Tak sampai setahun, vaksin berhasi diciptakan. Optimisme masyarakat dunia, berkat keberhasilan studi klinis berbagai paltform vaksinasi Covid-19, sempat menjadi kenyataan pada trimester pertama tahun ini saat vaksinasi masal dilakukan di mana-mana. Secara konsisten dalam enam pekan berturut-turu, kasus baru mengalami penurunan sampai pada titik terendah selama pandemi, begitu pula angka kematiannya.
Sampai hantaman gelombang kedua akibat mutan varian Delta memporak-porandakan hati dan tubuh warga dunia. India bahkan disapu tsunami dengan kematian melampaui 2.000 dalam sehari dan penambahan kasus positif harian mencapai 300 ribu lebih, dengan angka positif hingga 36%. Demikian pula negara-negara lain seperti Brasil di Amerika Selatan juga kita di Indonesia.
Indonesia termasuk negara terparah dihantam gelombang kedua. Hunian RS rujukan Covid-19 melampaui kapasitas sampai harus dirawat di ruang-ruang atau tenda-tenda darurat. Wisma atlet yang sempat sepi kembali diserbu kesibukan nakes siang malam tiada jeda. Horor makin mengerikan seakan mimpi buruk yang tak memberi kesempatan kita bangun dari tidur saat pasokan oksigen tak mampu memenuhi kebutuhan yang mencuat begitu tiba-tiba. Akibatnya, sebanyak 53 orang pasien meninggal dalam sehari di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Cuma negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tak merasakan ganasnya gelombang Delta ini. Bahkan perhelatan Euro 2020 yang diselenggarakan tahun ini mempertontonkan bagaimana stadion-stadion di berbagai kota di Eropa dipenuhi suporter bola nyaris tanpa menerapkan prokes. Meski kemudian terjadi beberapa kasus positif, namun hampir tak pernah dibahas karena masih dianggap sangat wajar. Tak berpengaruh signifikan terhadap kehidupan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Serikat yang mulai bergulir normal.
Bahkan saat ini ajang tenis US Open berlangsung sedang seru-serunya dan penuh kejutan karena capaian pemain-pemain muda belasan tahun yang merontokkan banyak pemain-pemain senior. Hampir dapat dipastikan, situasi kondusif ini terwujud berkat cakupan vaksin yang sudah sangat luas dan dengan efikasi yang lebih tinggi seperti vaksin produk Pfizer, Moderna atau Johnson. Satu bukti, kegemilangan sains dan ilmu pengetahuan adalah salah satu jalan menuju keselamatan. Tentu saja dapat pula untuk menciptakan sebuah kehancuran. Maka, jalan sains harus selalu dituntun cahaya etika dan moralitas yang kuat dan penuh kemuliaan.
Indonesia telah mengambil jalan yang cukup baik, penerapan prokes, PPKM fleksibel dan gesit melaksanakan vaksinasi. Hasilnya cukup mengesankan, kasus mulai melandai lagi. Namun belum apa-apa, telah terjadi lagi satu mutan baru yang dinamai varian Mu. Pertama kali diidentifikasikan di Kolombia dan kini sudah menyebar ke 40 negara.
Banyak yang cemas vaksinasi yang telah dilakukan secara masif ini akan sia-sia. Mutasi ini tentu saja dapat menurunkan efikasi dari vaksinasi yang dirancang sedikit berbeda dengan varian-varian baru yang akan terbentuk. Namun, varian-varian ini tidaklah seutuhnya virus baru yang bukan SARS-CoV-2. Artinya sebagian besar komponen proteinnya masih sama sehingga vaksin tetap akan memberi proteksi. Jangan diragukan pula, sains pun akan dengan sendirinya ikut “bermutasi” untuk menemukan rancangan zat antigenik yang dapat menyerupai segala mutan virus Corona baru yang terbentuk. Zat inilah yang kelak membangun imunitas spesifik tubuh manusia melawan virus tertentu.
Maka pilihan terbaik kita sebagai masyarakat awam adalah, mengikuti kebijakan pemerintah dan meyakini upaya all out para ilmuwan. Hingga saat ini integritas etika & moralitas mereka terbukti dalam sejarah lebih memihak peradaban ketimbang kejahatan. Dan harus selalu diyakini, segala organisme selalu akan melakukan mutasi dalam rangkaian evolusi yang terus bergerak ke depan demi menjaga kelestariannya.
Hal ini semudah memahami kenapa misalnya hewan-hewan di kutub akan cenderung berbulu lebat dan berlemak tebal akibat suhu yang lebih dingin. Atau saudara-saudara kita yang pipinya kemerahan karena tinggal di dataran tinggi akibat kadar oksigen yang lebih tipis membuat sel darah mereka diproduksi lebih banyak. Bahkan jika kita periksa kadar sel darah merah seorang perokok, akan cenderung lebih banyak, sebagai respon terhadap masuknya zat karbon monoksida ke dalam tubuhnya.
Tubuh perlu memproduksi sel darah merah lebih banyak untuk mengikat oksigen melawan karbon monoksida yang menjeratnya. Memahami sains dan ilmu pengetahuan, tidak hanya sebuah jalan menuju pada keselamatan, juga kerendahan hati dan keikhlasan. Keikhlasan membuat kita lebih mudah menerima Covid-19 untuk hidup berdampingan sebagai endemi, end of epidemy, akhir wabah. [T]